Home Info Sawit GM: Kalau Mau Moratorium Lancar, Biodiesel Bersinar, Lakukan Ini. Jangan Berhalusinasi!

GM: Kalau Mau Moratorium Lancar, Biodiesel Bersinar, Lakukan Ini. Jangan Berhalusinasi!

Jakarta, Gatra.com – Makin hari, lelaki 48 tahun ini makin tak habis pikir menengok kelakuan oknum-oknum yang terus-terusan ‘meneror’ sawit. Saking getolnya teror itu, sampai-sampai ada yang bilang kalau sawit itu bukan pohon.

Sementara 21 tahun lalu, Robert Henson, seorang ahli ekofisiologi asal Oklahoma City, Amerika Serikat memastikan bahwa kemampuan kelapa sawit menyerap karbon dioksida dan menghasilkan oksigen, lebih besar ketimbang hutan alam.

Dalam The Benefit Of Palm Oil to The Environment di jurnal The Rough Guide to Climate Change yang dia tulis, satu hektar kebun kelapa sawit bisa menyerap 64,5 ton karbon dioksida dan menghasilkan sekitar 18,7 ton oksigen.

Angka ini lebih besar ketimbang satu hektar hutan tropis yang hanya mampu menyerap karbon dioksida sebanyak 42,4 ton dan menghasilkan 7,09 ton oksigen.

“Itu bukan hasil penelitian ahli di Indonesia lho, tapi ahli dari negeri ‘Adi Daya’. Tapi kemampuan kelapa sawit itu justru tak dianggap, yang ada malah dibilang bukan pohon, mudah-mudahan yang bilang itu tidak sedang berhalusinasi,” rutuk Ketua Umum DPP Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo), Gulat Medali Emas Manurung saat berbincang dengan Gatra.com melalui sambungan telepon, tadi siang. Kebetulan satu jam lagi, Doktor Lingkungan jebolan Universitas Riau ini harus terbang ke Jakarta tujuan Bogor, Jawa Barat.

Apa yang dibilang oleh sosok yang akrab disapa GM ini sesungguhnya hanya satu dari sederet kebaikan kelapa sawit.

Kalau kelapa sawit menjadi penyelamat ekonomi Negara sepanjang pandemi covid-19, tak usah ditanya lagi. Sumber ekonomi lebih dari 21 juta jiwa, sudah pasti.

“Dan satu hal yang paling penting dicatat, tidak hanya pohon sawit yang menyelamatkan lingkungan lewat serapan karbon dan produksi oksigennya, tapi minyaknya yang diolah menjadi biodiesel, juga ikut mengurangi emisi gas rumah kaca. Di muka bumi ini, hanya Indonesia yang sudah membikin Bauran (B)30 dan sebentar lagi B40. Ini berarti Indonesia satu-satunya Negara yang paling care mengurangi emisi akibat penggunaan energi fosil. Luar biasanya lagi biodiesel ini membuat petani sumringah, sebab sejak mandatori B30, harga Tandan Buah Segar (TBS) naik meroket,” ujarnya.

Hanya saja kata GM, Biodiesel ini sekarang sedang terancam. Sebab produksi minyak sawit Indonesia yang masih tergolong rendah, memicu dilema.

Di satu sisi, kalau B30 dipertahankan, yang mau diekspor tak banyak. Sementara dari ekspor lah Negara bisa menambah pundi-pundi.

Mau menambah luasan kebun sawit yang saat ini sudah mencapai 16,38 juta hektar, kayaknya masih mustahil lantaran meski moratorium perizinan perkebunan kelapa sawit sudah habis 10 hari lalu, tapi naga-naganya masih akan diperpanjang.

Di satu sisi kata GM, kalau pun dilakukan perpanjangan moratorium, itu keputusan yang sangat bagus jika sederet persoalan pada eksisting kebun sawit yang 16,38 juta hektar tadi diberesi.

Misalnya, kebun kelapa sawit yang diklaim dalam kawasan hutan, segera dilepas dan legalitasnya dikuatkan. Terus produktivitas ditingkat.

“Kalau hanya menggadang-gadangkan moratorium tanpa memberesi persoalan yang ada pada sawit yang sudah eksisting, itu namanya bunuh diri. Sama saja kita terperangkap dalam scenario pembenci sawit yang bergentayangan itu,” GM mengingatkan. 

Dan sebetulnya kata GM, jauh-jauh hari Presiden Jokowi sudah merancang intesifikasi ini. Itulah makanya kata GM, Presiden Jokowi meluncurkan Program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) yang kemudian dibiayai oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS). Ada sekitar 540 ribu hektar yang menjadi target peremajaan hingga tahun depan.   

“Tapi sayang, Presiden Jokowi kayaknya enggak tahu kalau program PSR ini terancam gagal, 84% petani gagal usul lantaran kebunnya diklaim dalam kawasan hutan. Lagi-lagi ego sektoral yang ada. Kementerian Pertanian dan BPDPKS bertungkus lumus menyukseskan program ini, tapi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) justru asyik menghitung denda dan PNBP. Apa-apaan ini? Umur PP turunan UUCK sudah 8 bulan, coba cek berapa hektar klaim kawasan hutan itu yang sudah diberesi,” GM bertanya.

Seharusnya kata GM, KLHK dan Kementan paduserasi memberesi semua persoalan yang ada. Sebab PSR itu programnya Presiden. “Ingat, presidennya KLHK dan Kementan itu satu, Jokowi. Jadi yang ada itu visi misi presiden, bukan kementerian,” sergah GM yang merupakan Ketua Bravo-5 Riau,  Relawan Jokowi.

Sekali lagi kata GM, moratorium diperpanjang, monggo. Tapi perbaiki eksisting sawit yang ada beserta produktifitasnya.

"Kalau ini jalan, maka moratorium lancar, biodiesel bersinar. Tapi kalau dua kementerian ini tak bisa paduserasi, maka nasib sawit Indonesia akan menyusul tanaman unggulan Indonesia masa silam yang sekarang cuma tercatat di museum,” GM mengingatkan.

Soal omongan sawit bukan pohon tadi, Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB), Prof Sudirman Yahya bilang begini; mencampuradukkan antara pengertian botani dan manajemen adalah keliru.

Coba cek tumbuhan yang tidak berkambium (monokotil) seperti aren, pinang, palam raya, palam merah, siwalan, lontar, rotan, sagu, kelapa, nipah, kelapa sawit, salak dan lain-lain, apakah semua bukan tumbuhan kehutanan?.

Dari sisi manajemen, bukankah beberapa tanaman HTI seperti Karet, akasia dan eukaliptus boleh monokultur, terus gimana pula dengan jati, damar, pinus, sengon, apakah harus polikultur?

Di situlah tidak konsistennya defenisi yang disampaikan salah seorang Dirjen di KLHK itu dan dibilang pula Malaysia tidak ilmiah mendefenisikan sawit masuk dalam kelompok tumbuhan kehutanan.

Definisi pohon "tree" lebih menyangkut morfologi; antara lain ukuran tinggi batang, percabangan dan lain-lain, tidak menyangkut anatomi, seperti berkambium. Jadi si Dirjend itu hanya sekedar mencari pembenaran sendiri saja.


Abdul Aziz

1113