Home Nasional Soal Garuda Diambang Ambruk, Ini Tanggapan Komisi VI

Soal Garuda Diambang Ambruk, Ini Tanggapan Komisi VI

Jakarta, Gatra.com – Anggota Komisi VI DPR RI, Nevi Zuairina, angkat bicara terkait penyelamatan Garuda Indonesia yang beberapa waktu terakhir ramai dibicarakan. Beberapa kendala persoalan mulai dari utang, mobilitas masyarakat berkurang sehingga menjadikan Penyertaan Modal Negara (PMN) tidak bisa mendukung Garuda.

 

"Terkait penyelamatan Garuda, Komisi VI sudah memberikan supporting dana PMN beberapa kali. Namun banyaknya persoalan utang ditambah kondisi pandemi sehingga cost [biaya] membesar namun mobilitas masyarakat berkurang, sehingga utang Garuda tidak kunjung terselesaikan," ungkap Nevi saat dihubungi Gatra, Jumat (5/11).

 

"Tahun 2020, Garuda mendapatkan pinjaman [yang Komisi VI DPR setujui], yaitu bersifat indirect support atau tidak langsung, sebesar 8,5 triliun. Pinjaman dikucurkan dengan skema mandatory convertible bond (MCB) atau obligasi wajib konversi. Sayangnya, dana sebesar ini tidak dikucurkan sepenuhnya dengan berbagai persoalan. Hingga bulan Mei 2021 lalu baru dicairkan sebesar 1 triliun," beber politisi PKS ini.

 

Alasannya, lanjut Nevi, tidak dicairkan seutuhnya karena persoalan teknis seperti belum ada persetujuan pemegang saham Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) serta belum adanya rencana penggunaan anggaran untuk memperbaiki kinerja. 

 

"Ini harus jadi perhatian kita, kenapa pemerintah lamban mencairkan dana tersebut. Intinya untuk penyelamatan Garuda tergantung hasil negosiasi dengan Lessor, Lender, dan Pemegang SUKUK internasional," kata Nevi. 

 

Sementara itu, menanggapi opsi yang ditawarkan Pemerintah dalam penyelesaian kasus yang membelit PT Garuda Indonesia, Anggota Komisi VI DPR RI lainnya dari Fraksi PKS, Amin Ak, menilai hal itu merupakan pilihan terakhir meskipun menyakitkan.

 

Bagaimanapun, kata Amin, Negara tidak boleh terus menerus dirugikan akibat buruknya manajemen Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

 

Karena itu, menurut Amin, penyelesaian kasus Garuda jangan hanya fokus pada keberlanjutan usaha atau bisnisnya semata, namun juga harus ada shock therapy terhadap mereka yang menyebabkan krisis dengan membawanya ke ranah hukum.

 

Menurut Amin, penyebab krisis akut di tubuh Garuda tidak terlepas dari dampak moral hazard yang dilakukan pengelola di era sebelum sekarang, baik direksi maupun komisaris.

 

"Saya minta Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) melakukan audit investigasi terhadap PT Garuda Indonesia," ujarnya, tegas.

 

Terkait opsi penyelamatan Garuda, Amin menilai kondisi keuangan PT Garuda Indonesia saat ini memang sangat berat. Hingga Juni 2021 lalu, Garuda masih memiliki utang senilai Rp70 triliun. Utang Garuda akan terus membengkak karena setiap bulan PT Garuda Indonesia secara konsolidasi menderita kerugian sebesar US$100 juta atau setara Rp1,4 triliun pada kurs Rp14.000 per US dollar.

 

 

Berdasarkan keterangan Direksi Garuda saat RDP dengan komisi VI Juni lalu, sumber kerugian antara lain karena Garuda dibebani oleh 101 pesawat sewaan yang kondisinya menganggur (unutilized asset) dari jumlah 142 pesawat dengan total fixed cost sebesar US$ 82 juta per bulan atau setara Rp1,16 triliun.

 

Padahal, market saat ini hanya memerlukan 41 pesawat saja. Sementara fixed cost untuk 101 pesawat harus tetap dibayarkan dan menjadi utang jika tidak dibayar. Padahal pesawat-pesawat tersebut tidak menghasilkan revenue.

 

"Untuk BBM saja, Garuda Indonesia juga memiliki tunggakan utang BBM ke Pertamina sebesar Rp12 triliun," ujarnya.

 

Gugatan Eksternal

 

Garuda saat ini juga harus menghadapi gugatan pailit dari sejumlah perusahaan. Di antaranya gugatan dari PT Mitra Buana Korporindo terkait utang dengan gugatan sebesar US$ 4,78 miliar atau hampir Rp70 triliun. Kemudian, PT My Indo Airlines terkait tunggakan pembayaran layanan kargo dengan gugatan sebesar US$ 700.539 atau hampir Rp10 miliar.

 

Selanjutnya gugatan datang dari PT Aircraft Ireland Limited dari negara bagian New South Wales, Australia, terkait pembayaran sewa pesawat, juga dari Helice dan Atterisage (Goshawk) di Pengadilan Arbitrase Internasional London terkait pembayaran sewa pesawat.

 

Melihat fakta-fakta di atas, upaya penyelamatan Garuda memang sangat sulit. Jika negosiasi restrukturisasi utang maupun restrukturisasi sistem sewa (leasing) pesawat menemui jalan buntu, maka pailit menjadi pilihan yang sulit dihindarkan.

 

"Tidak mungkin semua beban Garuda tersebut diselesaikan lewat Penyertaan Modal Negara (PMN), terlebih kondisi APBN saat ini juga sangat berat," kata Amin.

 

145