Home Kesehatan Bahaya BPA dan Bahasannya, Ini Penjelasan Pakar Agar Tidak Salah Kaprah

Bahaya BPA dan Bahasannya, Ini Penjelasan Pakar Agar Tidak Salah Kaprah

Jakarta, Gatra.com– Regulasi keamanan kemasan pangan termasuk syarat ambang batas kandungan Bisphenol A (BPA) perlu diperbahatui secara berkala. Merujuk pada Peraturan Badan Pengawasan Obat dan Makanan No 20 Tahun 2019, tentang Kemasan Pangan dimana ambang batas BPA 0,6mg/kg.

Demikian hal tersebut disampaikan Pakar Polimer Institut Teknologi Bandung (ITB), Ir. Akhmad Zainal Abidin, M.Sc, PhD dalam Diskusi BPA Session dengan tema “How to Understand BPA Information Correctly” yang diadakan Anguis Institute for Health Education Bersama Lembaga Riset Ikatan Dokter Indonesia (LR-IDI) di Jakarta pada Rabu (6/12).

"Dapat diperketat jika terbukti sangat berbahaya, dapat dilonggarkan jika terbukti tingkat bahayanya lebih rendah dibanding studi sebelumnya," jelas Zainal mengomentari informasi mengenai BPA yang banyak beredar di lini masa media sosial seperti tiktok, instagram dan lainnya.

Baca juga: Regulasi Pelabelan BPA pada Kemasan Galon Bentuk Diskriminasi dan Melanggar Kepentingan Publik

Beberapa waktu terakhir isu terkait Bisphenol A (BPA) berkelindan/beredar di lini masa media sosial seperti tiktok, instagram dll. Informasi yang disampaikan cenderung tidak bertanggungjawab dan membuat bias informasi bagi masyarakat luas.

Sebagai informasi, BPA adalah zat kimia dasar yang tidak terlepas dari keseharian kita, baik itu barang pakai maupun konsumsi produk makanan dan minuman. Salah satu jenis plastik yang umum digunakan adalah plastik polikarbonat dan resin epoksi.

Bahan utama pembuatan plastik polikarbonat adalah senyawa Bisphenol A (BPA). Isu yang beredar menyatakan bahwa ada kaitan antara BPA dengan beberapa penyakit.

Di antaranya adalah gangguan hormonal, obesitas dan kardiovaskuler, kanker, gangguan perkembangan dan syaraf anak, infertilitas serta kelahiran prematur. Padahal setelah ditelusuri secara literatur antara isu seperti yang disampaikan diatas dan fakta studi yang ada belum dapat dipastikan hubungan kausalitasnya.

​​​​​​Baca juga: Sekjen ASPARMINAS: Pemberian Label BPA oleh BPOM Tidak Merugikan Industri AMDK

"Isu BPA ini lebih besar dari yang mematikan. Cemas berlebihan bahkan bisa buat yang sehat jadi sakit," ungkap Zainal. Kadar BPA tidak hanya ada di bahan plastik polikarbonat sebab dia juga ditemukan sj beberapa produk.

Produk-produk berbasis BPA terdiri atas sumber makanan (Dietary Sources) dan sumber bukan makanan (Non dietary Sources) seperti botol plastik, botol bayi, mainan anak, kemasan air minum, tempat makan, lensa kacamata, pelapis makanan kalengan, disket CD, perangkat otomotif, perlengkapan sport dan juga beberapa peralatan medis.

Hasil studi di beberapa wilayah di Asean Eropa dan Amerika menyebutkan kadar BPA dalam sedimen tanah perkotaan padat, kawasan pengolahan sampah dan Kawasan Industri adalah  0,1-1mg/kg. Kadar BPA di udara 0,04-17 mg/m³ kadar BPA pada ikan segar 0,0002-12 mg/kg.

Termasuk penggunaan kertas thermal yang dipakai pada printer alat pembayaran juga memiliki kadar BPA mencapai 20 mg/gram kertas thermal. Bahan tambal gigi berbasis komposit epoksi 0,013- 30 mg BPA berpotensi lepas setelah pemasangan.

Baca juga: Akademisi Sepakat Pelabelan BPA Galon Guna Ulang Tidak Diperlukan

"BPA tidak terbentuk secara alami. Keberadaan BPA di alam bersumber dari preconsumer, yakni buangan limbah industri produk berbasis BPA. Atau postconsumer, yakni BPA yang keluar dari produk berbasis BPA pembakaran sampah dan hasil degradasi plastik," jelas Zainal.

Perubahan lanjut Zainal bisa berubah jika kadar BPA terkena pemanasan hingga 500 derajat celcius dan terjadi degradasi tanpa oksigen. "Kalau panas siang matahari nggak ada apa-apa. BPA ada pada waktu galon baru sedangkan galon dipake berulangl bisa lebih sedikit," jelas dia.

Menurut Zainal, reaksi dari bahan beracun seperti BPA dan Phosgene setelah di proses menjadi polikarbonat adalah senyawa yang aman karena merupakan polimer, sifat kimianya berubah, tidak seperti komponen penyusunnya serta aman dan cenderung tidak reaktif.

Migrasi BPA dari wadah makanan dan minuman bisa saja terjadi pada kondisi seperti kemasan yang rusak, kontak langsung antara makanan dan kaleng, makanan dengan lemak tinggi, kemasan yang lebih tipis, waktu kontak dan Kemasan makanan yang mengalami peningkatan suhu.

Sementara itu, Dr. Karin Wiradarma, M.Gizi, Sp.GK menambahkan bahwa metabolisme BPA dalam tubuh manusia setelah diserap oleh saluran cerna, BPA akan ditranspor ke hati. Sebanyak 90% bentuk tidak aktif dan selanjutnya akan dikeluarkan melalui urin dan feces, sedangkan 10% merupakan bentuk aktif yang memberikan pengaruh negative pada tubuh.

Tetapi mengingat jumlahnya sangat kecil dibandingkan batas yang ditetapkan oleh berbagai lembaga pengawasan makanan dan minuman dunia, atau BPOM di Indonesia maka kiranya masih dibutuhkan kajian ilmiah lebih lanjut dalam hubungannya dengan kesehatan manusia.

Moderator acara dari Lembaga riset Ikatan Dokter Indonesia (LR-IDI), Dr.Aditiawarman Lubis, MPH dalam simpulan diskusi menyampaikan bahwa masih perlu lebih banyak penelitian yang harus dilakukan terkait BPA ini, ditambah karena penelitian yang ada masih menggunakan hewan sebagai obyek penelitian serta level of evidence nya perlu ditingkatkan.

Baca juga: Regulasi Pelabelan BPA pada Kemasan Galon Bentuk Diskriminasi dan Melanggar Kepentingan Publik

Ketua Anguis Institute for Health Education, Dr. Nurhidayat Pua Upa, MARS mengatakan bahwa masyarakat perlu diberikan informasi dan edukasi yang tepat mengenai BPA sehingga tidak terjadi asimetri informasi yang membuat bingung masyarakat.

Bersamaan dengan acara diskusi ini juga diluncurkan pula sebuah buku dengan judul review BPA “How To Understand BPA Information  Correctly”. "Kerja sama Anguis Institute dengan Primkop IDI ini untuk memberikan edukasi yang tepat mengenai BPA serta menjadi jembatan informasi langsung kepada masyarakat luas dalam menghadapi asimetri informasi tentang BPA, " ujar Dr. Pua.

Sebagai infromasi, Anguis Institute for Health Education adalah forum yang dipelopori para aktivis Ikatan Dokter Indonesia (IDI) yang bersifat terbuka dan independen dengan kepesertaan dari lintas pelaku dan sektor yang memiliki perhatian pada pembangunan kesehatan di Indonesia.

228