Home Nasional Seribu Lebih Jurnalis Perempuan Alami Kekerasan: Mayoritas Body Shaming, 22 Persen Serangan Seksual

Seribu Lebih Jurnalis Perempuan Alami Kekerasan: Mayoritas Body Shaming, 22 Persen Serangan Seksual

Yogyakarta, Gatra.com - Sebanyak 1.077 jurnalis perempuan pernah mengalami kekerasan sepanjang karier jurnalistik mereka. Lebih dari separuh responden mengalami body shaming, 40 persen pelecehan lisan bersifat seksual dan 22 persen serangan fisik seksual.

Hal itu menjadi temuan lembaga Pemantau Regulasi dan Regulator Media (PR2Media) dalam survei nasional “Kekerasan terhadap Jurnalis Perempuan Indonesia” yang diluncurkan pada Sabtu (11/12) secara daring.

“Temuan memprihatinkan ini perlu menjadi tanda bahaya bagi seluruh pemangku kepentingan pers, untuk semakin menyadari fenomena yang sudah lama dirasakan tapi belum terkonfirmasi,” kata peneliti PR2Media, Engelbertus Wendratama, dalam keterangan tertulis yang diterima Gatra.com.

Survei yang digelar pada Agustus-September itu menemukan, 85,7 persen dari 1.256 jurnalis perempuan Indonesia pernah mengalami aneka bentuk kekerasan.

Survei dilakukan secara daring terhadap 1.256 jurnalis perempuan di 191 kota/kabupaten di Indonesia wilayah bagian barat, tengah, dan timur. Dari 1.077 jurnalis perempuan yang pernah mengalami kekerasan, sebanyak 880 responden atau 70,1 persen pernah mengalami kekerasan di ranah digital sekaligus di ranah fisik. Hanya 179 jurnalis atau 14,3 persen yang tidak pernah mengalami kekerasan sama sekali.

“Data nasional ini mengonfirmasi cerita-cerita individual yang beredar luas bahwa banyak jurnalis perempuan Indonesia mengalami berbagai kekerasan,” imbuh Wendratama.

Survei tersebut juga menemukan bahwa bentuk kekerasan sangat beragam, yakni bersifat seksual maupun non-seksual, di ranah digital dan ranah fisik, termasuk adanya diskriminasi gender terhadap jurnalis perempuan di kantor.

Rahayu, koordinator survei PR2Media, menjelaskan, hasil survei juga mengindikasikan tren bahwa semakin banyak responden, temuan angka kekerasan makin bertambah.

“Jadi jika jumlah responden ditambah, angka pengalaman kekerasan itu juga ikut naik. Ini tentu tantangan yang urgen, karena data ini merepresentasikan Indonesia,” kata Rahayu.

Ia memaparkan, dari 16 bentuk kekerasan di ranah digital dan ranah fisik yang ditanyakan dalam survei, bentuk kekerasan yang paling banyak dialami oleh responden adalah komentar body shaming secara fisik. Jumlahnya lebih dari separuh, yakni 59 persen.

Selain itu, ada komentar mengganggu/melecehkan bersifat non-seksual secara daring (48%) dan komentar body shaming secara daring (45%).

Kekerasan dalam bentuk ancaman atau pelecehan lisan yang bersifat seksual juga relatif besar yakni 40 persen, sedangkan ancaman atau pelecehan lisan yang bersifat non-seksual 37 persen.

Jurnalis perempuan juga mendapat komentar mengganggu/melecehkan bersifat seksual secara daring (34%), diskriminasi gender di kantor (32%), penyebaran misinformasi/fitnah secara daring (28%), bahkan penghinaan terkait suku/ agama/ras secara daring (22%).

Yang tak kalah memprihatinkan, serangan fisik yang bersifat seksual dialami oleh 22 persen jurnalis perempuan.

Rahayu menjelaskan, selain riset berupa survei dan wawancara, PR2Media juga menyusun modul juga menggelar pelatihan dan kampanye terkait kekerasan terhadap jurnalis perempuan Indonesia. Agenda ini digelar Agustus hingga Desember 2021 dengan dukungan USAID dan Internews.

Ketua PR2Media, Masduki, berharap temuan penelitian ini dapat digunakan oleh pemangku kepentingan, mulai dari jurnalis, Dewan Pers, peneliti, organisasi media, lembaga advokasi, hingga pemerintah dan Komisi I DPR RI.

"Temuan riset ini dapat menjadi basis untuk melakukan langkah lebih lanjut untuk menanggapi kasus-kasus kekerasan terhadap jurnalis perempuan di Indonesia," kata dia.

292