Home Gaya Hidup Sulitnya Menghadirkan Bungkus Ramah Lingkungan untuk Madumongso

Sulitnya Menghadirkan Bungkus Ramah Lingkungan untuk Madumongso

Bantul, Gatra.com – Semakin tingginya kesadaran konsumen pada produk ramah lingkungan memantik produsen kudapan madumongso di Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, berinovasi. Namun terbatasnya bahan untuk pembungkus kudapan tradisional itu membuat mereka berhenti sejenak.

“Padahal ceruk konsumen yang menginginkan produk dalam kemasan ramah lingkungan meningkat. Kami belum bisa memenuhinya karena kesulitan mendapatkan bahannya,” kata produsen madumongso ‘Bagaskoro’, Emelia Andriani, kepada Gatra, Selasa (19/4).

Pengusaha kuliner legit di Dusun Ngringinan, Desa Palbapang, ini memberi bukti bagaimana kemasan dari anyaman bambu ‘besek’ lebih dicari pembeli dibandingkan kemasan plastik saat madumongso dijajakan di Bandara Yogyakarta International Airport (YIA).

Sebagai salah satu produk yang lolos kurasi dan diperkenankan dijual di bandara YIA, madumongso dengan kemasan besek sedikit mahal dibandingkan kemasan plastik. Namun itu tidak masalah, karena pembeli menginginkan kemasan yang bisa didaur ulang.

“Sejak berdiri 2010 silam, sebenarnya saya sudah berusaha menghadirkan kemasan ramah lingkungan. Tapi bahan yang dipergunakan tidak sesuai produk. Kelemahannya minyak dari madumongso masih keluar,” jelasnya.

Jajanan manis itu berbahan ketan yang dimasak lalu diberi ragi hingga menjadi tape. Olahan yang kemudian dicampur dengan gula jawa dan parutan kelapa itu saat sudah matang memang menghasilkan minyak.

Saat ini, agar minyak tidak keluar dari kemasan, Andriani menempatkan satuan madumongso yang berbentuk bulat dan lonjong ke kantong plastik kecil sekali pakai yang dibungkus kertas minyak warna-warni.

Andriani bercerita, dirinya dulu sempat bereksperimen menggunakan daun pisang. Tapi bahan ini kalah awet dengan kudapan lain yang tahan lama hingga dua bulan. Daun pisangnya menjadi kering atau ‘klaras’.

“Sebenarnya ada bahan yang cocok yaitu daun jagung kering atau klobot. Tapi kami kesulitan mendapatkan pemasok yang mampu menyediakan potongan kecil-kecil dalam jumlah besar. Jadi sampai sekarang kami masih menggunakan kantong plastik sebagai pembungkus utama,” lanjutnya.

Dengan harga jual sekilonya Rp52 ribu dan berisi 50-60 butir, Andriani mengaku setiap hari memproduksi kudapan madumongso sebanyak 50 kilogram. Bahkan pada libur Lebaran, pesanan yang didapat rata-rata menembus satu ton.

Baginya, menghadirkan kemasan yang ramah lingkungan masih menjadi tantangan untuk diwujudkan. Dia bercerita pada Juni nanti bersama dosen Universitas Gadjah Mada (UGM) mencoba bereksperimen menghadirkan bahan kemasan yang ramah lingkungan.

Salah satunya adalah dengan menggunakan kertas yang kerap digunakan restoran cepat saji untuk pembungkus nasi dalam menunya.

“Kami tidak menutup penggunaan bahan lain yang kiranya mudah didapat dalam jumlah besar. Kami ingin memberikan sumbangsih pada kelestarian lingkungan,” ujarnya.

Kepala Dinas Koperasi, Usaha Kecil dan Menengah, Perindustrian dan Perdagangan Bantul, Agus Sulistiyana, menyambut dan mengapresiasi produsen makanan maupun oleh-oleh yang berniat menghadirkan kemasan ramah lingkungan.

“Terkait hal ini, kami sudah mengadakan pelatihan pengembangan dan inovasi produk setiap hari Rabu. Di sana pelaku usaha ditantang berinovasi agar produknya semakin baik,” jelasnya.

Dengan ceruk pasar yang sangat terbuka, bahkan sekarang menjadi pedoman pembeli luar negeri, kehadiran produk dengan kemasan ramah lingkungan, menurut Agus, dinantikan dan peminatnya semakin tinggi.

Dirinya juga mengingatkan, meski sudah menggunakan produk ramah lingkungan, tampilan kemasan yang menarik harus tetap diprioritaskan.

166