Home Info Sawit Presdir Astra Agro: Kayak Jalan di Shirat al-Mustaqim

Presdir Astra Agro: Kayak Jalan di Shirat al-Mustaqim

Jakarta, Gatra.com - Kalau disuruh memilih, bisa jadi lelaki 55 tahun ini tak mau ikut campur urusan minyak goreng bersubsidi. Sebab bagi Presiden Direktur (Presdir) Astra Agro Lestari Tbk ini, bisnis itu sama kayak berjalan di jebatan Shirat al-Mustaqim.

"Kalau enggak hati-hati masuk neraka kita. Kalau enggak hati-hati mengelola dan mendistribusikan migor itu, bisa kena tindak pidana korupsi (tipikor) kita," kata Santosa dalam public exspose PT. Astra Agro Lestari Tbk yang digelar secara daring jelang siang kemarin.

Tak sendirian jebolan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta ini melakukan expose, dia ditemani Mario Casimirus Surung Gultom, salah seorang direkturnya.

Communications and Investor Relations Manager PT Astra Agro Lestari Tbk, Fenny Sofyan, yang memandu acara yang dihadiri oleh para jurnalis dan analis itu.

Tak ujug-ujug Santosa membikin perumpamaan tadi. Sebab refinery penghasil migor yang biasanya berorientasi business to business, sekarang berubah menjadi business to consumen.

Perubahan inilah yang membikin pelaku refinery gelagapan. Santoso sendiri mengaku tak punya pengalaman berurusan dengan domestik ritel, apalagi sampai ke pasar basah.

Tapi lantaran aturan mainnya sudah kayak begitu, mau tak mau aturan itu dijalankan saja meski berat. "Tak mudah mencari distributor yang kredibel dan jujur," katanya.

Refinery musti mencari distributor dan bahkan pengecer yang jujur kata Santoso lantaran bisnis ini bersentuhan dengan sistem pemerintah.

Ada subsidi yang harus diambil refinery migor curah ke Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) untuk menomboki biaya yang dikeluarkan refinery.

Lebih gendutnya Harga Pokok Produksi (HPP) migor ketimbang Harga Eceran Tertinggi (HET) yang dibikin pemerintah menjadi alasan pemberian subsidi itu.

"Harga Crude Palm Oil (CPO) yang menjadi bahan baku migor sudah lebih dari Rp15 ribu, belum lagi biaya produksi dan distribusi. Sementara HET migor curah Rp14 ribu," terangnya.

Hanya saja berurusan dengan duit subsidi ini kata Santoso bikin ketar-ketir. Kalau misalnya di lapangan terjadi penyelewengan oleh pengecer atau distributor, refinery juga akan dianggap terlibat tipikor, merugikan keuangan negara.

"Itulah makanya saya merasakan bahwa bisnis Olein saat ini sama kayak berjalan di jembatan Shirat al-Mustaqim. Enggak hati-hati, masuk neraka kita," Santoso nampak serius.

Itu baru urusan jualan migor subsidi. Urusan kebutuhan domestik lain lagi ceritanya. Refinery kata Santoso enggak bisa langsung memplot produksi refinery di dalam negeri lantaran sudah kadung terikat kontrak-kontrak dengan pembeli di luar negeri. Kalau mendadak dialihkan, kontrak itu akan terganggu.

"Ini sekaligus sebagai klarifikasi lah atas banyaknya pemberitaan yang menyebut bahwa refinery itu hanya cari untung. Enggak semua begitu. Di Astra enggak ada itu. Astra Agro malah siap mengalokasikan 100% produksi Oleinnya untuk kebutuhan domestik. Tapi tentu harus dibantu juga koordinasi dari instansi pemerintah agar tidak menabrak perizinan-perizinan yang tadinya sudah diberikan kepada industri," pintanya.

Selain ngomong soal bisnis olein, Santosa juga cerita kalau perusahaannya tetap bisa menghasilkan catatan positif meski masih berjibaku melawan covid.

Produksi Tandan Buah Segar (TBS) meningkat. Salah satu pemicunya adalah program kemitraan yang kinclong. Tahun lalu produksi TBS mitra naik 25,6% menjadi 3,27 juta ton ketimbang tahun 2020 yang masih di angka 2,61 juta ton.

Peningkatan produksi TBS tadi memicu peningkatan produksi CPO. Sepanjang tahun lalu, total produksi CPO mencapai 1,47 juta ton. Angka ini meningkat 3,1% ketimbang tahun 2020.

Hanya saja, penjualan minyak kelapa sawit dan turunannya justru mengalami penurunan 5,6% dari yang tadinya 2,03 juta ton pada tahun 2020 menjadi 1,91 juta ton pada tahun 2021.

Meski begitu, Perseroan malah mencatat peningkatan laba bersih sebesar Rp1,97 triliun. Kenaikan itu ditopang oleh pendapatan Perseroan yang meningkat dari Rp18,81 triliun pada tahun 2020 menjadi Rp24,32 triliun pada 2021, atau naik 29,3%.

Peningkatan ini terjadi lantaran kenaikan harga jual rata-rata CPO sebesar 32,2% menjadi Rp11.294/kg dari yang tadinya hanya Rp8.545/kg di tahun 2020.

Harga jual rata-rata kernel juga mengalami peningkatan sebesar 67,4% menjadi Rp7.305/kg pada tahun 2021 dari Rp4.365/kg pada tahun 2020.

Oleh dampak positif kemitraan tadi, Perseroan semakin yakin untuk terus memperkuat kerja sama dengan petani. Program digitalisasi yang sudah dijalankan sejak 2018 pun diperkenalkan biar pelayanan kepada petani mitra semakin baik.


Abdul Aziz

 

107