Home Kesehatan Hadapi Gelombang Tiga, Percepatan Vaksinasi Secara Kategori Perlu Dilakukan

Hadapi Gelombang Tiga, Percepatan Vaksinasi Secara Kategori Perlu Dilakukan

Jakarta, Gatra.com - Kelompok rentan perlu menjadi perhatian pemerintah agar segera mendapatkan vaksinasi demi mengantisipasi potensi gelombang ketiga pandemi COVID-19. Menurut Irma Hidayana, co-Lead Koalisi Warga untuk LaporCOVID-19, kecenderungan vaksinasi selama ini yang hanya berfokus pada jumlah penerima vaksin, bukan kategori penerimanya, perlu diubah.

Menurut Irma, mereka yang memiliki komorbiditas, lansia, penyandang disabilitas, dan warga daerah pedalaman yang jauh dari fasilitas kesehatan seharusnya menjadi prioritas awal program vaksinasi.

Dengan demikian, maka jumlah korban wabah dapat ditekan. “Sebab vaksin adalah (untuk) mengendalikan pandemi,” katanya dalam diskusi yang digelar oleh Koalisi Masyarakat Sipil untuk Akses Vaksinasi bagi Masyarakat Adat dan Kelompok Rentan, Rabu (13/10) secara daring.

Prioritas vaksinasi ini penting bagi kelompok rentan karena mereka selama ini kurang terpapar informasi tentang COVID-19 dan vaksinasi.

Douglas Storey, Direktur Ilmu Komunikasi dan Penelitian dari Johns Hopkins Bloomberg School of Public Health, Maryland, Amerika Serikat mengatakan, beberapa kelompok masyarakat masih takut dengan efek samping vaksin dan yakin bahwa mereka tak perlu vaksin.

Dari responden yang belum menerima vaksin pada periode survei 1-15 September 2021, 34 persen di antaranya menyatakan tidak mau divaksinasi, sedangkan sisanya menyatakan bersedia divaksinasi. Sementara itu, mereka yang berusia di atas 55 tahun menyatakan kemungkinannya untuk menolak vaksinasi.

Dari para lansia, 44 persen menampik vaksinasi karena takut akan efek samping vaksin alias Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI). Sedangkan 19 persen lainnya berkeyakinan tidak membutuhkan vaksin.

“Maka kampanye tentang vaksin perlu difokuskan pada keamanan vaksin dan perbandingan antara efek samping vaksin dengan akibat COVID-19,” kata Douglas dalam diskusi yang bertajuk Urgensi Percepatan Vaksinasi Kelompok Rentan, Antisipasi Gelombang Ketiga COVID-19 itu.

Jajak pendapat ini digelar Johns Hopkins bersama WHO, Carnegie Mellon University, University of Maryland, GOARN (Global Outbreak Alert and Response Network), dan Facebook. Kuesioner survei didistribusikan lewat Facebook secara berkala sejak pertengahan Mei 2021 ke seluruh dunia. Data survei diperbaharui setiap dua pekan sekali, dan dikelompokkan berdasarkan negara.

Data dari Indonesia menunjukkan, dalam lima bulan belakangan 33 persen responden antusias untuk menerima vaksin. Namun, mereka mengakui menghadapi sejumlah kendala seperti tak mendapatkan janji untuk jadwal vaksinasi (19 persen), kesulitan meninggalkan pekerjaan (19 persen), tidak memenuhi syarat, atau kesulitan menuju tempat vaksin (14 persen), hingga tidak beroleh vaksin yang diinginkan (9 persen).

Ketakutan semacam ini pun ditemukan pada kalangan disabilitas. Menurut Ketua Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI) Maulani Rotinsulu, hanya 80 dari 300 paket vaksin yang terpakai di Makassar, Sulawesi Selatan, karena calon penerimanya masih merasa takut.

Demi menyiasati hal sedemikian di masa mendatang, sosialisasi yang menyasar kalangan disabilitas dan keluarga pendampingnya diperlukan. “Sebab keluarga sangat didengar oleh kalangan disabilitas, apalagi kalangan disabilitas terbatas akses informasinya,” kata Maulani.

Selain itu, kendala akses juga masih ditemukan, seperti terjadi di Aceh. Pada satu lokasi vaksinasi, program penyuntikan digelar di lantai 2, sehingga para pengguna kursi roda tidak dapat menjangkaunya. Atau pula di Kalimantan Tengah, yang lokasi pengadaan vaksinnya sesak dengan calon penerima vaksin. Layanan vaksinasi kunjungan pun hendaknya disiapkan bagi penyandang disabilitas.

Epidemiolog dari Universitas Indonesia Pandu Riono menjelaskan, turunnya kasus COVID saat ini menunjukkan bahwa vaksinasi terbukti memang manjur mencegah penularan. “Apa pun merek vaksinnya, bisa mencegah penularan,” katanya dalam acara yang sama.

Saat varian Delta menghantam khalayak luas pada Juni-Juli lalu, tingkat penularannya mencapai 8 kali. Artinya, satu orang bisa menularkan ke 8 orang lainnya. Dengan pembatasan mobilitas penduduk dan vaksinasi, maka tingkat penularan itu turun hingga di bawah 1, dan kini menjadi 0,96.

Sayangnya, penurunan kasus ini akan berbalik menjadi petaka jika masyarakat terlena. Yunita Wahyuningrum, Direktur Eksekutif Jalin Foundation menjelaskan persepsi bahaya orang Indonesia terhadap COVID-19 memang lebih rendah jika dibandingkan dengan negara lain.

Artinya, mereka cenderung tidak menganggapnya sebagai bahaya. “Jika makin rendah, maka berakibat lengah dan tak melihat bahwa COVID masih menjadi risiko,” kata dia pada diskusi yang sama.

Itu membuat perubahan perilaku di masyarakat menjadi kecil. Padahal, seharusnya, diperlukan perubahan norma sosial signifikan untuk tetap menjalankan prosedur 3 M (Memakai Masker, Menjaga Jarak, dan Mencuci Tangan). Jika prosedur 3 M ini sudah menjadi norma sosial, maka perilaku masyarakat bisa ikut berubah.

Dengan adanya pembukaan pusat perbelanjaan, pariwisata dan euforia masyarakat—dibarengi mengendurnya kewaspadaan—lonjakan kecil bisa saja terjadi. Momentum pemicu lonjakan yang dikhawatirkan adalah liburan Natal dan Tahun Baru 2022.

“Partisipasi komunitas itu penting, jangan lelah mengedukasi masyarakat,” kata Pandu. Maka, vaksinasi dan ketaatan para protokol kesehatan bisa menjadi penangkal agar lonjakan tak terjadi.

160