Home Regional RUU Daerah Kepulauan Diam di Tempat, Ketua BKS: Kami Tak Minta Otonomi!

RUU Daerah Kepulauan Diam di Tempat, Ketua BKS: Kami Tak Minta Otonomi!

Jakarta, Gatra.com - Rancangan Undang-undang (RUU) Daerah Kepulauan yang masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2022 di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Namun demikian, hingga kuartal terakhir tahun ini belum terdengar tindak lanjut untuk membahas rancangan undang-undang tersebut. RUU Daerah Kepulauan ini merupakan usulan atau inisiatif Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang sudah masuk parlemen sejak 2015, setelah sebelumnya berubah nama dari RUU Provinsi Kepulauan.

Ketua Badan Kerja Sama (BKS) Provinsi Kepulauan yang juga Gubernur Sulawesi Tenggara, Ali Mazi mengatakan, tantangan dalam pengelolaan daerah kepulauan antara lain mendorong pembangunan di gugusan pulau, mengintensifkan konektivitas penduduk yang bermukim di gugusan pulau, penanganan laut yang umumnya 70-80% dari luas wilayah keseluruhan.

Ali menjelaskan, sudah 17 tahun daerah provinsi kepulauan memperjuangkan RUU ini. "Kami tidak meminta otonomi daerah, melainkan perlakuan yang sama antara daerah berciri kepulauan dengan daerah berdiri daratan," kata Ali Mazi dalam Focus Group Discussion RUU Daerah Kepulauan, di Jakarta, Kamis (13/10/2022).

Ali memaparkan jika daerah kepulauan di Indonesia meliputi Daerah Tingkat I, yaitu Provinsi Maluku, Kepulauan Riau, Sulawesi Utara, Nusa Tenggara Barat, Maluku Utara, Bangka Belitung, Nusa Tenggara Timur, dan Sulawesi Tenggara. Ada pula Daerah Tingkat II, di antaranya Pemerintah Kota Batam, Bima, Ambon, Natuna, Biak Numfor, dan lainnya. "Negara harus hadir untuk menopang kehidupan rakyat yang tinggal di gugusan pulau," ujarnya.

Dia mencontohkan, pembagian Dana Alokasi Umum atau (DAU) dari pemerintah pusat dihitung berdasarkan luas wilayah daratan dan jumlah penduduk. Sementara faktanya, daerah berciri kepulauan memiliki perairan yang lebih luas ketimbang daratan dan jumlah penduduk lebih sedikit yang tersebar di pulau-pulau.

Sementara untuk mengelola wilayah laut, menurut Ali, pemerintah pusat sudah mengatur bahwa tidak ada lagi kewenangan pemerintah kabupaten/kota. Kewenangan mengelola wilayah laut 0-12 mil dari garis pantai berada di tingkat provinsi, dan selebihnya dipegang oleh pemerintah pusat.

"Indonesia adalah poros maritim dunia dan berciri negara kepulauan. Tetapi masyarakat yang tinggal di kepulauan sangat menderita karena hanya berharap dari laut," kata Ali Mazi.

Padahal, potensi daerah kepulauan tidak kalah dengan daerah yang didominasi daratan. Wakil Ketua DPD RI Nono Sampono berharap pemerintah pusat dan fraksi-fraksi di DPR memperhatikan keberlanjutan pembahasan RUU Daerah Kepulauan.

"Presiden Joko Widodo dapat memberikan perhatian langsung. Dan setiap kali kami (pimpinan DPD) bertemu dengan presiden, kami selalu menyampaikan RUU ini," kata Nono.

Nono melanjutkan, perjalanan RUU Daerah Kepulauan pada masa kerja DPR periode lalu lebih maju karena sudah terbentuk panitia khusus yang diketuai oleh Edison Betaubun dari Partai Golkar dan wakilnya Mercy Chriesty Barends dari PDIP. "Ketika sudah di ujung kemudian masuk pembahasan dengan pemerintah, dari tujuh kementerian yang diutus, empat di antaranya tidak menyampaikan daftar inventarisasi masalah (DIM). Artinya, (pembahasan) tidak bisa berlanjut," katanya.

RUU Daerah Kepulauan, Nono menjelaskan, memiliki semangat untuk pemerataan pembangunan antara daerah berbasis daratan atau kontinental dengan daerah berbasis kepulauan atau perairan. "RUU Daerah Kepulauan tidak meminta otonomi khusus, melainkan perlakuan khusus. Kalau dibiarkan begini terus, akan menjadi persoalan tak berkesudahan," bebernya.

Di samping itu, Dewan Pakar Asosiasi Pemerintah Daerah Kepulauan dan Pesisir (Aspeksindo) Rokhmin Dahuri mengatakan, mahalnya ongkos distribusi dan biaya transportasi merupakan salah satu dampak dari kondisi daerah berciri kepulauan dibandingkan dengan daerah berciri daratan. Hingga kini, menurut dia, biaya logistik dan transportasi di Indonesia menjadi yang tertinggi, yakni sekitar 25%. Padahal di negara lain, angkanya kurang dari 15%.

"Daerah kepulauan akan terus melarat kalau anggaran hanya dihitung berdasarkan jumlah penduduk dan luas daratan," katanya.

Rokhmin menunjukkan akibat dari disparitas pembangunan yang jomplang ini. Pulau Jawa menopang 58% perekonomian nasional, padahal luasnya hanya 15% dari total wilayah Indonesia. Sementara daerah lain yang luasnya 85%, hanya berkontribusi sebesar 19,5% untuk perekonomian nasional.

Dia pun menukil cerita ketika Presiden RI ke-5 Megawati Soekarnoputri berkunjung ke Cina. Saat itu, Megawati bertanya kenapa Cina begitu agresif masuk ke perairan negara lain. Pemimpin Cina menyatakan, daratannya tak akan cukup untuk memberi makan bagi 1,4 miliar penduduk di negara itu.

Sebab itu, Rokhmin mengusulkan agar sejumlah provinsi lain yang juga memiliki pulau-pulau bergabung dalam Badan Kerja Sama Provinsi Daerah Kepulauan. Mereka adalah Aceh, Bengkulu, Sulawesi Tengah, Gorontalo, dan Papua Barat.

Kepala Badan Penghubung Provinsi NTT, Donald Isaac menyampaikan kondisi geografis di daerahnya. NTT memiliki 600 pulau dan yang berpenghuni sebanyak 44 pulau. Masyarakat yang tinggal di pulau-pulau terluar umumnya akan terisolasi selama empat bulan atau selama musim hujan.

"Biasanya sepanjang November sampai Januari angin amat kencang dan ketinggian ombak bisa mencapai enam meter," katanya.

Akibatnya, bandara ditutup dan pelabuhan beroperasi sesuai kondisi cuaca. Kondisi ini membuat harga bahan pokok di pulau-pulau tersebut amat tinggi lantaran kendala distribusi.

Pada kesempatan yang sama, Asisten I Bidang Pemerintahan dan Kesejahteraan Rakyat Provinsi Maluku, Samuel E. Huwae mengatakan, salah satu penyebab timpangnya kondisi pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan masyarakat di daerah berciri kepulauan dengan penduduk di daerah berciri daratan adalah metode penghitungan dana transfer dari pemerintah pusat yang berbasis luas wilayah dan jumlah penduduk.

Di daerah berciri kepulauan, jumlah penduduknya memang lebih sedikit dan menempati daratan yang lebih sempit lantaran sebagian besar wilayahnya adalah perairan. "Kami adalah orang-orang yang gelisah dan terus berjuang demi mendapatkan perlakuan yang sama dari pemerintah pusat untuk daerah kepulauan," kata Samuel.

Samuel menjelaskan, Provinsi Maluku memiliki 1.340 pulau dan 112 pulau di antaranya berpenghuni. Total wilayah Provinsi Maluku seluas 712.479,69 kilometer persegi dengan 54.185 kilometer persegi (7,6 persen) berupa daratan dan 658.294,69 kilometer persegi (92,4 persen) lautan. Adapun jumlah penduduknya sebanyak 1,88 juta jiwa. Dengan kondisi tersebut, pendapatan asli daerah sebesar Rp 500 miliar dan APBD Rp 4,15 triliun.

"Artinya, anggaran daerah masih sangat tergantung dari dana transfer pemerintah pusat. Sementara, dana transfer tersebut dihitung berdasarkan luas daratan dan jumlah penduduk yang sempit dan sedikit tadi," papar Samuel.

Kepala Pusat Ekonomi dan Bisnis Syariah, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, Nur Kholis mengatakan, jumlah penduduk di delapan provinsi kepulauan itu sekitar 23 juta jiwa atau 8,37% dari jumlah penduduk di daerah non-kepulauan.

"Jumlah penduduk di provinsi kepulauan meningkat sepanjang 2010-2021 dengan pertumbuhan yang lebih tinggi dibanding nasional dan provinsi bukan kepulauan. Sementara pembangunan masih bias daratan dan bias penduduk," tutur Nur Kholis.

33