Home Pendidikan Kemampuan Matematika, Sains, dan Membaca Anak Indonesia Masih Rendah

Kemampuan Matematika, Sains, dan Membaca Anak Indonesia Masih Rendah

Jakarta, Gatra.com– Survei Programme for International Student Assessment (PISA) 2018 menunjukkan hal yang cukup mengkhawatirkan. Berdasarkan program yang digagas oleh the Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) tersebut, tampak bahwa kemampuan matematika, sains, dan membaca pada anak Indonesia berada di peringkat rendah.

Untuk matematika, Indonesia berada di peringkat 75 dari 81 negara dunia, dengan skor 379. Sangat jauh dibandingkan negara ASEAN lain seperti Singapura yang menduduki peringkat 2, dengan skor 569.

PISA juga menemukan bahwa hanya 29% siswa Indonesia yang mencapai setidaknya level 2 untuk matematika. Sebagai informasi, PISA membagi kemampuan siswa menjadi 6 level, dimulai dari level 1 yang paling rendah, hingga level 6 yang paling tinggi.

Kemampuan siswa Indonesia yang mencapai level 2 tadi, sangat rendah dibandingkan rerata OECD yang mencapai 76%. Untuk siswa Indonesia yang mendapat level 5 atau lebih, angkanya bahkan lebih rendah lagi: hanya sekitar 1% saja.

Namun demikian, temuan PISA jangan membuat kita berkecil hati. “Kita harus melihat kemampuan matematika secara komprehensif,” ungkap Rektor Universitas Tarumanegara Prof. Dr. Ir. Agustinus Purna Irawan, I.P.M dalam keterangan tertulisnya, Selasa (12/4).

Pada anak-anak Indonesia yang kuliah di luar negeri, kemampuan matematika mereka justru lebih unggul. "Karena pembelajaran kita jauh lebih mendalam dan luas. Sedangkan di luar negeri, fokus pada suatu bidang saja," tuturnya.

Prof. Purna melanjutkan, ketika menilai kemampuan matematika anak juga perlu melihat bagaimana proses pembelajarannya di sekolah, dari TK hingga SMA bahkan perguruan tinggi. “Proses pembelajaran akan membentuk kemampuan matematika anak,” ujarnya.

Secara umum ia menilai, matematika yang dipelajari di Indonesia sudah baik. Proses pembelajaran akan membentuk kemampuan matematika anak.

"Jadi harus dipastikan anak paham benar konsepnya mulai dari dasar, sebelum diajarkan konsep-konsep yang lebih rumit. Kalau pemahaman konsep dibangun bertahap sesuai levelnya, tidak akan serumit itu,” imbuh Prof. Purna.

Ilmu matematika sangat luas, dan banyak diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Artinya, ada keberlanjutan dalam aplikasi matematika. “Ada yang menggunakan matematika secara langsung, seperti jurusan teknik, teknologi, komputer, dan lain-lain," paparnya.

Namun jangan lupa ada juga yang tidak langsung. Di bidang sosial, matematika diperlukan untuk membuat statistik, analisis kuantitatif, hingga urusan bisnis seperti saham, bunga, dan produksi.

Pentingnya matematika bagi kehidupan juga disampaikan oleh Kurnia Widhiatuti atau akrab disapa Bunda Kurnia. Trainer Parenting Nasional ini menyebut, ahli matematika zaman lampau Al-Kindi bahkan mengatakan bahwa matematika adalah mukadimah (pengantar) bagi kita untuk memahami filsafat kehidupan.

Menurut Bunda Kurnia, matematika sangatlah penting, dan tidak hanya berkutat dalam hitung-hitungan saja. “Yang menarik, matematika mengaktivasi otak kiri dan kanan secara seimbang,” terangnya. 

Selama ini kita berpikir bahwa matematika hanya ada di otak kiri yang membutuhkan pertimbangan logis. “Padahal sebetulnya, otak kanan yang bersifat imajinatif dan kreatif, juga membutuhkan pertimbangan logis matematis," lanjutnya

Dengan kemampuan matematika, otak kanan yang hampir abstrak, dan kadang sulit dikendalikan, bisa diimbangi dan lebih terukur. Seseorang akan bisa mengurutkan, mana ide-ide yang sebaiknya direalisasikan, dan mana yang belum saatnya

Ia melanjutkan, matematika tidak bisa dilepaskan dari kehidupan. “Segala yang kita lihat, sentuh, dan bicarakan, tanpa sadar adalah matematika. Bentuk laptop (persegi); sudut-sudut di tempat tidur; hingga takaran bumbu dan garam saat memasak, semua itu matematika,” ujarnya.

Matematika bahkan bisa membuat kita memiliki persepsi baru terhadap suatu persoalan. Bunda Kurnia memberi contoh, saat kecil sang ayah memberinya atlas dunia. Melihat gambar 5 benua di atlas, Bunda Kurnia kecil saat itu berpikir, Indonesia ternyata kecil sekali.

“Dengan skala, jarak dari Jawa ke Sumatra tampak dekat. Dengan menganggap bidang yang begitu luas itu menjadi kecil, saya berpikir bahwa memungkinkan untuk singgah ke semua tempat, dengan cara yang mudah. Hingga bisa mewujudkan mimpi, dari yang tidak mungkin menjadi mungkin. Hanya dengan belajar skala dari atlas,” tuturnya. 

Ia menyayangkan, orang tua kadang tidak sadar bahwa matematika memiliki efek terhadap perspektif masa depan. “Dianggap bahwa matematika hanya menghitung angka, dan berpikir bahwa anaknya memang tidak pintar matematika. Tidak diupayakan untuk memahami,” imbuh Bunda Kurnia.

2255