Home Gaya Hidup Riset Terbaru Membuktikan Bahwa Nada Minor Tak Melulu Lagu Sedih

Riset Terbaru Membuktikan Bahwa Nada Minor Tak Melulu Lagu Sedih

Sydney, Gatra.com – Musik atau lagu erat kaitannya dengan emosi. Spotify, penyedia aplikasi layanan musik digital yang paling banyak digunakan, bahkan membuat sebuah kategori kumpulan daftar putar dengan judul mood. Hal itu mengisyaratkan bahwa beberapa musik atau lagu cocok didengarkan kala sedih, beberapa lagi pas untuk didengarkan ketika senang atau bahagia, atau beberapa musik cocok didengarkan ketika bekerja dan yang lainnya cocok saat sedang istirahat.

Pertanyaannya, apa yang membuat sebuah karya musik itu terdengar berirama bahagia atau sedih? Menurut pengetahuan umum, pemilihan kunci/akor minor atau mayor merupakan komponen penting dalam menentukan sebuah musik bisa dianggap “mewakili” perasaan seseorang. Kunci-kunci mayor secara umum digunakan untuk lagu bertema bahagia dan suka cita. Di lain sisi, penggunaan kunci minor erat kaitannya dengan irama-irama sedih.

Coba dengarkan Walking on Sunshine dari Katrina and the Waves, lalu beralihlah dan bandingkan dengan Ain’t No Sunshine dari Bill Withers. Tanpa perlu tahu banyak terkait teori musik, kita akan segera sadar kalau lagu pertama bernuansa bahagia dan senang sedangkan yang kedua merupakan lagu berirama sedih atau melankolis. Jika mau repot sedikit, Anda bisa cek chord dua lagu itu dan akan Anda dapati bahwa lagu pertama menggunakan kunci-kunci mayor sedangkan lagu kedua lebih didominasi oleh kunci minor.

Walau demikian, persepsi yang menyatakan bahwa kunci minor terasosiasi dengan rasa sedih dan kunci mayor untuk rasa senang bukanlah sesuatu yang bersifat universal. Setidaknya begitulah yang coba diungkap dalam sebuah penelitian terbaru oleh tim ilmuwan asal Australia. Mereka mendapati bahwa persepsi kunci minor dan mayor yang terkait mood itu adalah hasil dari pengaruh budaya barat.

“Kita semua sangat menyadari bagaimana musik memiliki kapasitas yang luar biasa untuk menggerakkan kita, baik secara fisik maupun emosional,” kata salah satu peneliti, Dr Andrew Milne, dari Western Sydney University dilansir dari The Guardian.

Menurutnya, baik kunci minor ataupun mayor adalah cara pemain musik dan komponis untuk berkomunikasi dengan pendengarnya. Di mana mayor terkait erat dengan menciptakan suasana hati bahagia, sedang tangga nada minor terkait erat dengan perasaan yang lebih melankolis. “Kita tahu bahwa orang barat sangat terbiasa dalam fitur musik ini,” ujar Milne.

Penelitian yang Milne lakukan bersama empat ilmuwan lainnya itu berjudul “Emotional responses in Papua New Guinea show negligible evidence for a universal effect of major versus minor music.” Laporan hasil penelitiannya dipublikasikan dalam jurnal Plos One. Fokus penelitian Milne bersama rekan-rekannya adalah untuk menyelidiki apakah fenomena asosiasi antara musik dengan suasana hati itu juga terjadi pada orang-orang yang sebelumnya tidak terpapar musik barat atau asosiasi emoti tertentu.

Peserta eksperimen dapat dikategorikan menjadi dua kelompok besar. Pertama, sebanyak 169 orang partisipan berasal dari lima komunitas di Papua Nugini. Kelompok eksperimen kedua adalah 19 musisi dan 60 non-musisi yang tinggal di Sydney. Para partisipan ditugaskan untuk memilih mana dari dua progresi akor, atau mana dari dua melodi, yang lebih terdengar “bahagia” bagi mereka.

“Akor mayor dan akor minor sebenarnya sangat mirip. Keduanya memiliki tiga nada, tetapi dalam akor minor, salah satu nadanya lebih rendah setengah,” jelas Milne.

Peserta penelitian di Papua Nugini memiliki variasi berbeda dalam hal paparan musik-musik barat. Salah satu kelompok itu terakhir kali “mendengarkan” musik barat setidaknya tujuh tahun sebelum penelitian. Dalam kelompok yang minim paparan musik barat ini, ditemukan tidak adanya hubungan antara akor mayor dengan kebahagiaan yang dirasakan. Para peneliti menyatakan bahwa kelompok ini bahkan cenderung memilih akor atau tangga nada minor sebagai “simbol” bahagia daripada akor atau tangga nada mayor.

Sebaliknya, saat para musisi di Sydney yang menjadi peserta eksperimen mendengarkan tangga nada mayor, mereka mengatakan bahwa hal itu lebih “bersimbol” bahagia ketimbang saat mendengarkan nada-nada minor.

Musik dengan akor minor memiliki nada rata-rata yang lebih rendah daripada di akor mayor, yang sebelumnya telah dianggap sebagai sebab perbedaan persepsi emosional. “Di seluruh spesies hewan non-manusia, kami biasanya menemukan suara bernada tinggi lebih terkait dengan submission dan kepuasan, dan suara bernada rendah terkait dengan agresi dan dominasi,” kata Milne.

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian lainnya yang dilakukan oleh para ilmuwan di Durham University, Durham, Britania Raya. Sebuah studi yang diterbitkan tahun lalu itu mencatat temuan serupa di antara suku Khowar dan Kalash di Pakistan dengan paparan minimal terhadap musik barat.

“Kami mulai mendapatkan bukti konvergen bahwa ini benar-benar fenomena budaya, bukan fenomena universal,” kata Milne.

Para peneliti berhipotesis bahwa dua mekanisme budaya mungkin menjelaskan hubungan antara fitur musik tertentu dan kebahagiaan yang dirasakan.

Faktor pertama adalah keak kebiasaan (familiarity). Dalam ilmu psikologi, dikenal sebuah fenomena mere-exposure effet, yakni kecenderungan memiliki preferensi untuk hal-hal yang lebih sering terekspos. “Dalam musik barat, meskipun akor mayor dan minor cukup umum, akor mayor masih lebih umum daripada akor minor,” kata Milne.

Hipotesis kedua adalah pengondisian asosiatif. Istilah tersebut berarti bahwa ketika sesuatu stimulus dipasangkan untuk mendapatkan sebuah respons perilaku tertentu. Dalam hal ini, diasosiasikannya peristiwa bahagia dengan musik di kunci mayor, dan peristiwa suram dengan kunci minor, telah memperkuat hubungan emosional tersebut dari waktu ke waktu.

Contoh hubungan emosional tersebut yakni orkestra berjudul Here Come the Bride karya lawas Richard Wagner yang komposisinya dalam B flat mayor yang selalu digunakan dalam pesta pernikahan. Musik itu pun akhirnya terasosiasi dengan pernikahan yang notabenenya adalah hari bahagia. Selain itu, ada Marche Funèbre Chopin (komposisinya di B flat minor) lagu untuk pemakaman yang berkaitan erat dengan sedih atau duka cita.

Seorang akademisi dari James Cook University, Amanda Krause, yang tidak terlibat dalam penelitian ini mengatakan bahwa salah satu alasan utama seseorang mendengarkan musik adalah untuk mengatur suasana hati dan emosi mereka.

Resepons seseorang terhadap musik dipengaruhi oleh musik itu sendiri –tempo, kunci, lirik– serta individu dan konteks di mana mereka mendengarkan. “Ketiganya saling terkait dan bekerja sama untuk memengaruhi cara kita merespons apa yang kita dengar,” menurutnya.

720