Home Kesehatan Indonesia Financial Watch Minta BPOM Jeli Ada Maksud Dibalik Polemik BPA

Indonesia Financial Watch Minta BPOM Jeli Ada Maksud Dibalik Polemik BPA

Jakarta, Gatra.com - Pusat Kajian Finansial Indonesia atau Indonesia Financial Watch (IFW) mendorong independensi Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) di tengah persaingan bisnis para produsen air minum dalam kemasan (AMDK) yang terjadi saat ini.

Dengan posisi seperti itu, sebagai otoritas pengawas keamanan pangan dan minuman di Indonesia, BPOM diharapkan akan bisa tetap menjaga independensinya di tengah kampanye negatif yang menyasar produk air kemasan galon polikarbonat.

“Jadi, BPOM sebagai pengawas keamanan pangan harus menjaga netralitas dan jangan sampai dijebak oleh agenda terselubung pihak tertentu,” ujar Founder dan Koordinator Indonesia Financial Watch (IFW), Abraham Runga Mali, Jumat (8/4/2022).

Seperti diketahui, bisnis AMDK di Indonesia memasuki babak baru ketika sejumlah organisasi, LSM, dan buzzer media sosial, beberapa waktu lalu mendesak agar BPOM mengatur ulang regulasi terkait dengan kemasan AMDK galon guna ulang.

Padahal, menurut pakar ahli polimer ITB selama lebih dari 30 tahun keberadaan air galon di Indonesia, tak pernah ada kecemasan apapun sehubungan kandungan BPA dalam galon berbahan polikarbonat ini. Bahkan, BPOM sebagai regulator menegaskan meski mengandung BPA, air galon guna ulang itu sangat aman untuk dikonsumsi karena tingkat migrasinya jauh di bawah batas aman yang dipersyaratkan oleh aturan BPOM.

Kata Abraham, isu ini menjadi bising setelah munculnya produk galon kemasan PET yang diluncurkan secara masif di awal 2020. Karenanya, dia meminta BPOM agar tidak gegabah dan menyerah begitu saja terhadap kampanye hitam dan desakan segelintir pihak yang meminta mereka menerbitkan regulasi tambahan yang mewajibkan produsen AMDK galon polikarbonat untuk mencantumkan BPA Free pada kemasannya.

“BPOM harusnya ikut menyelidiki motif dan siapa di balik desakan ini,” tukasnya.

Apalagi, kata Abraham, melalui laman resminya, BPOM sudah menegaskan bahwa hasil pengawasan terhadap galon AMDK berbahan polikarbonat selama lima tahun terakhir memperlihatkan migrasi BPA di bawah 0,01 bpj 10 mikrogram/kg).

Dengan kata lain, BPOM menyampaikan bahwa migrasi BPA dalam air kemasan galon polikarbonat itu sangat kecil atau masih dalam ambang batas aman untuk kesehatan. Selain itu, ada juga beleid seperti Permenperin No 26 Tahun 2019 tentang Pemberlakuan Standar Nasional Indonesia Air Mineral, Air Demineral, Air Minum Alam, dan Air Minum Embun secara Wajib, yang juga menegaskan galon guna ulang aman untuk dikonsumsi karena telah melalui proses pengujian parameter SNI.

“Artinya, ketika pelaku industri AMDK sudah memenuhi segala regulasi tersebut, tak ada alasan rasional apapun bagi BPOM untuk menerbitkan regulasi baru atau tambahan,” katanya.

Dia menduga wacana pelabelan BPA Free dalam kemasan galon polikarbonat itu mewakili agenda tersembunyi pelaku usaha tertentu yang juga 'bermain' dalam bisnis AMDK, yang ingin memperbesar pangsa pasar dengan cara 'menyingkirkan' pemain lama melalui aturan pelabelan BPA Free dalam galon polikarbonat. Menurutnya, aturan ini akan menciptakan relasi asimetris antar produk dengan menekankan pada kemasan, dan bukan produk yang dikonsumsi.

“Karenanya, BPOM harus tetap independen dan menjaga marwahnya sebagai otoritas pengawas obat, makanan dan minuman secara netral, dan tidak memihak agar tetap bisa dipercaya dan bisa diandalkan oleh masyarakat luas. Jangan sampai BPOM bisa dimanfaatkan pihak tertentu dan oknum lainnya yang bersekongkol berusaha mengambil keuntungan besar dengan cara membonceng penerbitan aturan BPOM,” ujarnya.

Abraham melihat, berbahaya kalau di balik penerbitan beleid BPOM ada transaksi uang dalam jumlah besar sebagai 'imbal jasa' untuk memunculkan suatu peraturan baru, yang tidak didasarkan pada hasil penelitian yang sahih dan urgensinya pun dipertanyakan secara akademis.

“Jika BPOM selalu mengkampanyekan konsumen untuk membaca label pangan, sudah seharusnya BPOM pun teliti membaca motif pihak-pihak yang mendesak penerbitan aturan label pangan sebelum menerbitkan aturan tersebut,” ucapnya.

Komisioner Komisi Persaingan Usaha (KPPU), Chandra Setiawan, juga melihat polemik isu BPA ini berpotensi mengandung diskriminasi. Sebab, menurutnya, 99,9% industri ini menggunakan galon yang digunakan atau diisi ulang. "Dan hanya satu yang produknya menggunakan galon sekali pakai jenis PET," terangnya.

131