Home Nasional Yayasan Geutanyoe Sayangkan Regulasi Penanganan Pengungsi Luar Negeri Masih Skala Nasional

Yayasan Geutanyoe Sayangkan Regulasi Penanganan Pengungsi Luar Negeri Masih Skala Nasional

Jakarta, Gatra.com- Meskipun Indonesia belum meratifikasi Konvensi International Tahun 1951 Tentang Pengungsi, namun Indonesia masih menjadi negara transit yang paling sering didatangi oleh pengungsi dari luar negeri. Khususnya dari Afghanistan, Myanmar, Irak, dan lain sebagainya.

Koordinator Kemanusiaan of Yayasan Geutanyoe, Nasruddin menjelaskan, untuk membantu para pengungsi tersebut dilakukan berbagai upaya bantuan kemanusiaan yang telah dilakukan selama ini.

"Termasuk diantaranya kerja sama dengan berbagai pihak untuk proses pendaratan pengungsi yang membutuhkan waktu cukup lama, kerentanan para pengungsi, serta ancaman yang dihadapi oleh para pejuang kemanusiaan dalam upaya tersebut," katanya di Jakarta, Jumat, (3/6).

Berdasarkan data UNHCR, sedikitnya ada 14.000 orang pengungsi dari luar negeri yang teregistrasi berada di Indonesia. Apabila termasuk yang belum teregistrasi, maka angka tersebut tentulah menjadi lebih banyak. 

Para pengungsi tersebar di beberapa titik seluruh Indonesia, khususnya ditempatkan di Rumah Detensi Imgrasi (Rudemim) atau akomodasi yang disiapkan oleh International Organization For Migration (IOM).

Menurut Nasruddin, jumlah pengungsi Rohingya di Aceh sejak tahun 2009-2022 jumlahnya mencapai 2.595 orang. Mereka tersebar di sembilan kota dan kabupatem, diantaranya adalah Banda Aceh, Bireun, serta Langsa dan Aceh Jaya.

Beberapa faktor utama yang mendorong para pengungsi meninggalkan negaranya adalah perang, persekusi terhadap etnis tertentu, dan konflik horizontal. Tujuan utama para pengungsi untuk meninggalkan negara asalnya adalah untuk mencari keselamatan, keamanan, perlindungan, dan kehidupan yang layak, khususnya bagi kelompok rentan seperti perempuan dan anak-anak.

Namun, berada di Indonesia masih “Jauh Panggang dari Api”. Beberapa hak-hak dasar, seperti mendapatkan pendidikan, mengakses kesehatan, dan bekerja masih belum bisa didapatkan oleh para pengungsi dari luar.

Lebih jauh lagi, para pengungsi dilarang meninggalkan tempat penampungan, yang sejatinya itu merupakan hak untuk mobilitas (freedom of movement). Kondisi ini bertentangan dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia dan justru menimbulkan masalah kemanusiaan baru.

Koordinator Kemanusiaan of Yayasan Geutanyoe, Nasruddin (GATRA/Dok Yayasan Geutanyoe)

Sebagai negara yang menjunjung tinggi hak asasi manusia, pemerintah Indonesia harus melihat masalah pengungsi ini dalam kerangka kemanusiaan, alih-alih menggunakan kacamata hukum formal.

"Pertama, pengungsi yang datang sering kali dalam kondisi yang buruk dan memprihatinkan. Bagi pengungsi Rohingya, untuk berhasil keluar dengan selamat dari negara asalnya sudah menjadi sebuah pencapaian," papar Riset Koordinator of Yayasan Geutanyoe, Affan Ramli.

Menurut Affan, memperoleh dokumen keimigrasian yang lengkap merupakan hal yang tidak mungkin dipenuhi. Dengan sendirinya mereka menjadi undocumented immigrant. Kedua, para pengungsi membutuhkan akses terhadap Kesehatan dan Pendidikan yang layak, khususnya bagi perempuan dan anak-anak.

"Hal tersebut sangat sulit dilakukan karena keterbatasan dokumen yang dimiliki pengungsi, di satu sisi, ini merupakan kebutuhan dasar yang wajib dipenuhi," jelas Affan.

Ketiga, sebagai manusia, para pengungsi perlu untuk mendapatkan penghasilan untuk membiayai kehidupan sehari-hari. Serta pekerjaan merupakan perwujudan eksistensi yang mendefinisikan siapa manusia tersebut.

"Kerangka hukum formal belum mampu menjawab tantangan-tantangan tersebut, sebaliknya, nilai-nilai hak asasi manusia menjadi sebuah titik berangkat yang tepat untuk bisa menyelesaikan tantangan tersebut," ungkap Affan.

Peraturan Presiden Nomor 125 Tahun 2016, Tentang Penanganan Pengungsi dari Luar Negeri merupakan upaya yang baik dari Pemerintah Indonesia untuk menangani masalah pengungsi dari luar negeri. Namun, Peraturan Presiden tersebut belum menjawab tantangan secara komprehensif dan dibutuhkan penguatan nilai-nilai hak asasi manusia dalam prinsip penerapanya.

"Indonesia belum meratifikasi (Konvensi International-red) penerima pengungsi. Tidak ada alasan menolak memberi bantuan pengungsi," kata Koodinator Advokasi Geutanyoe, Al Fadhil menegaskan.

Menurut Fadhil, aturan mengenai itu masih di tataran Perpres dengan skala nasional. "Tantangannya memerlukan intensitas advokasi Perpes yang masih tataran nasional. Pemprov atau Daerah belum punya sikap proses penanganannya," ungkap dia.

386