Home Hukum Pengawasan dan Amandemen UU Untuk Reformasi Polri

Pengawasan dan Amandemen UU Untuk Reformasi Polri

Jakarta, Gatra.com – Reformasi Institusi Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) didorong untuk segera diwujudkan. Hal ini tidak terlepas dari adanya kasus kematian Brigadir J dengan atasan sebagai pelaku utama, yaitu mantan Kepala Divisi (Kadiv) Profesi dan Pengamanan (Propam), Ferdy Sambo. Tim Advokat dan Penegak Keadilan (TAMPAK) melakukan diskusi publik guna mendengar pendapat dan pandangan dari berbagai pihak terkait reformasi Polri.

Salah satu anggota TAMPAK, Saor Siagian menyatakan bahwa peran publik sangat dominan dalam mengawal kasus ini. Tanpa adanya perhatian dari seluruh elemen masyarakat, maka kasus ini bisa berhenti begitu saja dan tidak ada penyelesaiannya.

“Setiap tindakan penyidikan adalah pro justicia, atas nama keadilan. Penetapan FS sebagai tersangka menjadi harga yang harus dibayar,” jelasnya pada Jumat (19/8).

Mantan Wakil Ketua KPK, Thony Saut Situmorang, menyatakan bahwa diperlukan pengawasan dari luar karena kekuasaan Polri yang terlalu besar. Menurutnya, hakim tidak boleh menghakimi dirinya sendiri. Ia juga melihat bahwa akar permasalahan Polri saat ini ada di penegakkan etik. Etik menjadi persoalan utama karena pelanggaran ini bisa membawa pidana. Selain itu, perlunya membangun kepercayaan dengan menegakkan kejujuran dan memiliki integritas menjadi hal yang harus dibenahi oleh Polri demi tercapainya reformasi Polri.

Ketua Indonesia Police Watch (IPW), Sugeng Teguh menyatakan bahwa hampir 80% komplain dari masyarakat yang masuk adalah terkait layanan penegakan hukum. Hal ini turut dipengaruhi dengan proses penyelidikan yang tertutup. Kebijakan ini rentan menimbulkan penyalahgunaan wewenang, seperti yang terjadi pada kasus Brigadir J. Meskipun begitu, ini merupakan aturan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Kepolisian.

Pasal 18 menyebutkan bahwa “untuk kepentingan umum pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri.” Ini menunjukkan adanya kewenangan yang tidak terbatas. Untuk itu, ia mengusulkan adanya amandemen Undang-Undang Kepolisian untuk mendukung pengawasan kekuasaan Polri.

“Unsur publik dimasukkan di sana (aturan) sebagai bagian daripada majelis pemeriksa sehingga dasarnya ada. Untuk mengusung keadilan, tidak bisa diserahkan kepada polisi saja karena kewenangan yang sangat besar itu bisa disalahgunakan. Peran publik dalam pengawasan internal kepolisian dimasukkan dengan Undang-Undang Kepolisian diamandemen,” terangnya.

Dorongan untuk mereformasi Polri dilakukan karena Polri dianggap memiliki kekuasaan tak terbatas. Pada kasus kematian Brigadir J, obstruction of justice terjadi sehingga keadilan tidak bisa ditegakkan. Namun, penetapan Ferdy Sambo (FS) sebagai tersangka utama dapat dijadikan momentum bagi terlaksananya penegakkan hukum.

148