Home Hukum TPDI Berpendapat Hakim Bakal Tolak Tuntutan Mati JPU dalam Perkara Heru

TPDI Berpendapat Hakim Bakal Tolak Tuntutan Mati JPU dalam Perkara Heru

Jakarta, Gatra.com – Majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta segera memutus perkara korupsi dan pencucian uang terkait pengelolaan keuangan dan dana investasi pada PT Asabri yang membelit terdakwa Heru Hidayat.

Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Kejaksaan Negeri Jakarta Timur (Jaktim) menuntut Heru Hidayat dijatuhi hukuman mati. Sementara itu, kuasa hukumnya, Kresna Hutauruk, pada Kamis (23/12), optimistis bahwa tuntutan tersebut menyalahi aturan karena kliennya tidak didakwa dengan pasal yang ancamannya hukuman mati.

Tekait perbedaan pandangan tersebut, Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI), Petrus Selestinus, berpendapat bahwa hakim bakal menolak tuntutan tersebut karena JPU tidak mendakwakan Pasal 2 Ayat (2) Undang-Undang Pemberatasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor).

Menurutnya, hakim tidak boleh menjatuhkan putusan di luar pasal yang didakwakan terhadap terdakwa. “Majelis hakim hanya boleh membuat putusan sesuai dengan surat dakwaan,” katanya.

Ia berpendapat bahwa hakim bakal menolak tuntutan hukuman mati JPU terhadap Heru Hidayat karena akan memutuskan perkara sesuai dengan koridor hukum yang secara jelas diatur dalam Pasal 182 Ayat (4) KUHAP. Pasal ini menyatakan, musyawarah tersebut (majelis hakim) pada Ayat (3) harus didasarkan atas surat dakwaan dan segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan di sidang.

Ia melanjutkan, ketentuan dalam Pasal 182 Ayat (4) KUHAP ini, mengatur bahwa surat dakwaan “dan” segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan di sidang, sehingga kata penghubung yang dipakai adalah “dan” bukan atau.

“Jadi, tuntutan jaksa atau putusan hakim tidak boleh keluar dari surat dakwaan dan fakta-fakta persidangan. Kalau pakai kata 'atau', maka hakim bisa memilih salah satunya, tetapi ini pakai kata 'dan',” ujarnya.

Menurutnya, ketentuan tersebut yang membuat JPU diberikan kesempatan yang seluas-luasnya memasukkan berbagai pasal, bisa dakwaan komulatif, alternatif, kombinasi, dan lain-lain saat membuat dakwaan. “Nah, pertanyaannya, mengapa tidak dilakukan sejak awal oleh JPU memasukkan pasal ancaman pidana mati dalam kasus Asabri ini,” katanya.

JPU, lanjut dia, harus konsisten dalam menerapkan pasal yang didakwakan dan dituntutkan. Ini agar tidak semena-mena atau ngawur dalam menuntut terdakwa.

“Tuntutan jaksa tidak boleh keluar dari pasal dakwaan yang sudah dicantumkan dalam surat dakwaan,” tandasnya.

Petrus melanjutkan, konsistensi penerapan pasal yang didakwakan dalam perkara apa pun, termasuk tindak pidana korupsi merupakan dasar dalam suatu persidangan. Bahkan, surat dakwaan ini menjadi dasar bagi majelis hakim untuk memutus perkara.

Sedangkan soal adanya putusan hakim yang ultrapetita atau melebihi yang dituntutkan atau didakwakan JPU, Petrus berpandangan, hal tersebut tidak bisa serta merta membenarkan dalil JPU dalam perkara Heru Hidayat.

“Kalaupun ada satu dua putusan pengadilan memutuskan perkara di luar dakwaan, itu tidak bisa serta merta membenarkan apa yang ditutut jaksa dalam perkara Asabri karena aturannya sudah jelas, harus sesuai dengan surat dakwaan,” ujarnya.

Ia lantas mencontohkan perkara korupsi terdakwa Dicky Iskandardinata, yakni dituntut hukuman mati karena membobol bank BNI melalui transaksi fiktif senilai Rp1,7 triliun. Majelis hakim menolak tuntutan tersebut karena JPU tidak menerapkan pasal dakwaan hukum matinya dalam surat dakwaan.

“Di tingkat kasasi, perkara ini diputuskan oleh majelis hakim yang ketuanya adalah Alm. Artidjo Alkostar. Nah, ini hampir sama dengan tuntutan pidana mati terhadap Heru Hidayat, yang pasal dakwaan terkait ancaman pidana mati tidak masuk dalam surat dakwaan,” ujarnya.

Majelis hakim menolak menjatuhkan hukuman mati dalam perkara tersebut karena JPU tidak mendakwakan Pasal 2 Ayat (2) UU Tipikor dalam surat dakwaannya. Putusan tersebut konsisten hingga tingkat kasasi. Dicky dihukum pidana penjara 20 tahun dan tambahan hukuman denda Rp500 juta subsider 5 bulan kurungan.

Ia menjelaskan, penerapan ancaman hukuman mati Pasal 2 Ayat (2) UU Pemberatasan Korupsi bisa diterapkan terhadap terdakwa yang melakukan korupsi dalam keadaan tertentu, yakni bencana nasional, krisis moneter, dan pengulangan tindak pidana. Ia mengingatkan, penerapannya harus sesuai dengan aturan yang berlaku, yakni harus masuk dalam surat dakwaan.

Dalam perkara ini, JPU dari Kejari Jaktim menuntut terdakwa Heru Hidayat dijatuhi hukuman mati karena terbukti melakukan korupsi dan pencucian uang sebagaimana dakwaan pertama, yakni Pasal 2 Ayat (1) juncto Pasal 18 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP dan dakwaan kedua, Pasal 3 UU RI No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).

236