Home Ekonomi Solusi Krisis Iklim dan Investasi Hijau, Pendekatan Yuridiksi Jadi Solusi

Solusi Krisis Iklim dan Investasi Hijau, Pendekatan Yuridiksi Jadi Solusi

Jakarta, Gatra.Com- Pendekatan yurisdiksi atau jurisdictional approach (JA) dinilai efektif untuk mengatasi krisis iklim sekaligus juga meningkatkan investasi hijau di Indonesia. Apalagi, dengan struktur pemerintah yang terdesentralisasi, pemerintah daerah menjadi kunci untuk mendorong pembangunan berkelanjutan.

JA merupakan model pendekatan partisipatif, inklusi lintas sektor yang dikepalai oleh kepala daerah, baik di kabupaten atau provinsi untuk mendorong pembangunan hijau. Salah satu daerah yang telah menerapkan JA ialah Kabupaten Seruyan di Kalimantan Tengah.

Bupati Seruyan, Yulhaidir menceritakan, pihaknya telah menerapkan JA untuk mencapai kesejahteraan hijau sejak 2015 lalu. “Kami juga menjalankan pendekatan yurisdiksi untuk menyatukan semua pihak dalam semangat keberlanjutan,” katanya, dalam webinar Indonesia Data and Economic (IDE) 2022 Katadata bertema ‘Investing in Jurisdictional Sustainability Roadmap Toward Green Prosperity’, Jumat (8/4).

Pada saat itu, Kabupaten Seruyan menyatakan komitmennya untuk menjadi salah satu kabupaten yang akan memproduksi komoditas kelapa sawit secara berkelanjutan. Kemudian lima tahun berselang mempertegas komitmen dalam mewujudkan pembangunan berkelanjutan di daerah, Bupati Seruyan menerbitkan Keputusan Bupati Nomor 188.45/305 Tahun 2020 tentang Pembentukan Kelompok Kerja Sertifikasi Kelapa Sawit Berbasis Yurisdiksi Kabupaten Seruyan.

“Dalam pelaksanaan kerjanya, tiga fokus kerja yang ada dijalankan oleh Sub Kelompok kerja yang sudah mulai aktif sejak awal tahun 2021,” ungkap Yulhaidir.

Melalui JA, kini Seruyan telah mampu menciptakan 5.296 petani swadaya. Angka ini setara dengan 88,3% dari total petani swadaya kelapa sawit di wilayah yang memiliki luas 1,64 juta ha ini.

Selain itu, sudah ada juga 626 petani swadaya dengan sertifikasi RSPO dan ISPO. Dari hasil sertifikasi tersebut, petani dapat menjual kredit RSPO yang berbentuk sertifikat berkelanjutan senilai Rp2,2 milyar per tahun.

Kemudian, pemerintah Kabupaten Seruyan juga telah mengeluarkan 1.508 Surat Tanda Daftar Budidaya (STDB) yang dimanfaatkan untuk kepentingan sertifikasi maupun pemberdayaan petani melalui program-program pusat, provinsi maupun kabupaten.

Selain juga merestorasi 35 wilayah dengan tanaman alami diselingi tanaman produktif di 3 desa, serta memfasilitasi 30 konflik usaha perkebunan untuk dapat diselesaikan melalui proses penyelesaian yang tuntas.

“Untuk mendukung peningkatan capaian ini, saya telah menginstruksikan kepada semua Organisasi Perangkat Daerah (OPD) untuk mendukung target yurisdiksi berkelanjutan dan mengintegrasikan beberapa target tersebut ke dalam rencana kerja masing-masing OPD,” jelas Yulhaidir.

Namun di balik capaian yang telah diperoleh Seruyan, ada berbagai tantangan yang harus dihadapi oleh Kabupaten tersebut. Mulai dari kapasitas sumber daya manusia yang masih terbatas, masih kurangnya dukungan perusahaan besar swasta, hingga tantangan kebijakan yang kebanyakan terjadi karena masih banyak petani yang belum mendapatkan status legal.

“Keberadaan mereka yang beririsan dengan kawasan hutan masih terus kami perjuangkan untuk mengikuti skema-skema penyelesaian hak seperti Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) dan penyelesaian hak atas tanah dalam kawasan hutan,” kata dia.

Untuk mengatasi berbagai tantangan tersebut, Yulhaidir menilai bahwa pihaknya masih membutuhkan dukungan dan komitmen bersama dari masing-masing pemangku kepentingan. Di saat yang sama, pemerintah daerah juga membutuhkan dukungan sumber daya manusia, yang tidak dimiliki seluruhnya oleh daerah itu.

“Kami juga mengundang dukungan dan partisipasi pihak-pihak lainnya yang berniat mendukung Kabupaten Seruyan menuju keberlanjutan,” ujarnya.

Pada kesempatan yang sama, Wakil Bupati Siak, Husni Merza menjelaskan bahwa untuk menerapkan JA, tidak bisa hanya dilakukan melalui aksi-aksi di lapangan saja, melainkan harus disertai dengan perubahan sistemik, mulai dari kebijakan hingga kemampuan untuk memonitor pendekatan yurisdiksi yang diterapkan itu sendiri.

Selain itu, JA juga harus dilakukan bersama-sama dengan berbagai pihak, mulai dari pemerintah daerah, dunia usaha, komunitas-komunitas pemerhati iklim dan lingkungan, serta masyarakat.

Hal ini karena penerapan JA saat ini merupakan keniscayaan yang harus dilakukan oleh daerah-daerah di seluruh Indonesia, mengingat kondisi iklim yang kian memprihatinkan.

“Di satu sisi perekonomian masyarakat juga harus kita pikirkan, Di sisi lain, kita juga sudah tidak bisa mengganti kondisi alam yang sudah terjadi. Maka, kita harapkan dari swasta dan NGO juga ke depannya dapat membina petani sawit swadaya agar bisa memberdayakan perekonomiannya tanpa merusak lingkungan,” tandas Husni.

66