Home Hukum Ditjenpas Beri Keterangan Terkait Temuan TAKK

Ditjenpas Beri Keterangan Terkait Temuan TAKK

Jakarta, Gatra.com – Keluarga korban kebakaran Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Tangerang disebut mendapatkan surat pernyataan agar tidak menuntut Lapas Tangerang atau pihak manapun atas kebakaran.

Kepala Bagian Humas dan Protokol Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, Rika Aprianti, menyebutkan bahwa tidak ada pemaksaan dalam proses penandatangan surat tersebut. 

"Itu memang disampaikan oleh tim dari kantor wilayah Kementerian (Hukum dan HAM) Banten, tetapi keterangan dari sana tidak ada pemaksaan. Memang kalau enggak tanda tangan itu jadi gimana, kan enggak," tutur Rika melalui sambungan telepon pada Jumat (29/10).

Dalam kesempatan tersebut, Rika juga mempertanyakan mengenai di mana bagian pemaksaan. "Kalaupun yang bersangkutan mengatakan ada pemaksaan di bagian mananya ada pemaksaan? Pada saat bagaimana, seperti apa, sih?" ucapnya. 

Menurut Rika, surat tersebut dikeluarkan oleh Lapas Kelas I Tangerang dengan satu kop surat, tidak berbeda-beda. Ia juga berujar bahwa penandatanganan surat ini dilakukan secara terbuka dan tidak sembunyi-sembunyi. 

Menurut Rika, petugas sudah memberikan pelayanan pendampingan yang terbaik untuk keluarga korban. Jikalau ada yang kurang dan tidak memuaskan, pihaknya membuka ruang komunikasi. 

Sebelumnya, Tim Advokasi Korban Kebakaran (TAKK) melaporkan temuan kepada Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) pada Kamis (28/10/2021). Laporan ini terkait penanggulangan pascakebakaran Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Tangerang.

TAKK yang terdiri dari LBH Masyarakat, LBH Jakarta, LPBH NU, dan Imparsial membuka posko pengaduan pascakebakaran Lapas Kelas I Tangerang. Terdapat 9 pengaduan dan 7 keluarga korban meminta pendampingan hukum.

Pengacara Publik LBH Masyarakat, Ma'aruf Bajammal, menyebutkan bahwa salah satu temuan adalah keluarga korban diberikan surat agar tidak menuntut Lapas Kelas I Tangerang atas peristiwa kejadian kebakaran itu. 

"Itu ada surat pernyataan yang diberikan kepada keluarga korban agar tidak menuntut Lapas Tangerang atau pihak manapun atas peristiwa kejadian kebakaran itu," tutur Ma'aruf di Gedung Komnas HAM pada Kamis (28/10).

Ma'aruf juga berujar, temuan lain adalah terdapat indikasi intimidasi di dalam proses penandatanganan surat tersebut. Menurutnya, penandatanganan tersebut dilakukan di sebuah ruangan sempit dan terdapat 10 orang yang mengerubungi keluarga korban ketika menandatangani surat dan menyuruh keluarga korban menandatangani surat secara tergesa-gesa.

"Nah, sehingga bahkan mereka tidak tahu dokumen apa yang mereka tanda tangani pada saat itu terjadi," ucap Ma'aruf.

Menurut Ma'aruf, terdapat 4 persoalan mendasar dari 7 temuan yang ada, yakni adanya ketidakterbukaan informasi pada saat penyerahan korban, adanya ketidaklayakan pemulasaran jenazah kepada korban yang meninggal, dan penyalahgunaan keadaan yang kemudian berdampak pada hak asasi keluarga korban.

Menurutnya, dugaan tersebut berdampak pada pelanggaran hak asasi kepada keluarga korban. Selain itu, ada pula ketiadaan ganti rugi kepada keluarga korban sebagai bentuk pertanggungjawaban pemerintah atas peristiwa kebakaran. 

"Atas dasar hal tersebut, maka setidaknya ada dugaan pelanggaran HAM terkait dengan peristiwa ini," ucap Ma'aruf. 

Mengutip keterangan tertulis dari TAKK yang diterima Kamis (28/10), temuan proses penanggulangan pascakebakaran Lapas Tangerang tersebut berdampak pada pengakuan, pengurangan, penikmatan, dan penggunaan hak asasi keluarga korban sebagaimana juga telah dijamin dalam Pasal 28A, Pasal 28G Ayat (1) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Konstitusi RI) dan Pasal 17 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. 

Kebakaran di Lapas Kelas I Tangerang terjadi pada Rabu (8/9) dini hari. Adapun penyebab kebakaran ini disebut karena korsleting listrik. Terdapat 49 korban meninggal dunia dan 6 orang ditetapkan sebagai tersangka dalam peristiwa ini.

487