Home Hukum Perjanjian Perkawinan Harus Direkonsepsi agar Selaras dengan Pancasila

Perjanjian Perkawinan Harus Direkonsepsi agar Selaras dengan Pancasila

Jakarta, Gatra.com – Meggy Tri Buana Tunggal Sari, S.H., M.Kn., mengatakan bahwa istilah perjanjian perkawinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 UU Perkawinan yang bertujuan untuk mengatur pemisahan harta, secara hukum kurang tepat untuk digunakan.

Meggy menyampaikan, pandangan tersebut merupakan kesimpulan berdasarkan hasil dari kajian yuridis normatif yang didukung dengan kajian empiris dari disertasi “Rekonseptualisasi Perjanjian Perkawinan Dalam Perspektif Filosofi Pancasila”.

Disertasi tersebut yang mengantarkan Meggy meraih gelar doktor di Kampus Pasca Sarjana, Universitas Pelita Harapan (UPH), Jakarta, pada Rabu (7/9). Menurutnya, nomenklatur tersebut kurang tepat karena menimbulkan multi-tafsir.

“Arti perjanjian perkawinan lebih sering dipahami sebagai janji kawin atau ikrar kawin yang sakral dan suci yang diucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, di hadapan pemuka agama,” ujarnya.

Mengingat pemisahan harta adalah perbuatan hukum perdata, Meggy mengusulkan, lebih tepat jika nomenklatur perjanjian perkawinan diubah atau diganti menjadi “Perjanjian Pemisahan Harta”.

Menurutnya, dengan demikian akan tercipta kejelasan dan kejernihan makna dan tujuan perjanjian pemisahan harta oleh pasangan suami isteri yang terikat dalam perkawinan.

Baca Juga: Pelaku Perkawinan Campuran Bisa Buat Perjanjian Kawin Kapanpun

Ia menjelaskan, perjanjian perkawinan yang dibuat oleh para mempelai dinilai telah mereduksi hakikat perkawinan atau mendegradasi nilai kesakralan perkawinan, terlebih pada agama tertentu tidak mengenal perceraian.

Terlebih lagi, lanjut Meggy, esensi muatan dan tujuan perjanjian perkawinan adalah perjanjian pemisahan harta yang secara kategoris masuk dalam perjanjian perdata murni. Masyarakat Indonesia kerap menggunakan perjanjian perkawinan sebagai sebuah upaya antisipasi jika terjadi perceraian di kemudian hari.

“Perjanjian tersebut dikatakan sah apabila memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata,” ujarnya.

Dalam praktik, kata dia, persyaratannya yakni harus ada kesepakatan yang dilakukan oleh pihak yang cakap secara hukum, mengenai hal tertentu dan causanya tidak dilarang undang-undang atau tidak bertentangan dengan kesusilaan atau ketertiban umum.

Baginya, karena perjanjian perkawinan pada esensinya adalah perjanjian pemisahan harta, maka substansinya mengonstruksikan klausula-klausula hukum beserta hak dan kewajiban sesuai dengan yang diperjanjikan.

“Hal tersebut sekaligus telah mereduksi hakikat perkawinan atau mendegradasi nilai kesakralan perkawinan, yang menurut agama tertentu tidak mengenal perceraian,” ujarnya.

Dengan kata lain, kata Meggy, perjanjian perkawinan mengingkari hakikat keabadian perkawinan. Artinya, pasangan suami istri telah menyiapkan diri untuk sewaktu-waktu akan bercerai.

Lebih jauh Meggy menyampaikan bahwa sejatinya perkawinan merupakan sendi dari komunitas masyarakat, bangsa, dan negara. Harus diakui bahwa perkawinan adalah sendi adanya hukum. Perkawinan yang sehat menciptakan keluarga bahagia yang akan membentuk bangsa bermartabat dan negara yang kuat.

Sesuai UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Meggy mengatakan bahwa "Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Sebagai negara hukum yang berideologi Pancasila, maka perkawinan tak hanya dikatakan sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya, tapi juga harus menjadikan nilai-nilai agama sebagai landasan ikatan perkawinan warga negara.

"Secara yuridis, tanpa perkawinan tidak mungkin ada perjanjian perkawinan," sebutnya.

Meggy menguraikan, Indonesia adalah negara hukum berideologi Pancasila. Oleh karena itu, nilai-nilai agama menjadi sendi utama kehidupan berbangsa, termasuk melandasi ikatan perkawinan warga negara.

Dalam perkembangannya, Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) RI, Nomor 69/PUU-XIII/2015 telah mengubah secara progresif landasan pengaturan perjanjian perkawinan. Intinya, selain dapat dibuat secara prenuptial agreement (pranikah) saat ini perjanjian perkawinan dapat juga dibuat secara postnuptial agreement (selama dalam ikatan perkawinan).

Menurutnya, perjanjian itu harus disahkan oleh Pegawai Pencatat Nikah atau Notaris dan berlaku sejak perkawinan atau jika ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan (dapat berlaku surut).

Baca Juga: Pemerintah Atasi Masalah Anak Hasil Perkawinan Campuran Pilih Kewarganegaraan

"Namun, perkembangan zaman mendorong perlunya Rekonsepsi Perjanjian Perkawinan dalam konteks ke-Indonesiaan yang berbasis Pancasila agar nilai kesakralan perkawinan tidak terdegradasi dengan dibuatnya perjanjian perkawinan berdasarkan KUH Perdata.

"Faktanya, nilai-nilai Pancasila, utamanya Sila Pertama belum sepenuhnya menjiwai pengaturan perkawinan,” katanya dalam siaran pers.

Menurut Meggy, hal itu terbukti dengan adanya perjanjian perkawinan yang dibuat masyarakat atas perkawinan yang tercatat, namun tidak dilakukan sesuai dengan agama maupun kepercayaannya. Perjanjian perkawinan dipakai untuk mengatur skenario pembagian harta pada saat terjadi perceraian.

Hal ini memberi kesan mendegradasi makna sakral perkawinan dan menipiskan komitmen untuk menjaga keutuhan maghligai perkawinan sebagaimana dicita-citakan oleh UU Perkawinan, yaitu bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Selain itu, sambungnya, dengan tidak diatur dengan jelas ketentuan tentang perjanjian perkawinan, maka isinya dapat berupa apa saja. Misalnya, adanya sanksi KDRT, pengangkatan anak, atau kesepakatan tidak boleh kuliah bila sudah menikah, yang sebagian tersebut merupakan kewenangan lembaga Peradilan. Hal ini tidak sesuai dengan substansi perjanjian perkawinan, yaitu tentang pemisahan harta.

“Yang pasti, perjanjian perkawinan merupakan bentuk penyimpangan dari konsep harta bersama sebagai akibat hukum dari suatu perkawinan yang sah,” ujarnya.

257