Home Kesehatan Komnas PA Minta Pemerintah Terapkan Ketentuan Bebas BPA

Komnas PA Minta Pemerintah Terapkan Ketentuan Bebas BPA

Jakarta, Gatra.com – Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA), Arist Merdeka Sirait, meminta pemerintah, yakni lembaga atau kementerian terkait segera membuat aturan yang tegas soal pelabelan produk plastik di antaranya bebas (free) dari bahan kimia Bisfenol A atau yang dikenal BPA.

“Kami minta agar Badan POM dan Kementerian Kesehatan membuat aturan yang jelas, terkait informasi BPA ini dalam sebuah produk,” ujar Aris dalam webinar bertajuk “Urgensi Label BPA Bagi Kesehatan” pada Selasa (5/10).

Arist menyampaikan, pihaknya meminta demikian untuk melindungi janin, balita, dan anak-anak dari paparan zat berbahaya. Pasalnya, mereka merupakan generasi penerus bangsa sehingga pihaknya ambil bagian soal masalah ini.

“Komnas PA sangat consern terhadap perlindungan anak-anak dari bahaya penggunaan bahan kimia BPA bagi kesehatan anak-anak,” tandasnya.

Arist mempertanyakan, produk plastik yang beredar di pasar menyertakan free BPA, apakah ini dilakukan oleh pabrik atau sudah melalui uji klinis di Badan POM. Pemasangan label Free BPA harus dilakukan oleh regulator.

Ia mengusulkan agar pemerintah membuat aturan tentang BPA serta bukan hanya mencantumkan kode kandungan plastik, yakni 1-7. Pemerintah harus menambah keterangan pada angka-angka tersebut karena belum banyak masyarakat yang mengetahui cara memperlakukan suatu produk plastik.

“Kalau tidak ada tanda angka sekian jangan pakai, seperti tadi Wawan Some katakan, sekali pakai buang, seperti itu, tidak boleh dua kali dan harus diberikan peringatan seperti apa yang ada di rokok ada di kental manis,” katanya.

Arist melanjutkan, Komnas PA dalam beberapa bulan ini melakukan sosialisasi tentang penggunaan BPA dalam produksi plastik. “Masih banyak masyarakat yang belum paham terkait dengan produk-produk plastik dan dampaknya bagi kesehatan,” ungkapnya.

Senada dengan Arist, Koordinator Nol Sampah Indonesia, Wawan Some, menyampaikan, dalam suatu produk plastik harus bebas dari kandungan BPA serta memuat informasi tetang kandungan dan perlakuannya.

Ia mencontohkan, ada jenis plastik sekali pakai dan lain-lain sesuai dengan nomor dalam kemasan. Namun karena hanya mencantumkan nomor, banyak masyarakat yang salah kaprah.

Menurutnya, plastik yang mengandung BPA serta pelemas plastik atau disebut plastizer. Pada momor tertentu tidak dijelaskan bahwa plastik dengan seri ini relatif tidak boleh kena panas.

“Dalam kondisi panas, struktur kimia yang ada dalam plastik tersebut akan lepas dan bercampur dengan makanan atau minuman yang menjadi isi dari kemasan plastik, dan jika di konsumsi sangat berbahaya,” katanya.

Lebih lanjut ia mengatakan bahan makanan yang berlemak juga semakin meningkatkan risiko terjadinya paparan BPA. “Ada berbagai macam jenis plastik dari mulai angka 1 sampai 7, angka 1 misalnya seperi air kemasan, soft drink dan sebagainya, itu adalah produk sekali pakai,” ujarnya.

Namun banyak masyarakat yang tidak paham, karena tidak memahami kode di kemasan dan menganggap bentuk botolnya bagus, dipakai lebih dari satu kali. “Ketika dipakai lebih dari satu kali, maka zat kimia didalamnya ikut larut dalam air,” tuturnya.

Atas dasar itu, ia meminta agar edukasi terkait bahan kimia berbahaya juga dibarengi dengan melakukan kontrol pada proses produksinya, sehingga bisa meminimalisir penggunaan bahan pastik berbahaya tersebut.

Arist Merdeka Sirait meminta agar negara tidak boleh kalah dengan industri. Karena ancaman bahanya BPA bukan saja bagi anak-anak, namun juga bagi masa depan bangsa. Di luar negeri BPA sudah dinyatakan sebagai bahan berbahaya yang dilarang penggunaanya.

Menurut Arist, urgensi pelarangan BPA di Indonesia sudah sangat mendesak. “Hasil eksekusi kami terhadap berbagai penelitian di lapangan, regulator diperlukan kehadirannya dalam mengontrol produk plastik berbahan kimia berbahaya,” ujarnya.

Terkait misalnya penggunaan galon guna ulang, yang meluas di tengah masyarakat. Harusnya pemerintah membuat label peringatan kepada konsumen. Karena galon isi ualng terbuat dari polikarbonat yang mengandung BPA.

Sementara banyak ibu-ibu membuat susu untuk anak-anak dari air yang dari galon isi ulang. “Peringatan produk seperti halnya di produk rokok, di produk plastik juga harus ada seperti itu,” tegasnya.

Berdasarkan studi yang dilakukan di beberapa negara menunjukkan bahwa paparan manusia terhadap BPA cukup luas. Data statistik Kanada yang dilakukan pada 2007–2009 ditemukan sekitar 91% orang berusia 6 sampai 79 tahun dalam urinenya terdeteksi mengandung BPA.

Sedangkan di survei di Amerika Serikat pada 2003–2004 mendeteksi adanya BPA sebesar 93% dari 2.517 sampel urine orang Amerika yang berusia lebih dari 7 tahun. Populasi yang berisiko terhadap paparan BPA adalah bayi, karena tubuh mereka sedang berkembang dan sistem detoksifikasi di dalam hati juga belum sempurna.

Pada 2010, Kanada menjadi negara pertama di dunia yang menyatakan BPA sebagai zat toksik yang dapat menyebabkan gangguan terhadap kesehatan dan lingkungan. Uni Eropa telah menotifikasikan pelarangan penggunaan BPA dalam pembuatan botol susu bayi dari plastik mulai Maret 2011. Pada bulan Juni 2011, impor dan penjualan botol bayi yang mengandung BPA juga dilarang.

109