Home Internasional Oposisi Sri Lanka Siapkan Mosi Tidak Percaya jika Krisis Ekonomi Berlanjut

Oposisi Sri Lanka Siapkan Mosi Tidak Percaya jika Krisis Ekonomi Berlanjut

New Delhi, Gatra.com - Partai oposisi utama Sri Lanka pada hari Jumat meminta pemerintah untuk mengambil tindakan efektif dalam menyelesaikan krisis ekonomi atau menghadapi mosi tidak percaya. 

Para pemimpin kalangan bisnis dari industri garmen, teh dan lainnya memperingatkan bahwa ekspor bisa turun 20 hingga 30 persen tahun ini.

Reuters, Jumat (8/4) melaporkan, negara yang terlilit hutang itu hanya memiliki sedikit cadangan uang yang tersisa untuk membayar transaksi impor. Ini juga menyebabkan terjadinya kelangkaan bahan bakar, listrik, makanan, dan obat-obatan yang semakin melumpuhkan sejumlah wilayah. 

Aksi protes jalanan telah berlangsung hampir setiap hari tanpa henti selama lebih dari sebulan, meskipun keadaan darurat lima hari terakhir dan jam malam dua hari diberlakukan.

Presiden Gotabaya Rajapaksa menjalankan pemerintahannya dengan hanya mengandalkan sedikit menteri setelah 25 menteri di kabinetnya mengundurkan diri minggu ini. Sedangkan oposisi dan bahkan beberapa mitra koalisi menolak seruan pemerintah untuk menggalang persatuan menangani krisis terburuk negara itu dalam beberapa dasawarsa terakhir.

Setidaknya ada 41 anggota parlemen telah menyatakan keluar dari koalisi yang berkuasa dan menyatakan diri independen. Pemerintah mengatakan masih memiliki mayoritas suara di parlemen.

“Pemerintah perlu mengatasi krisis keuangan dan bekerja untuk memperbaiki tata kelola, atau kami akan melakukan mosi tidak percaya terhadap pemerintah,” kata pemimpin Samagi Jana Balawegaya, Sajith Premadasa di parlemen.

“Sangat penting bahwa Sri Lanka harus menghindari default utang yang tidak teratur. Pemerintah harus bekerja untuk menangguhkan utang dan menunjuk penasihat keuangan untuk memulai proses restrukturisasi utang,” tambahnya.

Persidangan di parlemen sempat diskors dua kali di pagi hari setelah anggota parlemen saling menyerang. Mereka dikeluarkan dari ruangan atas perintah pemimpin sidang.

Puluhan asosiasi, mewakili industri yang secara kolektif mempekerjakan seperlima dari 22 juta penduduk negara itu, bersama-sama mendesak pemerintah untuk segera mencari bantuan keuangan dari Dana Moneter Internasional (IMF), Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia (ADB).

"Kami membutuhkan solusi dalam beberapa minggu atau negara akan jatuh dari jurang," kata direktur jenderal Asosiasi Produsen dan Eksportir Produk Karet Sri Lanka, Rohan Masakorala, dalam konferensi pers.

“Perkiraan kami adalah bahwa ekspor barang dan jasa bisa turun 20 hingga 30 persen tahun ini karena kekurangan dolar, biaya pengiriman yang lebih tinggi, dan pemadaman listrik,” ujarnya.

Presiden Rajapaksa sedang berjuang mencari menteri keuangan baru untuk mengadakan pembicaraan bulan ini dengan IMF, memohon pinjaman secara darurat. Sebelumnya menteri keuangan Ali Sabry mengajukan pengunduran dirinya pada hari Selasa, meski hanya satu hari berkantor. Tidak jelas apakah presiden telah menerima pengunduran diri Sabry.

"Kami mendorong pemerintah dan oposisi untuk membangun stabilitas politik sesegera mungkin dan memberi kami jalan keluar," kata Masakorala. 

Cadangan devisa Sri Lanka telah anjlok sekitar 70 persen dalam dua tahun terakhir, dan mencapai US$1,93 miliar pada akhir Maret. Negara memiliki utang sebesar US$ 1 miliar yang akan dibayarkan pada bulan Juli, dan lebih banyak lagi jatuh tempo pada akhir tahun ini.

Sementara itu, inflasi telah meroket ke level tertinggi dalam lebih dari satu dekade. Bank Sentral Sri Lanka diperkirakan akan menaikkan suku bunga utama sebanyak 400 basis poin (bps) menyusul kenaikan 100 bps di awal Maret, pada Jumat ini.

Pemerintah telah mengamankan jalur kredit dan pertukaran mata uang miliaran dolar dari India dan China, namun para pemimpin kalangan dunia usaha mengatakan perlu berbuat lebih banyak, dan mendesak gubernur bank sentral untuk segera memulai negosiasi.

“Pinjaman kredit India hanya akan berlangsung hingga akhir April,” kata  ketua Dewan Pengirim Sri Lanka, Russell Juriansz.

“Kami memohon kepada presiden untuk mengambil keputusan yang tepat atau itu akan menghantuinya selama sisa hidupnya,” tambahnya.

Pejabat kesehatan pemerintah Saman Rathnayake mengatakan kepada Reuters bahwa Sri Lanka masih mengimpor obat-obatan secara esensial melalui jalur kredit dana sebesar US$ 1 miliar dengan India. Pihak berwenang Sri Lanka juga sedang berdiskusi dengan Organisasi Kesehatan Dunia, Bank Dunia dan ADB untuk dapat pasokan obat-obatan.

95