Home Hukum Pakar UGM: Tinjau Kembali Tuntutan Hukuman Mati Terdakwa Kasus PT Asabri

Pakar UGM: Tinjau Kembali Tuntutan Hukuman Mati Terdakwa Kasus PT Asabri

Jakarta, Gatra.com - Tetiba, banyak pengamat rame-rame berkomentar soal kasus Asabri. Narasinya panjang kali lebar, nadanya serupa dengan narasumber berbeda-beda dari seluruh Indonesia. Kok bisa, tuntutan hukuman mati dalam kasus mega korupsi PT Asabri terhadap terdakwa Heru Hidayat menuai respon dari banyak pihak. Salah satunya adalah pakar Hukum Universitas Gajah Mada (UGM), Muhammad Fatahillah Akbar.

Akbar menegaskan jaksa telah terjebak pada frasa keadaan tertentu dalam kasus korupsi PT Asabri. Hal tersebut menjadi sangat penting untuk dipertanyakan. Pasalnya tindak pidana korupsi yang dituduhkan pada Heru Hidayat tidak dalam kondisi darurat seperti bencana nasional atau krisis moneter. 

"Dalam kasus Heru Hidayat pertanyaan terbesarnya adalah apakah terpenuhi keadaan tertentu. Padahal kasus PT Asabri ini ada kaitannya dana bencana, krisis, dan dana penanggulangan korupsi," ujar Akbar kepada wartawan, Minggu (12/12). 

Menurut Akbar, pasal tersebut tak dapat diterapkan di kasus ini. Selain itu kata dia, jika dijatuhkan tuntutan mati Heru seyogyanya tidak perlu lagi membayar uang pengganti yang dibebankan padanya. "Pada dasarnya kalau fokus utama jaksa adalah aset recovery, maka seharusnya tidak memilih tuntutan pidana mati," katanya.

Akbar juga yakin tuntutan tersebut tidak akan diterima oleh Hakim. "Saya kok masih yakin majelis hakim akan memutuskan secara arif dan bijaksana," ucapnya

Lebih lanjut Akbar mengatakan dalam Pasal 182 ayat (4) KUHAP terdapat ketentuan bahwasanya hakim sebelum mengambil keputusan mengadakan musyawarah terakhir. Adapun musyawarah tersebut harus didasarkan pada surat dakwaan dan segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan di sidang. 

Jika melihat syarat musyawarah hakim dalam Pasal 182 KUHAP harus didasarkan pada dakwaan dan pembuktian saja. "Sebagaimana kita tahu, tuntutan hukuman mati tidak ada dalam dakwaan jaksa bukan?" ujar Akbar.

Menurut Jaksa Penuntut Umum (JPU), Heru Hidayat telah terbukti melanggar Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 18 UU No. 31 Tahun 1999 yang diubah menjadi UU No. 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Serta Pasal 55 ayat (1) pertama KUHP dan kedua primair Pasal 3 Undang-undang Nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. 

JPU kemudian menuntut terdakwa dengan pidana mati. Selain itu, terdakwa diberi hukuman membayar uang pengganti sejumlah Rp 12.643.400.946.226,00 dalam waktu satu bulan. Jika uang ini tidak diganti sesuai waktu yang telah ditentukan, maka Jaksa akan menyita serta melelang harta benda yang dimiliki sebagai uang pengganti. 

Sebelumnya, mantan wakil ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Saut Situmorang menegaskan, solusi dari persoalan hukuman mati yang kontroversial dalam tindak pidana korupsi PT Asabri adalah dengan memaksimalkan hukuman penahanan atau penjara seumur hidup. Bahkan bila ada di dalam hukum positif Indonesia, kalau perlu para koruptor itu dipenjara 100 tahun saja, namun  tidak ada opsi untuk hukuman mati dalam penegakan hukum terkait kasus tipikor.

Masih banyak opsi penghukuman lain. Detail setiap kasus korupsi dalam hal persekongkolan kelompok dan peran siapapun harus dituntaskan. Tidak ada pembenaran penjara penuh, restorative justice dan lainnya. "Kalau mau sustain memberantas korupsi, tidak ada cara lain kecuali dengan pendekatan kompleks yang mengadili siapapun, besar atau kecil yang dicuri. Jadi bukan dengan pendekatan hukuman mati agar orang berhenti korupsi karena nilainya besar, misalnya," ucap Saut.

Dengan tidak menerapkan hukuman mati, Corruption Perception Index (CPI) atau Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia terpuruk di posisi rendah yaitu di angka 37 atau peringkat 102 di dunia. Sedangkan China yang menerapkan hukuman mati untuk koruptor pada angka 42 atau 78 dunia. 

346