Home Hukum Kejagung Angkat Bicara soal Tuntutan Hukuman Mati pada Heru Hidayat

Kejagung Angkat Bicara soal Tuntutan Hukuman Mati pada Heru Hidayat

Jakarta, Gatra.com – Kejaksaan Agung (Kejagung) angkat bicara soal banyaknya pihak, di antaraya pakar hukum yang menyoal tuntutan hukuman mati terhadap Presiden PT Trada Alam Minera, terdakwa Heru Hidayat, dalam perkara koupsi dan pencucian uang pengelolaan keuangan dan dana investasi pada PT Asabri tidak tepat.

Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Leonard Eben Ezer Simanjuntak, dalam keterangan yang diterima pada Jumat (17/12), menyampaikan, Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Kejaksaan Negeri Jakarta Timur (Kejari Jaktim) telah menanggapinya dalam persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta.

Leo menjelaskan, tanggapan tersebut dituangkan dalam replik menjawab nota pembelaan (pledoi) dari pihak terdakwa Heru Hidayat, termasuk tim kuasa hukumnya yang salah satunya menyoal tuntutan hukuman mati tersebut.

“Salah satu tanggapan atau replik Jaksa Penuntut Umum terkait dalil pembelaan terdakwa dan Tim Penasihat Hukum terdakwa tentang tuntutan pidana mati yang diucapkan JPU dengan menggunakan dalil Pasal 2 Ayat (2) Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi untuk menuntut terdakwa dihukum mati, padahal pasal tersebut tidak didakwakan,” ujarnya.

Atas dalil tersebut, lanjut Leo, JPU menyampaikan tanggapan. Pertama, bahwa di dalam Pasal 182 Ayat 4 KUHAP, berbunyi: “Musyawarah tersebut pada Ayat (3) harus didasarkan atas surat dakwaan dan segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan di sidang”.

Menurut JPU, lanjut Leo, di dalam perkara aquo, terdakwa Heru Hidayat selaku Presiden PT Trada Alam Minera didakwa dengan Pasal 2 Ayat (1) UU Tipikor dan pada saat di persidangan ditemukan hal-hal yang memberatkan akibat perbuatan pidana yang dilakukan oleh terdakwa.

Sedangkan pemberatan di Pasal 2 UU Tipikor termuat di dalam Ayat (2), hal ini sejalan dengan pandangan yang diberikan oleh Satjipto Rahardjo yang memberikan gagasan-gagasan terbaru dalam memaknai hukum, dengan konsep teori hukum progresifnya.

Menurut Satjipto, hukum tidak hanya dimaknai secara tekstual, sehingga pemaknaan terhadap asas ultra petitum partium dapat diberikan pemaknaan lain dengan menggunakan teknik-teknik penemuan hukum guna mendapatkan keadilan yang sesuai dengan keadilan dalam masyarakat.

Leo melanjutkan, pada pemeriksaan perkara pidana yang dicari adalah kebenaran materil sehingga hakim dalam memeriksa perkara bersifat aktif dan bebas mempertimbangkan segala sesuatunya yang terkait dengan perkara yang sedang diperiksa tersebut.

“Di dalam KUHAP tidak ada satu pasal pun yang mengatur keharusan hakim untuk memutus perkara sesuai dengan tuntutan jaksa,” tandasnya.

Dengan demikian, hakim bebas menentukan berat ringannya pemidanaan atas perkara yang diperiksa. Putusan hakim kasus pidana pada dasarnya bertujuan untuk melindungi kepentingan publik, sehingga putusan ultra petita dibenarkan sepanjang hal tersebut dimaksudkan untuk memenuhi kepentingan masyarakat luas atau publik.

Menurut pendapat Van Apeldoorn, ujar Leo, hakim harus menyesuaikan (waarderen) undang-undang dengan hal-hal yang konkret yang terjadi di masyarakat dan hakim dapat menambah (aanvullen) undang-undang apabila perlu. Hakim harus menyesuaikan undang-undang dengan hal yang konkret, karena undang-undang tidak meliputi segala kejadian yang timbul dalam masyarakat, sehingga Putusan hakim dapat memuat suatu hukum dalam suasana werkelijkheid yang menyimpang dari hukum dalam suasana positiviteit.

Terlebih lagi, dalam praktik peradilan, hakim memutus perkara di luar dari pasal yang didakwakan kepada terdakwa adalah bukan sesuatu hal yang baru. Terdapat yurisprudensi terkait hal tersebut, di antaranya putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Nomor: 17/ PID.SUS/TPK/PN.JKT.PST, tanggal 23 Juni 2014 atas nama Susi Tur Andayani terkait perkara tindak pidana korupsi (suap) pengurusan sengketa pilkada di Mahkamah Konstitusi (MK).

“Dalam putusannya, hakim memutus pasal yang berkualifikasi delik berbeda dengan pasal yang tercantum di dalam surat dakwaan, yaitu hakim memutus dengan menggunakan ketentuan dari Pasal 6 Ayat (1) huruf a UU Tipikor,” ungkapnya.

Selain dari perkara tersebut, kata Leo, masih terdapat sejumlh putusan lainnya bahwa pengadilan memutus perkara di luar pasal yang didakwakan oleh jaksa penuntut umum kepada terdakwa.

Menurut Leo, demikian halnya penggunaan Pasal 63, 64, dan 65 KUHP yang dalam praktik peradilan sering digunakan meskipun tidak dicantumkan dalam Surat Dakwaan, oleh karena pasal-pasal tersebut merupakan pemberatan dan bukan merupakan unsur delik. Pasal-pasal tersebut bersifat sama dengan apa yang tercantum dalam Pasal 2 Ayat (2) Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Selain dalil soal penerapan pasal yang didakawakan, JPU menanggapi repblik soal menuntut terdakwa Heru Hidayat dihukum mati. Sesuai pernyataan tim JPU di persidangan bahwa akibat perbuatan terdakwa dalam perkara ini telah menimbulkan kerugian keuangan negara sangat besar, yakni totalnya Rp22.788.566.482.083,00 (Rp22,7 triliun lebih).

Dari total kerugian keuangan negara sejumlah Rp22,7 triliun tersebut, terdakwa Heru Hidayat menikmatinya sebesar Rp12.643.400.946.226 (Rp12,6 triliun lebih). Nilai kerugian keuangan negara dan atriubusi yang dinikmati oleh terdakwa Heru Hidayat sangat jauh di luar nalar kemanusiaan dan sangat mencederai rasa keadilan masyarakat.

Selain itu, lanjut Leo, terdakwa Heru Hidayat pada perkara lainnya, yaitu perkara Tindak Pidana Korupsi PT Asuransi Jiwasraya juga telah dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana korupsi berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) dengan nilai kerugian keuangan negara yang juga sangat fantastis, yaitu telah merugikan keuangan sebesar Rp16.807.283.375.000,00 (Rp16,8 triliun lebih). Dari jumlah ini, atribusi yang dinikmati terdakwa Heru Hidayat sebesar Rp10.728.783.375.000 (Rp10,7 triliun).

“Bahwa skema kejahatan yang telah dilakukan oleh terdakwa Heru Hidayat, baik dalam perkara a quo maupun dalam perkara korupsi sebelumnya pada PT Asuransi Jiwasraya, sangat sempurna sebagai kejahatan yang complicated dan sophisticated,” ujarnya.

JPU menilai demikian karena dilakukan dalam periode waktu sangat panjang dan “berulang-ulang”, melibatkan banyak skema termasuk kejahatan sindikasi yang menggunakan instrument pasar modal dan asuransi, menggunakan banyak pihak sebagai nominee dan mengendalikan sejumlah instrumen di dalam sistem pasar modal, menimbulkan korban baik secara langsung dan tidak langsung yang sangat banyak dan bersifat meluas.

“Perbuatan terdakwa telah mencabik-cabik rasa keadilan masyarakat dan telah menghancurkan wibawa negara karena telah menerobos sistem regulasi dan sistem pengawasan di Pasar Modal dan Asuransi dengan sindikat kejahatan yang sangat luar biasa berani, tak pandang bulu, serta tanpa rasa takut yang hadir dalam dirinya dalam memperkaya diri secara melawan hukum,” ujarnya.

Terdakwa Heru Hidayat tidak memiliki sedikit pun empati dengan beritikad baik mengembalikan hasil kejahatan yang diperolehnya secara sukarela serta tidak pernah menunjukkan bahwa perbuatan yang dilakukannya adalah salah.

Terdakwa Heru Hidayat dalam persidangan tidak menunjukkan rasa bersalah apalagi suatu penyesalan sedikit pun atas pebuatan yang telah dilakukannya, “telah jelas” mengusik nilai-nilai kemanusiaan kita dan rasa keadilan sebagai bangsa yang sangat menjunjung nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan.

Dalam perkara ini, JPU menuntut terdakwa Heru Hidayat dijatuhi hukuman mati karena terbukti melakukan korupsi dan pencucian uang sebagaimana dakwaan pertama, yakni Pasal 2 Ayat (1) juncto Pasal 18 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP dan dakwaan kedua, yakni Pasal 3 UU RI No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).

289