Home Kolom Menggali peran Facebook dalam Kisruh ACT

Menggali peran Facebook dalam Kisruh ACT

 

 

 

 

Oleh:
Meilanie Buitenzorgy, Ph.D

Kasus dugaan penyelewengan uang sumbangan publik oleh lembaga kemanusiaan Aksi Cepat Tanggap (ACT) masih menimbulkan banyak teka-teki. Diantaranya, dalam kampanye penggalangan dana oleh ACT yang diiklankan secara digital. Siapa sebenarnya penerima manfaat terbesar dari setiap case kampanye? ACT sendirikah?

Jawabannya mungkin cukup mengejutkan: Facebook.

Mari kita ambil satu contoh kasus, kampanye penggalangan dana Surau Sydney Australia yang diberitakan Majalah Tempo edisi 2 Juli 2022. Pengurus SSA menggandeng crowdfunding platform Kitabisa untuk membantu penggalangan dana pada tahun 2020.

Pembelian properti untuk dijadikan Surau Sydney Australia (SSA) adalah inisiatif para diaspora Indonesia di Sydney.

Novri Latif, ketua pengurus SSA mengklaim membayar iklan Facebook melalui Kitabisa sebesar 508 juta rupiah. Sementara, total donasi SSA yang diterima melalui Kitabisa sebesar Rp 3.018 milyar rupiah.

Artinya, Facebook menerima pendapatan iklan sebesar 16% dari total sumbangan.

Pengurus SSA juga melibatkan ACT dalam kampanye tersebut. Berapa fee yang diterima ACT? Dari fitur “Kabar Terbaru” website Kitabisa per 18 Juli 2022, dana donasi SSA yang masih mengendap di rekening ACT tercatat sebesar 312 juta rupiah. Sekitar 10% dari total donasi. Padahal, penggalangan sumbangan SSA di Kitabisa sudah ditutup sejak Desember 2020.

Apa nilai tambah ACT dalam kerja kampanye penggalangan donasi SSA hingga layak diganjar 312 juta rupiah? Padahal kerja beriklan sudah ditangani oleh Facebook dengan fee 508 juta rupiah.

Lalu, berapa fee yang diterima Kitabisa sendiri? Ini menarik.

Tanggal 14 Juni 2022, merespon Surat Terbuka yang dilayangkan penulis, Kitabisa mengklaim mengutip admin fee sebesar 5% dari kampanye sumbangan SSA.

Namun hanya berselang sehari kemudian, pengurus SSA mengklaim bahwa Kitabisa menggratiskan admin fee tersebut, khusus untuk SSA.

Dua klaim yang saling bertolak belakang ini dipublikasikan kedua pihak dalam diskusi publik di akun Facebook penulis.

Beberapa persoalan timbul dari angka-angka potongan donasi yang fantastis ini.

Pertama adalah potensi pelanggaran hukum.

Pasal 6 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1980 tentang Pelaksanaan Pengumpulan Sumbangan berbunyi, "Pembiayaan usaha pengumpulan sumbangan sebanyak-banyaknya 10 persen dari hasil pengumpulan sumbangan yang bersangkutan".

Dalam kasus pengumpulan sumbangan SSA melalui Kitabisa, pembiayaan sumbangan mencapai 26% dari total hasil pengumpulan sumbangan. Yaitu 16% untuk iklan Facebook dan 10% untuk fee ACT. Ditambah Rp 29 juta rupiah untuk biaya Bank, seperti yang dilaporkan Tempo. Jauh melebihi batas maksimal yang ditetapkan UU tersebut.

Jika terbukti terjadi pelanggaran hukum dalam kasus kampanye sumbangan SSA, pihak mana yang terkena pasal tersebut? Apakah Facebook selaku penerima belanja iklan 16%? Apakah ACT selaku penerima fee 10%? Apakah Kitabisa selaku koordinator kampanye? Atau justru pengurus SSA selaku pembuat keputusan akhir pembiayaan sumbangan?

Persoalan kedua terkait moral dan etika bisnis.

Dalam situsnya, Kitabisa menyatakan potongan admin fee untuk tiap kampanye donasi hanya 5%. Artinya, potongan donasi yang disetujui oleh para donatur hanyalah 5%.

Kita asumsikan belanja iklan Facebook setengah milyar rupiah (16%) ini benar adanya. Maka keempat pihak ini: Facebook, Kitabisa, ACT dan pengurus SSA telah sama-sama terlibat dalam sebuah praktek bisnis yang tak bemoral dan tak beretika. Karena, keputusan pembelanjaan iklan sebesar 508 juta rupiah merupakan keputusan sepihak antara Kitabisa, Facebook, ACT dan pengurus SSA, tanpa melibatkan pihak pemilik uang yang dibelanjakan, yaitu para donatur.

Berbeda halnya dengan belanja iklan produk barang normal seperti makanan, pakaian hingga properti. Pembelanjaan dan pembayaran biaya iklan dilakukan oleh pihak yang sama yaitu penjual produk. Sedangkan belanja iklan donasi diputuskan oleh pihak penggalang dana namun dibiayai oleh donatur, tanpa consent donatur.

Secara prinsip, mengambil uang orang lain tanpa persetujuan pemilik uang adalah mencuri. Atau merampok untuk jumlah uang yang cukup besar.

Sebagai penerima manfaat terbesar (16%) berupa pendapatan iklan dalam kasus kampanye SSA, secara moral, Facebook telah “merampok” uang sumbangan Surau.

Persoalan ketiga terkait penyebaran narasi yang mengandung pembohongan publik.

Dalam kasus SSA, Surau Sydney diiklankan sebagai “Surau pertama di Sydney”. Kenyataannya terdapat lebih dari 60 masjid dan mushola di Sydney dan sekitarnya. Kepada Tempo, Kitabisa mengklaim bahwa narasi iklan dibuat oleh ACT. Sebagai media yang dipilih untuk beriklan, tentu saja Facebook menjadi media penyebaran narasi bohong tersebut.

Bukan hanya kasus Surau Sydney. Tempo juga melaporkan ACT kerap membuat narasi-narasi tak sesuai fakta lapangan untuk iklan-iklan kampanye penggalangan sumbangan. Artinya, Facebook telah mengambil peran aktif sebagai media penyebar kebohongan, jika kampanye penggalangan dananya dilakukan di Facebook.

Persoalan keempat terkait performa digital marketing Facebook sendiri.

Salah satu indikator yang mempengaruhi besaran belanja iklan digital adalah tingkat kesulitan dalam memasarkan suatu produk. Makin sulit suatu produk dipasarkan, makin tinggi biaya iklannya.

Donasi adalah produk yang seharusnya sangat mudah dipasarkan di Indonesia. Apalagi donasi untuk membangun masjid. Apalagi donasi untuk “Surau pertama di Sydney”.

Data World Giving Index 2021 yang melibatkan lebih dari 140 negara mengukuhkan Indonesia sebagai juara pertama negara paling dermawan sedunia. Delapan dari sepuluh orang Indonesia mengaku melakukan donasi dalam setahun terakhir.

Hasil survey Global Business Policy Institute tahun 2020 yang melibatkan 148 negara menunjukkan bahwa orang Indonesia adalah orang paling relijius se-Asia Tenggara sekaligus ranking tujuh paling relijius sedunia. Tidak main-main, tingkat relijiusitas orang Indonesia mencapai angka 98.7%.

Dengan jumlah populasi 273 juta orang -keempat tertinggi di dunia—jelas Indonesia adalah pasar yang sangat besar untuk “bisnis” donasi relijius.

Maka, untuk kasus Surau Sydney, jika revenue donasi “Surau pertama di Sydney” sebesar tiga milyar rupiah baru bisa dicapai pada angka budget iklan Facebook sebesar 16% atau Rp. 508 juta rupiah, artinya Facebook adalah platform pemasaran digital berperforma buruk.

Namun tentu saja, angka belanja iklan Facebook yang Rp508 juta rupiah ini baru keterangan sepihak, yaitu dari pihak pembeli jasa. Benarkah Facebook terlibat dalam transaksi bisnis yang berpotensi melanggar hukum? Atau jangan-jangan Facebook sudah difitnah?

Publik sangat menunggu klarifikasi dari Meta Indonesia selaku perwakilan Facebook di Indonesia. Kasus iklan Surau Sydney hanyalah satu dari sekian banyak iklan kampanye donasi yang pernah dan sedang berseliweran di Facebook. Setengah milyar rupiah (16%) dari satu iklan donasi saja. Bagaimana dengan iklan kampanye donasi lainnya?


Meilanie Buitenzorgy, Ph.D
Akademisi

 

715