Home Hukum Komite Pengacara HAM Desak Polri Gelar Rekonstruksi Suara Tembakan Kasus Brigadir J

Komite Pengacara HAM Desak Polri Gelar Rekonstruksi Suara Tembakan Kasus Brigadir J

Jakarta, Gatra.com - Komite Pengacara untuk Hak Asasi Manusia (KPHAM) dan Lembaga Kajian Demokrasi Public Virtue Research Institute mengapresiasi langkah kepolisian melaksanakan pra-rekonstruksi peristiwa yang menurut keterangan kepolisian merupakan aksi tembak menembak antara Bharada E dan Brigadir J di rumah kediaman Kadivpropam non-aktif Ferdy Sambo.

Meskipun demikian, kedua lembaga ini sangat menyayangkan kepolisian justru tidak melakukan prarekonstruksi atas suara tembakan dan pemeriksaan prosedur olah TKP. Padahal hal tersebut diperlukan untuk mengetahui kebenaran peristiwa dan wujud akuntabilitas kepolisian kepada masyarakat luas.

Koordinator KPHAM Abusaid Pelu menyayangkan kepolisian yang tidak menggelar beberapa hal yang penting. Pertama, prarekonstruksi suara tembakan. Kedua, prarekonstruksi kehadiran polisi-polisi yang pertama kali memeriksa Tempat Kejadian Perkara (TKP).

Menurutnya, prarekonstruksi suara tembakan itu penting untuk menguji benar tidaknya penembakan tersebut terjadi di rumah dinas Ferdy. “Tembakan harus dilakukan dengan senjata dan peluru sama jenisnya. Apa benar ada tembakan di sana dan seberapa jauh tembakan yang katanya berjumlah 12 kali itu terdengar di lingkungan setempat,” kata Abusaid.

Hal yang tak boleh diabaikan, Abusaid menambahkan, adalah langkah polisi saat pertama kali melakukan upaya pengamanan TKP. “Siapa yang hubungi polisi dan siapa penyidik pertama di TKP, apa yang dilakukan saat olah TKP. Semua polisi yang datang pertama di lokasi kejadian harus diperiksa apakah sesuai Protap di TKP, apakah mendengarkan keterangan saksi saat itu. Harus ada foto-fotonya,” ujar Abu.

Pengujian lain yang penting, yakni alur prosedural terkait olah TKP yang melibatkan unsur penyidik dari Polres Jaksel. “Jangan lupa, apakah mantan Kapolres Jaksel setelah ditelepon Ferdy Sambo agar datang ke TKP sudah melaporkan kejadian itu ke Kapolda metro? Dan jika melaporkan, apa perintahnya? Ada keganjilan. Pertanyaannya, kenapa keganjilan itu terjadi,” katanya.

Anggota KPHAM lainnya Muhammad Daud Berueh juga menyayangkan kepolisian yang tidak menghadirkan Irjen Ferdy Sambo, Bharada E, dan bahkan tidak melibatkan pengacara Brigadir J. Padahal, peran kesemuanya penting untuk memastikan kredibilitas penyidikan dan mengungkap kasus menjadi terang.

“Jika tidak, itu sama dengan menunjukkan proses penyidikan tak berjalan transparan sepenuhnya. Jangan lupa, apakah mantan Kapolres Jaksel setelah ditelepon Ferdy Sambo agar datang ke TKP sudah melaporkan kejadian itu ke Kapolda Metro? Dan jika melaporkan, apa perintahnya?,” ucap Daud yang juga merupakan Wakil Sekretaris Jenderal Perhimpunan Advokat Indonesia.

Direktur Eksekutif Public Virtue Miya Irawati mendesak adanya Rapat Dengar Pendapat di Komisi DPR RI dalam rangka fungsi pengawasan dan kontrol rakyat melalui wakil-wakilnya. Miya mengatakan, mengingat derasnya spekulasi masyarakat di media sosial atas kasus tersebut, polisi seharusnya “all-out” dalam bekerja. “Kami mendesak jajaran Komisi III DPR RI untuk melakukan fungsi kontrol dan pengawasan demokratis atas kinerja kepolisian. Kasus ini terlalu mencolok di masyarakat,” katanya.

Ketua Dewan Pengurus Public Virtue Usman Hamid menyatakan, pihaknya mendorong proses pengusutan kasus secara transparan, imparsial, efektif, dan menyeluruh. Prarekonstruksi menurutnya harus dilakukan secara mendetil, karena akan sangat menentukan proses penyelidikan/penyidikan kasus ini. “Prarekonstruksi suara tembakan dari jenis senjata dan peluru yang sama, sampai dengan pemeriksaan prosedur olah TKP beserta siapa pada penyidik yang pertama kali tiba di lokasi adalah sangat krusial,” kata Usman Hamid.

Menurutnya, kepolisian tidak perlu menyampaikan kronologi kasus sebatas keterangan dari pihak pelapor. Sebab, opini yang berkembang di publik adanya aksi tembak menembak di rumah Kadivpropam Polri yang melibatkan Brigadir J dan Bharada E dengan latar motif pelecehan seksual. “Peristiwa semakin mengarah pada bukan aksi tembak menembak, melainkan tindakan pembunuhan yang bermula dari penyiksaan serta perlakuan lain yang kejam, tidak manusia, dan merendahkan martabat manusia dari Brigadir Satu J,” ujarnya.

Pengungkapan kasus yang transparan menjadi ujian dari jargon PRESISI Polri yang selama ini digaungkan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo. “Dalam negara demokrasi, langkah-langkah prarekonstruksi semacam ini dapat menjadi bentuk pertanggungjawaban publik kepolisian kepada masyarakat,” tegasnya.

Diketahui, berdasarkan pantauan media, prarekonstruksi dimulai pada siang hari, yaitu sekitar pukul 11.20 WIB. Kemudian tim penyidik mulai menggelar prarekonstruksi di rumah kediaman Ferdy Sambo. Petugas kepolisian melibatkan sejumlah tim, antara lain Indonesia Automatic Fingerprint Identification System (Inafis), Pusat Laboratorium Forensik (Puslabfor), Kedokteran Kepolisian (Dokpol), dan penyidik gabungan kepolisian.

Sejumlah petinggi Polri sempat mendatangi kediaman Ferdy yang terletak di Kompleks Polri Duren Tiga, Jakarta Selatan. Antara lain Kadiv Humas Polri Irjen Dedi Prasetyo, Kabagpenum Humas Polri Kombes Nurul Azizah, Dirtipidum Bareskrim Polri Brigjen Andi Rian Djajadi.

Pengacara Brigadir J Johnson Panjaitan baru tiba di lokasi sekitar pukul 15.05 WIB. Menurut kuasa hukum Brigadir J tersebut, alasan mereka terlambat adalah karena mereka tidak diundang untuk menyaksikan prarekonstruksi tersebut. Ia mendatangi lokasi untuk mengonfirmasi prarekonstruksi ke pihak kepolisian. Gelar prarekonstruksi berjalan hingga petang, ditandai dengan tim gabungan secara bergiliran mulai keluar dari rumah Ferdy Sambo.

4060