Home Ekonomi Soal Gelombang PHK Industri Tekstil, Menperin: Lartas Bisa Jadi Senjata Kita

Soal Gelombang PHK Industri Tekstil, Menperin: Lartas Bisa Jadi Senjata Kita

Jakarta, Gatra.com- Menteri Perindustrian (Menperin), Agus Gumiwang Kartasasmita, mengatakan pemerintah telah menyiapkan opsi menahan laju pemutusan hubungan kerja (PHK) di sektor industri tekstil dan garmen. Salah satunya melalui kebijakan larangan terbatas (lartas) impor produk serupa.

"Lartas ini bisa menjadi senjata kita, bisa menjadi instrumen (kebijakan) kita," ungkap Agus dalam konferensi pers capaian pertumbuhan ekonomi triwulan ke-3 secara virtual, Senin (7/11).

Ia berujar, harmonisasi kebijakan pada sektor industri tekstil harus dilakukan dengan tetap antara urusan di hulu, intermediet, dan hilir. Menurutnya, jangan sampai kebijakan lartas hanya digencarkan di hulu namun menimbulkan permasalahan di sisi intermediet dan hilir.

"Kebijakan lartas ini menjadi salah satu opsi kita untuk menumbuhkan atau menjaga sektor industri yang mengalami perlambatan dan pertumbuhan negatif," terangnya.

Agus pun mengungkapkan, sebenarnya data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pada kuartal III tahun 2022, penyerapan tenaga kerja sektor manufaktur mengalami kenaikan sekitar 400.000 pekerja. Adapun industri tekstil, kata dia, tumbuh 8 persen.

"Memang tekstil ini sebetulnya dia tetap tumbuh, tapi memang ada perlambatan," ucapnya.

Perlambatan pertumbuhan industri tekstil, menurut Agus menjadi pemicu korporasi berorientasi ekspor melakukan efisiensi sehingga gelombang PHK terjadi. Pelemahan bisnis ekspor tekstil dipicu pelemahan ekonomi di negara konsumen seperti Eropa dan Amerika Serikat.

Oleh karena itu, Agus mengatakan pihaknya akan mendorong akses pasar baru ekspor di negara-negara lain yang berpotensi untuk menyerap produk Indonesia.  Adapun pasar-pasar baru itu seperti di Amerika Latin, Amerika Selatan, Afrika, dan negara Timur Tengah serta Asia.

Selain itu, Agus menambahkan, bahwa pemerintah juga menyiapkan opsi untuk relaksasi fiskal bagi industri yang terpukul dari pelemahan ekonomi global.

"Salah satu cara menjaga keberlangsungan dari industri yang terpukul atau melambat itu adalah restrukturisasi dari kredit itu sendiri dan tentu kami akan bicara dengan OJK," imbuh Agus.

Seperti diketahui, sebelumnya Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia, Redma Gita Wirawasta mengungkapkan bahwa pengusaha tekstil dan garmen saat ini tengah kesulitan lantaran permintaan ekspor tengah menurun seiring krisis ekonomi global yang melanda banyak negara.

Meskipun Indonesia punya banyak perjanjian ekonomi komprehensif (CEPA) dengan berbagai negara, Redma menyebut hal itu tak bisa banyak membantu.

"Meskipun kita punya CEPA, kondisi negara lain juga kan tidak baik secara ekonomi. jadi akan sulit jika mau memaksakan ekspor," ujarnya dalam konferensi pers, Rabu (2/11) lalu.

Ia mengakui, alternatif lain yang bisa dilakukan untuk menyelamatkan keberlanjutan industri yakni menjaga pasar domestik. Pemerintah perlu mendukung ketersediaan pasar domestik bagi industri berorientasi ekspor. Hal itu, kata Redma dapat menekan laju PHK massal karyawan di sektor terkait.

"Walaupun yang ekspornya sedikit-sedikit ada hambatan tapi kalau pasar dalam negerinya bisa kita kuasai, di saat meminimalisir PHK dan kita bisa tetap bertahan," ucapnya.

Redma menyebut, pemerintah harus bersikap lebih protektif. Terutama dalam hal implementasi kebijakan pembatasan impor produk garmen dan tekstil untuk menjaga industri dalam negeri. Musabab, ia mengatakan selama ini Indonesia terlalu terbuka dan mudah dimasuki produk impor entah legal maupun semi ilegal.

Jadi apapun insentifnya, yang utama itu market. Dan untuk market ini pemerintah nggak perlu ngeluarin budget. Asalkan pemerintah mau ngasih kebijakan dan mau melakukan implementasi kebijakan supaya barang-barang impor di pasar ini tidak bisa beredar dengan gampang," tutur Redma.

Ketua Umum Perkumpulan Pengusaha Produk Tekstil Provinsi Jawa Barat (PPTPJB), Yan Mei pun menyebut dalam dua pekan terakhir dampak PHK sudah menyebar hingga 14 kabupaten dan kota.

Bahkan, kata Yan sudah ada 18 perusahaan yang tutup menyebabkan 1.500 karyawan dirumahkan. Menurunnya daya beli dan permintaan ekspor disinyalir telah menurunkan pendapatan perusahaan secara signifikan sehingga efisiensi tak bisa dihindari.

"Jadi total PHK itu ada 64 ribu pekerja dari 124 perusahaan. Angkanya itu pasti akan terus berubah dan mungkin bisa naik," ungkap Yan Mei, Rabu (2/11).

152