Home Ekonomi SETARA Institute: PTPN V Masih Lakukan Praktik Bisnis Tak Selaras ISCC-RSPO

SETARA Institute: PTPN V Masih Lakukan Praktik Bisnis Tak Selaras ISCC-RSPO

Jakarta, Gatra.com – Lembaga swadaya masyarakat SETARA Institute menyebut bahwa PT Perkebunan Nusantara V (PTPN V) masih mempraktikkan cara bisnis yang tak selaras dengan sertifikasi dari International Sustainability & Carbon Certification (ISCC) serta Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO).

PTPN V memperoleh sertifikasi tersebut pada tahun 2018 karena dianggap memenuhi standar keberlanjutan (sustainability) serta komitmen bisnis dan HAM sebagaimana digariskan oleh Panduan Prinsip-Prinsip PBB untuk Bisnis dan HAM (UNGPs). Dengan sertifikasi tersebut, PTPN V telah menikmati harga premium dari penjualan atas produk sawit dengan keuntungan puluhan miliar per tahun.

“Namun demikian, jika ditelisik lebih dalam, PTPN V ternyata masih mempraktikkan cara-cara bisnis yang tidak sepenuhnya sejalan dengan standar-standar yang menjadi acuan pemberian sertifikasi tersebut,” ujar Ketua SETARA Institute, Hendardi, pada keterangan tertulis yang diterima Gatra.com pada Senin (15/11).

Saat ini, annual surveillance audit/assessment sedang dilakukan oleh RSPO. Kegiatan ini merupakan audit tahunan untuk kembali memeriksa apakah PTPN V masih layak memperoleh sertifikasi RSPO atau tidak.

Sebaliknya, apabila ditemukan standar-standar yang tidak lagi dipenuhi, maka bisa saja hasil audit akan merekomendasikan peninjauan ulang sertifikasi RSPO atau hanya akan memperoleh partial compliance. Dengan demikian, PTPN V harus kembali memperbaiki sustainability policy dan mempraktikkannya secara serius.

SETARA mencatat bahwa salah satu prinsip utama dalam bisnis dan HAM serta keberlanjutan adalah free, prior, inform-consent atau persetujuan dengan informasi awal tanpa paksaan. Prinsip-prinsip tersebut kemudian tercermin dalam kemitraan yang setara antarpara pemangku kepentingan (multistakeholders).

Dalam konteks kinerja PTPN V, SETARA memandang bahwa prinsip ini seharusnya dipatuhi oleh PTPN V dalam mengelola kemitraan dengan petani plasma. Akan tetapi, yang terjadi justru sebaliknya. SETARA melihat bahwa PTPN V gagal memenuhi kewajiban standar-standar yang telah ditetapkan oleh RSPO maupun oleh UNGPs.

“Bagaimana mungkin PTPN V memperoleh sertifikasi RSPO padahal sejumlah koperasi yang menjadi mitra PTPN V mengalami berbagai pelanggaran HAM, PTPN V tidak mengelola keuangan kemitraan secara transparan, penghancuran organisasi rakyat dengan membentuk koperasi-koperasi tandingan, dan bahkan menggunakan tangan-tangan penegak hukum untuk mengkriminalisasi petani,” ujar Hendardi.

“Jadi sertifikasi RSPO yang diperoleh PTPN V bisa jadi hanya basa-basi karena berhasil menutupi keburukan-keburukan perusahaan yang sudah belasan tahun terus disembunyikan. RSPO bekerja berdasarkan portofolio yang di-submit oleh PTPN V dan juga mewawancarai orang-orang yang juga ditunjuk dan didesain oleh PTPN V sebagai pihak yang diaudit (auditee). Dengan cara kerja ini, wajar PTPN V bisa memoles citra positif di atas kertas,” tandas Hendardi.

Sementara itu, kehadiran Koperasi Petani Sawit Makmur (Kopsa M) yang beranggotakan 997 orang dan saat ini tengah memperjuangkan hak-hak yang diduga dirampas PTPN V dinilai sebagai contoh paling nyata bahwa prinsip bisnis dan HAM telah dilanggar.

Alih-alih mengadopsi model penyelesaian konflik sebagaimana rekomendasi lembaga sertifikasi internasional, SETARA menilai bahwa PTPN V lebih memilih jalan pintas yang justru mempertegas bahwa PTPN V adalah salah satu entitas bisnis terdepan yang melanggar HAM.

Selain Kopsa M, nasib serupa juga dialami oleh sejumlah koperasi lain. Ada Koperasi Iyo Basamo, masyarakat adat Pantai Raja, dan lain-lain, yang semuanya dinyatakan sebagai kemitraan yang bermasalah dan menuntut penyelesaian oleh Audit Keungan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atas PTPN V tahun 2005.

Oleh karena itu, SETARA memandang bahwa para auditor RSPO wajib jeli dalam menangkap fakta lapangan. Jika RSPO bekerja hanya berdasar pada data yang sudah disulap, maka integritas RSPO dinilai akan bernasib sama seperti sertifikasi yang diproduksi oleh Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO), yang akhirnya tidak dipercaya publik. Terkait hal ini, Gatra.com masih berupaya mengonfirmasi pihak terkait.

645