Home Politik Ada Turki & Singapura, Guru Besar UII Ungkap Negara-negara yang Lahirkan Diktator dari Medsos

Ada Turki & Singapura, Guru Besar UII Ungkap Negara-negara yang Lahirkan Diktator dari Medsos

Yogyakarta, Gatra.com - Sejumlah negara dipimpin oleh penguasa yang lihai memutarbalikkan fakta di media sosial (medsos) hingga menjadi diktator. Medsos dapat menjadi kuburan bagi demokrasi.

Hal itu terungkap dalam pidato Rektor Universitas Islam Indonesia (UII) Fathul Wahid saat dikukuhkan sebagai Guru Besar Bidang Ilmu Sistem Informasi yang berjudul ‘Media Sosial: Penyubur atau Pengubur Demokrasi’, di kampus UII Yogyakarta, Senin (30/5).

"Medsos memberikan harapan untuk membebaskan warga negara dari rezim otoriter. Tetapi, medsos dapat juga digunakan untuk melakukan represi atau memanipulasi opini publik, dan bahkan membangun kediktatoran," kata dia.

Tren penggunaan media sosial untuk manipulasi opini publik terus meningkat. Kasusnya terjadi di 28 negara pada 2017, 48 negara pada 2018, 70 negara pada 2019, dan pada 2020 ada 81 negara.

Pada 2020, bahkan ditemukan aktivitas pasukan siber di 70 negara, termasuk dengan political bots, salah satunya di Indonesia.

Di Indonesia, medsos digunakan untuk kampanye politik, pembentukan opini publik ketika proses revisi UU KPK dan UU Cipta Kerja, hingga perkubuan politik yang sarat ujaran kebencian dan tujuan manipulatif, termasuk penggunaan buzzer.

Kasus terbaru terjadi di Filipina saat pemilihan presiden dimenangi Bongbong Marcos, anak diktator Ferdinand Marcos. Ia menang karena menyerang lawan politiknya via medsos.

Perkembangan terakhir juga menunjukkan bahwa keotoriteran tidak lagi dilakukan dengan menebar ketakutan dengan kekuatan militer, tetapi melalui pemutarbalikan informasi dan fakta, terutama di medsos.

Diktator jenis ini tidak ditakuti karena mereka populer dan menggunakan untuk mengkonsolidasi kekuasaan dan menghindari represi terbuka. Contoh negara dengan model kepemimpinan ini antara lain Singapura, Malaysia, Venezuela, Rusia, Turki, Hungaria, dan Peru.

"Kita tentu berharap, skenario suram seperti ilustrasi di atas, tidak terjadi di negara kita tercinta, Indonesia. Atas dasar itu, mitigasi dan solusi perlu dilakukan secara kolektif,” ujarnya.

Menurut Fathul, salah satu solusinya adalah adanya atmosfir yang kondisif untuk kemunculan kejujuran kolektif dan budaya saling mengapresiasi perlu diupayakan dengan serius.

Negara mempunyai peran penting di sini untuk menjaga iklim demokrasi yang tulen. Warga negara perlu diberi ruang untuk menyampaikan aspirasinya.

"Hanya dengan demikian, diskursus dan partisipasi politik yang sehat akan membudaya. Warga negara tidak takut untuk bersuara karena negara memfasilitasinya dan para pendukung penguasa negara juga tidak menebar ketakutan. Warga negara menjadi terhormat dan posisinya pun menjadi kuat," tuturnya.

154