Home Kebencanaan Kasus DBD di Sukoharjo, Kematian Terbanyak di Grogol

Kasus DBD di Sukoharjo, Kematian Terbanyak di Grogol

Sukoharjo, Gatra.com - Dinas Kesehatan Kabupaten (DKK) Sukoharjo mencatat 410 kasus demam berdarah dengue (DBD) di Kabupaten Sukoharjo. Angka tersebut merupakan periode Januari-Juni 2022.

Kepala DKK Sukoharjo, Tri Tuti Rahayu, mengatakan, dari temuan ratusan kasus DBD tersebut tercatat 56 pasien mengalami dengue shock syndrome (DSS) atau komplikasi infeksi DBD dengan risiko kematian tinggi.

“Dari total 56 kasus DSS, 7 orang pasien di antara meninggal dunia. Data itu berdasarkan catatan temuan kasus hingga pekan 22 selama 2022,” katanya, Kamis (7/7). 

Dia menyebut, kasus DBD di Kabupaten Sukoharjo paling banyak ditemukan di Kecamatan Grogol. Angka kematian mencapai tiga orang dengan jumlah temuan kasus 74. Disusul, Kecamatan Baki dua orang dengan jumlah kasus 63, Kecamatan Kartasura angka kematian satu orang dengan jumlah 41 kasus, Kecamatan Nguter angka kematian satu orang. 

Temuan kasus DBD lainnya di Sukoharjo Kota sebanyak 57 kasus, disusul Polokarto 53 kasus. Temuan paling rendah di Kecamatan Weru sebanyak lima kasus.

“Kasus DBD meningkat dibandingkan dengan tahun lalu karena faktor iklim dan perilaku masyarakat dalam pemberantasan sarang nyamuk. Kasus DBD mulai menurun seiring dengan mulai masuk musim kemarau,” terangnya. 

Hingga kini pihaknya terus melakukan antisipasi penanganan kasus DBD di Sukoharjo. Di antaranya, melakukan Pemantauan Jentik oleh Kader Pemantau Jentik di daerah endemis. Selain itu, menggerakan masyarakat untuk PSN melalui G1R1J atau Gerakan 1 rumah 1 Jumantik dengan penerapan minimal satu orang peduli PSN di setiap rumah dan lingkungan masing-masing.

Dikatakan, abatisasi selektif pada tandon air yang tidak memungkinkan dikuras. Pelaksanaan itu melibatkan kader jumantik. Penyelidikan epidemiologi dalam waktu 1 x 24 jam setiap ada kasus dilakukan untuk menentukan sumber penularan dan tindakan penanggulangan.

Penanggulangan fokus di daerah-daerah yang ditentukan berdasarkan analisa hasil penyelidikan epidemiologi di 20 rumah sekitar indeks kasus. Hal itu dilakukan karena terjadi transmisi penularan setempat. Fogging juga dilakukan sebanyak dua siklus dengan menggunakan insektisida yang masih efektif untuk vektor DBD berdasarkan uji resistensi insektisida di Kabupaten Sukoharjo.

“Sosialisasi dan edukasi ke masyarakat melalui sosmed, website, radio, leaflet. Penyuluhan setempat sebagai pengendalian vektor secara biologi dengan memelihara ikan, tanaman pengusir nyamuk, memasang ram nyamuk, tidak menggantung pakaian di kamar, dan lainnya,” imbuhnya.

Kepala Puskesmas Sukoharjo, Kunani Maharani, meminta masyarakat meningkatkan kewaspadaan terhadap penyakit DBD saat musim pancaroba. Dia menyebut ada tiga kelurahan di wilayahnya yang terbilang tinggi kasus DBD. 

“Kelurahan terdampak terbanyak di Gayam, Joho, Sukoharjo. Kalau yang minim di Combongan dan Jetis. Faktor tinggi kasus karena kepadatan jumlah penduduk,” jelasnya.

Dia menambahkan Kelurahan Jetis menjadi wilayah dengan minim penularan. Hal itu karena rutin mengadakan grebeg jentik selama sebulan sekali. Dia juga menyebut PSN lebih efektif dibanding fogging. Kader jumantik yang ada di masing-masing kelurahan juga selalu dikerahkan untuk PSN. Masing-masing kelurahan/desa memiliki lima kader jumantik yang sudah dilantik bidan desa.

Sementara itu, selama tahun 2021 ditemukan 222 kasus DBD di Kabupaten Sukoharjo. Dari temuan ratusan kasus DBD tersebut 11 pasien di antara meninggal dunia. Dari 222 kasus itu sebanyak 27 kasus merupakan DSS. Jumlah kasus DBD tersebut berdasarkan data DKK Sukoharjo hingga pekan 52 tahun 2021.

271