Home Nasional Serial Hari Pahlawan: Wage Rudolf Supratman, Anak Band, Wartawan, dan “Indonesia Raya”

Serial Hari Pahlawan: Wage Rudolf Supratman, Anak Band, Wartawan, dan “Indonesia Raya”

Surabaya, Gatra.com – Banyak pendapat berbeda terkait kapan dan di mana Wage Rudolf Supratman (selanjutnya Wage) dilahirkan. Namun, semua orang agaknya telah menyepakati bahwa dia meninggal di Surabaya pada 17 Agustus 1938. Rumah wafatnya saat ini menjadi Museum W.R. Supratman yang diresmikan oleh Tri Rismaharini tepat pada peringatan Hari Pahlawan 2018 silam.

Museum itu satu rumah kecil yang memiliki dua bilik dan ruangan tamu yang cukup luas. Terang saja, tempat itu dahulunya merupakan rumah milik kakak tercinta Wage yang bernama Roekiyem Soepratijah.

Setelah sering kali pindah domisili dan keluar masuk penjara, pada 1937 Wage kembali ke Surabaya dan menempati rumah kakaknya itu. Saat ini, rumah kecil dengan atap segitiga tinggi itu berada di Jl. Mangga No.21, Kelurahan Tambaksari, Kecamatan Tambaksari, Kota Surabaya.

Dari Tugu Pahlawan, rumah itu dapat ditempuh hanya sekitar sepuluh menit menggunakan kendaraan roda dua. Sayangnya, jalan masuk menuju Jl. Mangga No. 21 terbilang cukup kecil. Museum itu terletak di tengah-tengah perumahan dengan jalan paving. Hanya cukup untuk dua motor berpapasan.

Warga sekitar sepakat memberi peringatan agar penumpang kendaraan tidak melaju lebih dari 5 km/jam. Meskipun tempatnya tidak terlalu mencolok, aplikasi Google Maps sudah dapat mengarahkan secara tepat.

Di depan Museum dibuatkan patung Wage lengkap dengan kacamata bulat, pakaian berjas, peci, dan biola berwarna hitam. Khas dengan citra pahlawan nasional yang juga seorang musisisi band beraliran jazz mashur di Makassar.

Dahulu, ketika bangunan itu belum diresmikan sebagai museum, patung Wage dicat lebih berwarna. Di bawahnya terdapat taman kecil dan bonsai yang seukuran paha patung Wage. Tepat lurus di tengah rumah itu berdiri tiang bendera. Hanya ada satu pintu masuk di rumah itu.

Layaknya museum pada umumnya, rumah itu dipenuhi replika benda dan foto-foto bersejarah terkait tuannya. Di bilik pertama terdapat replika biola dalam lemari kaca beserta poto-poto perjalanan Wage dari tahun ke tahun.

Sedangkan di bilik belakang atau kamar kedua, terdapat kaca besar yang berisikan uang pecahan 50.000 tahun 1999 yang saat itu bergambar Wage. Saat masuk, penjaga museum hanya meminta untuk mengisi daftar tamu dan registrasi sederhana melalui web.

Terdapat kamar mandi dan banner besar di area belakang. Di belakang tembok pembatas, ada pohon besar yang tak terlalu mengayomi halaman belakang museum yang panas di siang hari.

Baca Juga: Hari Pahlawan: H.O.S Tjokroaminoto, Sang Guru Bangsa, Raja Jawa Tanpa Mahkota

Peraturan museum sama saja, pengunjung tidak diperbolehkan menyentuh koleksi-koleksi yang ada di dalam. Hanya butuh waktu 15 menit untuk membaca, mengitari, dan menelaah seluruh isi rumah tempat Wage wafat itu.

Selain itu, Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Surabaya juga menyediakan kode batang yang bisa dipindai menggunakan ponsel pintar untuk membaca informasi-informasi yang berada di museum. Kode batang (barcode) itu disajikan di sekitar koleksi musem.

Pesarean Wage tidak jauh dari rumah wafatnya. Menurut informasi dari laman Bappeko Surabaya, awalnya pusara Wage terletak di tempat pemakaman umum Rangkah, di Jl. Kenjeran, Rangkah, Kecamatan Tambaksari, persis di seberang makamnya yang sekarang.

Atas perimintaan dari keluarga dan pemerintah, makam itu dipindahkan di seberang jalan. Tempatnya seperti sebuah pendopo yang dikelilingi taman bunga. Di seberang makamnya tertulis biografi singkat dan karya-karyanya. Sama seperti di rumah wafat, di area pesarean Wage juga terdapat patungnya yang khas dengan jas, songkok, biola, dan kacamata bulat itu.

Kelahiran Wage Rudolf Supratman

Hal tersulit ketika menelisik sejarah Wage Rudolf Supratman adalah menemukan fakta yang sebenarnya dari kapan dan di mana pahlawan nasional itu dilahirkan. Tidak hanya sampai di situ, kontroversi terkait penggubah lagu Indonesia Raya ini juga melibatkan apakah dia memiliki keturunan atau tidak, lebih lagi apakah dia memiliki istri yang sah atau tidak.

Museum W.R. Supratman di Jl, Mangga 21 Tambaksari Surabaya. (GATRA/Mely)

Wage Rudolf Supratman mungkin bukan tipikal pahlawan seperti Bung Tomo yang menggerakkan semangat juang rakyat Indonesia melalui kata-katanya yang membara. Wage memilih berjuang menggunakan bakat seni yang diwariskan oleh kakeknya, Mas Ngabehi Notosoedirjo. Melalui biola, ketukan nada, dan juga not-not balok dan angka, Wage menumbuhkan kesadaran pentingnya menjadi tuan di tanah sendiri.

Wage dikandung oleh ibu yang bernama Siti Senen, seorang wanita yang berasal dari Desa Somongari dan merupakan istri dari Djoemeno Senen Sastrosoehardjo. Dalam Wage Rudolf Supratman: Meluruskan Sejarah dan Riwayat Hidup Pencipta Lagu Kebangsaan Republik Indonesia “Indonesia Raya”, Anthony C. Hutabarat, menyebutkan bahwa pasangan itu menikah pada 1890 di Purworedjo, Jawa Tengah. Sang suami merupakan serdadu Tentara Kerjaan Hindia-Belanda atau Koninklijke Nederlands(ch)-Indische Leger (KNIL).

Sang kakek awalnya tak merestui ayah Wage untuk menjadi serdadu KNIL. Mas Ngabehi semula berkeinginan agar Djoemeno meneruskan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Namun, keinginan Djoemeno untuk menjadi serdadu dibarengi oleh sifatnya yang keras kepala, akhirnya menang.

Terdapat dua versi kapan tepatnya Wage dilahirkan. Pertama, dalam buku yang sama Hutabarat menyebutkan bahwa dia lahir pada Senin Wage (hari pasaran Jawa) 9 Maret 1903 pukul 11:00 siang. Hutabarat menuliskan bahwa Wage lahir di Meester Cornelis, sebuah kota satelit di Batavia pada zaman penjajahan Hindia Belanda yang saat ini bernama Jatinegara.

Buku lain dengan judul Wage Rudolf Supratman oleh Bambang Sularto memiliki pendapat yang sedikit berbeda. Meski mengisyaratkan hari dan tanggal yang sama, Sularto menyebutkan bahwa Wage merupakan anak ketujuh yang dilahirkan di Dukuh Trembelang, Desa Somongari, Kecamatan Kaligesing, Kabupaten Purworejo pada malam hari Senin Wage, pekan kedua, bulan ketiga, tahun Jawa Wawu.

Pendapat lainnya datang dari Museum Sumpah Pemuda. Setelah melakukan pengkajian biografi Wage, Museum Sumpah Pemuda dalam laman resminya menyatakan, Wage lahir di Desa Somongari, Kecamatan Kaligesing, Kabupaten Purworejo, pada Jumat Wage 19 Maret 1903.

Tiga bulan setelah lahir, dia dipindahkan ke Jatinegara oleh orang tuanya. Menurut laman tersebut, untuk memudahkan, maka akte kelahiran Wage dibuat di Jatinegara sehingga banyak yang menuliskan bahwa Wage lahir di sana.

Meski demikian, Presiden RI ke-5, Megawati Soekarnoputri, terlanjur menetapkan 9 Maret sebagai Hari Musik Nasional, merujuk pada tanggal kelahiran Wage pada hari Senin sesuai pendapat Hutabarat.

Masa Kecil

Saat bayi, dia hanya bernama Wage Supratman. Nama Wage diambil dari bertepatannya hari kelahirannya, baik Senin atau Jumat, dengan pasaran Jawa, Wage. Menurut Sularto, nama Wage diberikan oleh ibunya saat upacara kerikan, upacara tradisional mencukur atau memotong rambut bayi saat usianya 35 hari. Setelah kembali ke Jatinegara beberapa bulan kemudian, Sersan Djomeno menambahi nama anaknya dengan Supratman.

Ruang tamu museum W.R. Supratman di Surabaya. (GATRA/Mely)

Berkat jabatan yang diemban bapaknya dan kekayaan yang dimiliki kakeknya, Wage kecil menjalani hidup nyaman. Sang kakek merupakan kaum priyai, memiliki tanah sawah yang luas, dan merupakan sorang seniman mashur di tanah Jawa. Lantaran kedua kakak laki-lakinya meninggal, Wage menjadi anak yang dimanja dan sangat disayang oleh keluarganya.

Rasa sayang orang tua itu lama-lama terasa mengekang bagi Wage. Ia kerap kali merajuk lantaran larangan-larangan posesif yang dibuat oleh ibunya. Hal ini menjadikannya memiliki hubungan dekat dengan kakak tertuanya, Roekijem. Berbeda dengan ibunya, Nama terakhir memberikan Wage kebebasan untuk bermain dan jalan-jalan sesukanya. Roekijem bahkan hampir tak pernah memarahi Wage kecil.

Ketika ayahnya pensiun pada 1910 setelah setahun sebelumnya mendapat kenaikan pangkat menjadi sersan, keluarga Wage pindah ke Cimahi. Di sana, dia juga melanjutkan sekolah di Budi Utomo. Sayang, kedekatan Wage dengan Roekijem juga haruslah berakhir di sana. Kakak sulungnya itu dipersunting W.M. van Eldik dan harus berpisah darinya.

Dua tahun kemudian atau pada 1902, ibu Wage meninggal dunia karena kesehatannya yang terus memburuk. Pada 1904 ayah Wage memperistri wanita lain yang telah memiliki anak. Sularto menyebutkan bahwa sejak saat itulah perangai Wage yang awalnya periang berubah menjadi pemurung.

Setelah banyak berkirim surat, ia akhirnya diboyong ke Makassar oleh kakaknya, Roekijem, untuk melanjutkan hidup di sana. Ia tiba di Makassar pada Nopember 1914 setelah berlabuh di atas kapal Van der Wijk dari Tanjung Perak. Di atas kapal itulah ia menemukan ketertarikannya pada musik saat melihat kakak sulung dan iparnya memainkan biola.

“Mbak Yem kok sudah pintar main biola. Berapa lama Mbak belajar main biola? Saya juga ingin dapat bermain biola seperti Mbak Yem,” tanya Wage pada suatu sore di atas Van der Wijck yang terus melaju ke Makassar.

Kakaknya menjawab bahwa jika Wage bersungguh-sungguh ingin bermain biola, maka Eldik, kakak iparnya, tidak akan ragu mengajari dan membantunya.

Atas usaha kakak sulung dan iparnya, Wage berhasil masuk sekolah Belanda Europese Lagere School (ELS) setelah menambahkan “Rudolf” menjadi nama tengahnya. Penambahan itu tentu harus dilakukan untuk meningkatkan peluang Wage diterima di sekolah yang menyulitkan kaum inlander menuntut ilmu di dalamnya. Namun, hanya beberapa bulan saja dihabiskannya di ELS. Ia dikeluarkan lantaran politik diskriminasi Belanda yang pada saat itu mungkin belum dipahaminya.

Anak Band, Guru, dan Pergi dari Makassar

Selain menimba ilmu, di Makassar, Wage tidak berhenti menekuni musik. Pada 1920, Eldik sang kakak ipar mendirikan sebuah band beraliran jazz bernama Black & White Jazz Band. Band itu beranggotakan enam orang termasuk Wage sebagai penggesek biola andalan. Band ini laku keras dan terbilang mashur. Setiap malam Minggu, band ini selalu manggung dan mengiri pesta dansa orang Belanda.

Replika biola W.R. Supratman di Museumnya yang berada di Surabaya (GATRA/Mely)

Semasa remaja di Makassar dan menjadi anak band, Wage termasuk orang yang popular. Meski banyak wanita Indo yang dekat dengannya, tak satupun dari mereka yang mampu merebut cinta Wage. Menurut Sularto, kisa petualangan “cinta monyet” dengan para wanita Indo di Makassar itu berlalu tanpa kesan yang membekas.

Selain menjadi seorang musisi, ia juga bekerja sebagai guru. Suatu saat pada 1923, agar bisa mengubah statusnya dari guru-bantu menjadi guru-penuh, ia diharuskan mengajar di sebuah kota kecil bernama Singkang. Sayang, kakak tertua dan iparnya tidak setuju akan hal ini. Ia diminta untuk menolak keputusan itu dengan konsekuensi harus melepaskan profesinya sebagai guru.

Setelahnya, Wage bisa dibilang banyak gonta-ganti pekerjaan. Kejenuhan menjalani hidup sebagai anak band menghampirinya. Ia menghentikan kehidupan mentereng dalam kerumunan puja-puji wanita dan kemashuran sebagai anak band. Pada 1924, ia memberikan perhatian penuh pada dunia politik. Kerap kali ia menghadiri ceramah-ceramah politik yang digelar di Makassar.

Pada tahun ini jugalah Wage memutuskan untuk kembali ke Jawa dengan tujuan awal Surabaya. Namun, tak lama tinggal di Kota Pahlawan, Wage memutuskan untuk merantau ke Batavia dan kemudian ke Bandung. Di Jawa Wage menjajal peruntungan dengan minatnya yang lain, yaitu dunia jurnalistik. Ia sempat menjadi reporter untuk surat kabar Kaoem Moeda dan juga surat kabar Sin Po.

Jurnalis Pencipta Lagu Indonesia Raya

Meski tidak lagi menjadi penghibur menggunakan biola, Wage tidak serta-merta membuang bakat warisan kakeknya itu. Hingga pada suatu sore, ia tersentak oleh sebuah artikel yang terbit dalam Majalah Timbul. Di sana tertulis: “Alangkah baiknya kalau ada salah seorang dari pemuda Indonesia yang bisa menciptakan lagu kebangsaan Indonesia, sebab lain-lain bangsa semua telah memiliki lagu kebangsaannya masing-masing.”

Pusara W.R. Supratman yang berada di Surabaya. (GATRA/Mely)

Kalimat itu memantik semangat Wage untuk menggubah sebuah lagu kebangsaan. Ia menceritakan minatnya mencipta lagu kebangsaan pada kakak iparnya, Oerip Kasansengari, pada pertengahan 1926. “Kalau bangsa Belanda punya lagu kebangsaan Wilhelmus, mengapa Indonesia belum punya. Sebab itu sekarang saya sedang memulai mengarang agu dan saya beritahukan juga kepada bapak dan saudara-saudaraku untuk mendapat restunya,” terang Wage.

Menurut Bondan Winarno dalam Lagu Kebangsaan Indonesia Raya seperti dilansir dari laman Historia.id, Wage yang aktif dalam kegiatan diskusi terkait kebangsaan dengan berbagai anggota pergerakan mendapat bantuan Theo Pangeman dalam proses pembuatan lagu kebangsaan.

Baca Juga: Peringatan Hari Pahlawan, Upacara Ziarah Nasional Digelar di Taman Makam Pahlawan Kalibata

Lagu itu pun selesai digubah dan pertama kali diperdengarkan pada penutupan Kongres Pemuda II 28 Oktober 1928 versi instrumental melalui gesekan biola saja. Lagu itu diperdengarkan lengkap dengan liriknya dinyanyikan oleh Theodora Athia pada pembubaran panitia Kongres Pemuda II, Desember 1928. Itulah kali kedua lagu Indonesia Raya kembali dikumandangkan.

Tentu saja pihak Belanda tidak menyukainya. Mereka khawatir lagu tersebut membangkitkan semangat kemerdekaan. Hingga pada 1930, Belanda melarang menyanyikan lagu Indonesia Raya dalam kesempatan apapun dengan alasan mengganggu keamanan dan ketertiban.

Sebagai pencipta lagu itu, Wage tak luput dari ancaman. Ia pun sempat ditahan sebentar oleh Belanda lantaran Indonesia Raya, lalu dilepas. Namun, setelah lagu Matahari Terbit, Wage kembali ditahan oleh Belanda. Ia bisa bebas lantaran bantuan iparnya, Eldik, yang membabaskannya dari tuduhan dari maksud-maksud lirik yang ada dalam lagu Matahari Terbit.

Area makam W.R. Supratman yang dikelilingi oleh taman bunga. (GATRA/Mely)

Wage mulai sakit-sakitan sekeluarnya dari penjara. Tiga hari sebelum meninggal atau pada 14 Agustus 1938, ia mengeluh pada kakaknya bahwa badannya amat lemas. Tentu Roekijem bertindak cepat untuk menawarinya dipanggilkan dokter, tetapi Wage menggeleng dan mengatakan bahwa masih ada persiapan obat resep dokter. Sehari kemudian, kondisinya tak kunjung membaik. Ia tak kuasa lagi bangkit dari ranjang.

Suatu sore pada hari itu, Oerip Ksansengari datang menjenguk. Ia kaget melihat kondisi Wage yang begitu cepat memburuk. Ketika berbincang-bincang dengan Oerip, Wage menyatakan kalimat terkenalnya itu: “Nasibku sudah begini. Inilah yang disukai oleh Pemerintah Hindia Belanda. Biarlah saya meninggal, saya ikhlas. Saya toh sudah beramal, berjuang dengan caraku, dengan biolaku. Saya yakin, Indonesia pasti merdeka.”

Keyakinan itu ia pegang sampai menghembuskan napas terakhirnya pada Rabu 17 Agustus 1938. Jenazahnya dikebumikan secara islam. Pada 31 Maret 1956, kerangka jenazah Wage dipindahkan ke makam baru. Dalam masa hayatnya yang kurang dari tiga puluh enam tahun, Wage mengabdikan diri untuk perjuangan nasional mencapai kemerdekaan Tanah Air dan bangsa melalui karya-karyanya.

350