Home Ekonomi Wasekjen PRIMA Minta Pemerintah Lakukan 5 Hal untuk Musnahkan Pinjol Ilegal

Wasekjen PRIMA Minta Pemerintah Lakukan 5 Hal untuk Musnahkan Pinjol Ilegal

Jakarta, Gatra.com – Wakil Sekretaris Jenderal (Wasekjen) DPP Partai Rakyat Adil Makmur (PRIMA), Rini Hartono, mengatakan, pemerintah harus membuat kebijakan lebih komprehensif untuk memberangus pinamajan online (pinjol) ilegal.

“Tak cukup hanya dengan mendorong literasi keuangan dan digital. Tidak akan selesai hanya dengan memberantas pinjol ilegal,” ujar Rini dalam keterangan tertulis yang diterima pada Minggu (17/10).

Terkait persoalan ini, perempuan yang juga pelaku UMKM ini meminta pemerintah melakukan 5 hal. Pertama, memudahkan warga negara maupun pelaku usaha kecil atau UMKM untuk mengakses kredit perbankan dengan bunga rendah dan persyaratan yang ringan.

Menurutnya, ini perlu dipertimbangkan bahwa demi mencegah potensi kredit macet atau gagal bayar, perbankan tak hanya mensyaratkan agunan dan penilaian kelayakan kredit, tetapi juga turut memfasilitasi pengembangan pelaku usaha penerima pinjaman lewat pelatihan kewirausahaan, pengelolaan bisnis, manajemen keuangan, dan teknik pemasaran.

Karena itu, lanjut dia, Indonesia butuh semacam bank khusus misalnya bank UMKM untuk menyalurkan kredit kepada UMKM. Bank ini tidak berfungsi hanya sebatas bank, tetapi juga menjadi mitra untuk membantu pemajuan UMKM.

“Kedua, menetapkan plafon tertinggi bunga pinjaman untuk semua lembaga keuangan penyalur pinjaman ke masyarakat, baik perbankan, koperasi, fintech, dan lembaga keuangan lainnya,” kata dia.

Ketiga, ujar Rini, menjamin hak-hak dasar rakyat, terutama pangan, tempat tinggal, pendidikan, dan kesehatan, dengan mempertimbangan penerapan jaminan penghasilan dasar (universal basic income).

“Keempat, mendesak Negara untuk memutihkan kredit macet di bawah Rp10 juta demi menalangi dampak pandemi,” katanya.

Terakhir atau kelima, menghapuskan atau melarang bentuk penagihan yang berbentuk teror, merendahkan martabat manusia, dan perampasan harta benda.

Rini mengatakan, pemerintah harus melakukan langkah-langkah tersebut karena mesikipun Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah menginstruksikan jajarannya untuk memberantas pinjol ilegal, menyerukan perlunya literasi keuangan dan digital, moratorium penerbitan izin fintech baru, dan memberantas pinjol ilegal ini belum ampuh.

“Menurut kami, mengatasi pinjol ilegal dan sejenisnya tak cukup dengan literasi keuangan dan digital maupun memberantas pinjol ilegal. Sebab, ada beberapa faktor penting yang menyebabkan pinjol ilegal dan sejenisnya merebak,” ujarnya.

Pertama, ungkap Rini, sebagian besar masyarakat Indonesia masih miskin dan rentan terhadap kemiskinan. Berdasarkan data Faisal Basri (merujuk data BPS 2019), jumlah penduduk rentan (insecure) dengan pendapatan per kapita Rp25 ribu mencapai 52,8% atau 148 juta orang.

Bila merujuk pada Laporan Bank Dunia tahun 2020, apabila menggabungkan kelompok miskin (poor), rentan (vurnerable), dan menuju menenengah (aspiring middle class), maka jumlah penduduk yang tidak aman pendapatan (rentan) mencapai 78,3%.

Menurut Rini, kelompok masyarakat kategori miskin dan rentan ini masih kesulitan memenuhi kebutuhan dasarnya, dari mulai pangan, pendidikan, kesehatan, tempat tinggal, dan lain-lain. Demi kebutuhan hidupnya, mereka kerap terjebak utang, gali lubang tutup lubang.

“Sebelum isu pinjol merebak, kelompok sosial ini sudah menjadi korban dari bank plecit atau bank keliling, yang menawarkan kemudahan mendapat pinjaman, tetapi berbunga tinggi,” katanya.

Kedua, jangkauan dari perbankan masih sangat rendah. Masih ada 52% atau 95 juta penduduk Indonesia dewasa yang tidak tersentuh perbankan (unbankable). Sementara 47 juta penduduk dewasa belum tersentuh kredit perbankan. Lalu, ada sekitar 69,5% UMKM di Indonesia belum mengakses perbankan.

Penyebabnya, kata Rini, perbankan memasang pembatas yang sangat tebal bagi setiap warga untuk mengakses kredit. Semisal keharusan kelayakan kredit (creditworthiness), yaitu penilaian terhadap calon peminjam terkait kemampuannya membayar angsuran kredit.

Dalam banyak kasus, akses kredit ke perbankan mensyaratkan agunan. Masalahnya, untuk warga miskin, apalagi yang tinggal di perkotaan, dengan status rumah mengontrak dan pekerjaan tidak tetap, hal tersebut sangat sulit dipenuhi.

“Rendahnya inklusi keuangan perbankan inilah yang menjadi pintu masuk bagi pinjol, bank plecit, bank keliling, koperasi simpan pinjam bergaya rentenir, dan lain-lain,” tandasnya.

782