Home Hukum Ini Tanggapan LPSK Terkait Pembatalan PP Nomor 99 Tahun 2012

Ini Tanggapan LPSK Terkait Pembatalan PP Nomor 99 Tahun 2012

Jakarta, Gatra.com - Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Edwin Partogi menanggapi putusan Mahkamah Agung yang membatalkan Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 yang mengatur pengetatan pemberian remisi bagi pelaku tindak pidana korupsi, narkotika, terorisme dan lainnya.  

Menurut Edwin, pemidanaan harus didasari putusan hakim dan tidak boleh ada hukum tambahan di luar putusan hakim. Artinya, jika terdapat penghapusan hak pidana, penghapusan tersebut sebaiknya merupakan putusan hakim.

Edwin berpendapat, konsep sistem pemidanaan adalah untuk menyiapkan terpidana kembali ke masyarakat. Selain terpidana koruptor, ada pula terpidana terorisme dan narkoba. Ia berujar, lapas mayoritas diisi oleh terpidana narkoba dan jika disyaratkan sebagai justice Collaborator, hal itu akan memberatkan mereka.

"Karena narkoba jaringan tertutup dan melibatkan mafia, termasuk oknum. Penjara kita mengalami overcrowded," tutur Edwin mengutip keterangan tertulis pada Senin (01/11).

Edwin menuturkan, khusus JC, terdapat aturan yang mengatur mengenai penghargaan atas kesaksian yang diberikan, yakni Pasal 10A Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban. Penghargaan itu adalah pembebasan bersyarat, remisi tambahan dan hak narapidana lain.

Tapi, kata Edwin, implementasi pemenuhan hak narapidana sebagaimana diatur Pasal 10A Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban terhambat oleh Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012. 

Pada praktiknya, diketahui terjadi penyimpangan atau kolusi antara terpidana dengan oknum aparat untuk mendapatkan status JC agar narapidana bisa mendapatkan haknya. "Anehnya lagi, bila pelaku tunggal, juga bisa diterbitkan status JC, "ucap Edwin.

Edwin juga berujar, sebagian Kepala Lapas lebih merujuk Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 ketimbang Pasal 10A Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban yang juga mengatur hak-hak narapidana bagi JC. Hal ini berdasarkan pengalaman LPSK.

Kementerian Hukum dan HAM sendiri, kata Edwin, sedang menyusun peraturan turunan dari Pasal 10A Undang-Undang No. 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Dengan demikian, pencabutan Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 sejalan dengan penyusunan oleh Kemenkumham.

Edwin meminta pemerintah untuk tidak ragu dalam melaksanakan putusan MA tersebut. Apalagi, Mahkamah Konstitusi (MK) memberikan keputusan terhadap judicial review terhadap Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan yang diajukan terpidana kasus korupsi OC Kaligis pada September lalu, berpendapat senada.

Menurut MK, terpidana yang menjalani masa pidana di Lapas berhak mendapat remisi yang dijamin Undang-Undang Pemasyarakatan, tapi tidak memiliki wewenang dalam mengadili PP, MK tidak mencabut PP Nomor 99 Tahun 2012.

Sebelumnya, mantan kepala desa Subowo dan empat orang lainnya yang menjadi warga binaan di Lapas Klas IA Sukamiskin Bandung memohonkan uji materiil. Majelis Hakim MA diketuai Supandi dengan Hakim Anggota Yodi Martono dan Is Sudaryono. Dalam uji materiil, pemohon menilai ada sejumlah pasal, yakni Pasal 34 A ayat 1 huruf a dan b, Pasal 34A ayat 3, dan Pasal 43 A ayat 1 huruf a, Pasal 43A ayat 3 yang bertentangan dengan undang-undang berlaku.

Majelis Hakim, dalam putusannya menimbang kalau fungsi pemidanaan tidak lagi sekedar menaruh pelaku di jeruji besi agar jera. Akan tetapi, usaha rehabilitasi dan reintegrasi sosial yang sejalan dengan model restorative justice. Berkaitan dengan itu, sejatinya hak untuk mendapatkan remisi harus diberikan dan berlaku bagi semua warga binaan, kecuali hal itu mengalami pencabutan yang didasari putusan pengadilan.
 

3366