Home Nasional Hari Pahlawan: H.O.S Tjokroaminoto, Sang Guru Bangsa, Raja Jawa Tanpa Mahkota

Hari Pahlawan: H.O.S Tjokroaminoto, Sang Guru Bangsa, Raja Jawa Tanpa Mahkota

Surabaya, Gatra.com – Tjokroaminoto mungkin tak membayangkan rumah kecil di Jl. Peneleh VII di Surabaya itu akan menjadi tempat bermukim tokoh-tokoh besar pelaku sejarah. Salah satunya bahkan memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.

Sebagai induk semang dan guru, ia mungkin bangga bahwa salah satu anak kosnya menjadi Presiden pertama negara ini. Atau mungkin bisa jadi Soekarno lah yang harusnya bangga karena pernah digembleng oleh Tjokroaminoto, Sang Guru Bangsa.

Hampir semua anak kos di rumahnya merupakan “pemberontak” penjajahan Belanda, sebuah sikap yang diwarisi darinya. Meski dididik oleh orang yang sama, anak-anak kosnya lahir menjadi tokoh dengan pemikiran yang berbeda-beda; Soekarno yang nasionalis, Musso yang komunis, dan Kartosoewirjo yang mengusung gagasan negara Islam.

Jiwa pemberontak Tjokro telah tampak sejak usia belia. Ia lahir di Madiun, 16 Agustus 1882 di Desa Bakur dari ayah ningrat R.M. Tjokroamiseno, salah saorang pejabat wedana Kleco, Magetan. Tak putus sampai ayahnya, darah bangsawan itu juga menyambung hingga sang kakek R.M. Mangoensoemo yang merupakan bupati Ponorogo. Garis keturunan Tjokro masih tersambung hingga Kiai Ageng Hasan Besari dari Pondok Pesantren Tegalsari, Ponorogo.

Karena kakek dan kakek moyangnya yang merupakan tokoh besar di Ponorogo tempat kelahiran Tjokro pun menjadi kontroversial. Beberapa menyebut bahwa ia lahir di desa Tegalsari, Ponorogo. Lainnya menyebut ia lahir di Madiun, yang juga menuai perdebatan apakah ia lahir di Desa Bakur atau Bukur.

Meski seorang putra dari golongan darah biru, Tjokro barangkali bisa dibilang tidak biasa. Ia termasuk anak yang terkenal nakal. Salah satu contohnya seperti yang tertulis dalam Museum H.O.S. Tjokroaminoto yang tepat berada di rumahnya dahulu. Dalam tulisan itu menyatakan bahwa ketika bermain kuda-kudaan, seringkali Tjokro memasukkan teman mainnya ke dalam kurungan.

Ruang dalam Museum H.O.S. Tjokroaminoto yang berada di Jl. Peneleh VII Surabaya. (GATRA/Mely)

Dengan tabiat demikian, tak jarang Tjokro harus berpindah-pindah sekolah. Berbekal kecerdasannya, ia dapat menamatkan Sekolah Rakyat. Ia dikirim orang tuanya untuk melanjutkan pendidikan di Opleiding School Voor Inlandsche Ambtenaren (OSVIA), Magelang.

Meski sekolah itu terbuka untuk umum dan merupakan sekolah pendidikan pribumi, sebagian besar siswanya berasal dari golongan ningrat. Jika tidak berdarah biru, sebagaian pelajar di sana merupakan anak saudagar yang mampu membayar biaya sekolah mahal. Bahasa Belanda menjadi bahasa pengantar OSVIA. Pada 1902, Tjokro menamatkan pendidikan di OSVIA setelah lima tahun berada di sana.

Baca Juga: Serial Hari Pahlawan: Wage Rudolf Supratman, Anak Band, Wartawan, dan “Indonesia Raya”

Jiwa pemberontaknya tidak hanya muncul saat bermain. Setelah lulus dari OSVIA, ia bekerja sebagai juru tulis di Kepatihan Ngawi. Ia juga menikah dengan Soeharsikin, anak R.M. Mangoensomo yang merupakan Patih Ponorogo. Namun, pekerjaannya sebagai juru tulis di Kepatihan Ngawi tak berlangsung lama. Selang tiga tahun sejak pertama bekerja, Tjokro memutuskan untuk undur diri pada 1905 lantaran tak suka dengan tradisi birokrasi seperti perintah jongkok dan menyembah.

Sontak tindakan Tjokro membuat geram Mangoensoemo. Terang saja hal itu mengusik mertuanya. Tjokro sudah digadang-gadang akan meraih tempat terhormat dalam kareirnya di Pangreh Praja. Pada September 1907, Tjokro memboyong istrinya ke Surabaya dan tinggal di Jl. Peneleh. Di sana ia bekerja di firma Kooy & Co, sebuah perusahaan dagang menempati bagian administrasi. Di malam hari, ia mengikuti kursus mesin di Burgelijke Avendschool Afdelling Wertuigkundigo.

Jauh berpuluh-puluh kilometer dari Surabaya, H. Samanhoedi, seorang pengusaha batik yang besar dari Kampong Laweyan, menghimpun pengusaha-pengusaha batik di Surakarta untuk mendirikan suatu perkumpulan dengan nama Sarekat Dagang Islam. Hal itu terjadi setelah sebelumnya Samanhoedi diyakinkan oleh R.M. Tirtoadisoerjo.

Menurut informasi yang berada di Museum H.O.S Tjokroaminoto, perkumpulan ini mulanya bertujuan untuk merobohkan monopoli pedagang-pedagang Cina yang menyediakan bahan baku bagi perusahaan batik. Dalam sekejap, Sarekat Dagang Islam Surakarta tumbuh membesar. Anggotanya bertambah tak terbatas pada pangusaha batik, tetapi juga pedang Indonesia dan rakyat pada umumnya.

Setelah itu, perkumpulan Serikat Dagang Islam mendirikan cabang dan salah satunya berada di Surabaya yang dipimpin oleh Tjokroaminoto yang masuk perkumpulan pada Mei 1912. Sejak perkumpulan itu meluas, baik dalam kuantitas dan kualitas anggotanya, kata dagang mulai tidak berarti. Sesuai dengan anggaran dasar yang disahkan dengan akte notaris di Surakarta pada 10 September 1912, kata dagang itu ditinggalkan dan selanjutnya perkumpulan bernama Sarekat Islam (SI).

Sebulan sebelum anggaran dasar itu disahkan, Tjokro atas perintah Samanhoedi menegosiasikan status hukum Sarekat Islam dengan Belanda akibat pembekuan organisasi itu di tingkat lokal Surakarta. Namun, upaya mencabut pembekuan itu ditolak. Berbekal pengalamannya sebagai juru tulis di kepatihan Ngawi, Tjokro pun menyusun anggaran dasar baru Sarekat Islam pada 10 September 1912 yang jauh lebih baik.

Ruang tamu H.O.S. Tjokroaminoto di rumahnya Jl Peneleh VII yang sekarang menjadi museum.  (GATRA/Mely)

Tjokro, dengan anggaran dasar di tangannya, meminta pemerintah Belanda mengesahkannya dan mengakui organisasi ini berlaku nasional. Kembali Belanda menolak dengan catatan bahwa terdapat kemungkinan berdirinya organisasi Sarekat yang bersifat lokal. Sayang, pendirian Sarekat Islam tak terbedung.

Selang empat bulan setelah Tjokro merampungkan anggaran dasar, pada 26 Januari 1913 digelarlah kongres Sarikat Islam pertama di Surabaya yang membagi wilayah organisasi menjadi tiga: Jawa Bara yang meliputi Sumatera, Jawa Tengah yang menaungi Kalimantan, dan Jawa Timur hingga kawasan Timur Indonesia. Semua cabang Sarekat berada di bawah pengawasan pengurus pusat di Surakarta yang diketuai Samanhoedi.

Menurut anggaran dasar yang disusun oleh Tjokro, tujuan Sarekat Islam tidak terbatas pada usaha perdagangan saja, tetapi juga membina dan mengembangkan kehidupan ekonomi, sosial, kultural, dan agama Islam bangsa Indonesia.

Karena pada mulanya SI didirikan dengan tujuan mematahkan perdagangan yang dikuasai oleh orang Cina, maka tidak mengherankan bahwa meluasnya SI yang begitu cepat menimbulkan kekhawatiran di kalangan orang-orang Cina.

Mengutip Arsip Nasional Republik Indonesia, hubungan antara orang-orang Cina dan penduduk pribumi pada saat itu pun menjadi tegang, terutama di kota-kota yang ada cabang SI. Akibat ketegangan, bentrok pun tak terhindarkan di beberapa daerah, di antaranya di Kota Surakarta, Surabaya, Semarang, dan Kudus.

Dalam kongres SI di Solo 25 Maret 1913 Tjokro terpilih menjadi Wakil Ketua Central Sarekat Islam (CSI) mendampingi Samanhoedi. Namun, masa Samanhoedi memimpin SI tidak lebih lama dibanding waktu perintisannya. Malam sebelum kongres di Yogyakarta, 17 April 1914,Samanhoedi mengumumkan niatnya tetap menjadi ketua. Hal itu mendapat celaan dari Dwidjosewojo, orang Boedi Oetomo yang juga anggota SI. “Kalau cinta SI, kenapa tidak menyerahkan kepengurusan kepada generasi muda?” ujar Dwidjosewojo.

Tjokro akhirnya terpilih sebagai ketua CSI dalam kongres pada 19-20 April 1914 di Yogyakarta. Samanhoedi pun harus rela menelan fakta bahwa dirinya harus tergusur dari orang yang ia rekrut sebagai anggota SI beberapa tahun sebeulmnya itu. Dengan kepemimpinan Tjokro sebagai ketua CSI dan Raden Goenawan dari Batavia sebagai wakil ketua, kantor pusat SI pun dipindahkan dari Surakarta ke Surabaya. Kongres di Surabaya pada Juni 1915 hanya mengukuhkan kembali jabatan-jabatan itu.

Saat kongres di Bandung pada 1916, Tjokro dalam pidatonya menegaskan posisi hubungan Indonesia-Belanda ““Tidaklah wajar untuk melihat Indonesia sebagai sapi perahan yang diberi makan hanya disebabkan oleh susunya. Tidaklah pada tempatnya untuk menganggap negeri ini sebagai suatu tempat di mana orang-orang datang dengan maksud mengambil hasilnya, dan pada saat ini tidaklah lagi dapat dipertanggung jawabkan bahwa penduduknya terutama penduduk pribumi, tidak mempunyai hak untuk berpartisipasi di dalam masalah-masalah politik, yang menyangkut nasibnya sendiri,” ujar Tjokro.

Keanggotaan Sarekat Islam semakin luas dan berkembang pesat di seluruh Indonesia. Sarekat Islam aktif melawan penjajah Belanda dengan strategi lewat gerakan Djawa Dwipa. Nama terakhir merupakan pergerakan yang paling solid yang dilakukan Sarekat Islam untuk melakukan penyadaran pergerakan nasional melalui kesenian. Gerakan ini mampu meledakan anggota sarekat islam dalam kurun waktu 1917-1919 dari jumlah 825.000 orang sampai dengan 2.500.000 orang.

Ranjang tidur H.O.S. Tjokroaminoto di museum yang berada di Jl. Peneleh VII Surabaya. (GATRA/Mely)

Pada Februari 1918, Tjokro membentuk tentara Kandjeng Nabi Muhammad. Ia menggerakkan aksi bela Islam sebagai respons atas sebuah tulisan di Majalah yang dianggap menghina Nabi Muhammad. Pada tahun ini pula Tjokro diangkat menjadi anggota dewan rakyat (Volksraad) mewakili CSI.

Pada tahun 1920, basis kekuatan Tjokroaminoto di CSI runtuh. Para pengikutnya beribu-ribu anggota SI, yakni pedagang Arab dan muslim pribumi, hengkang secara teratur, lari menyebrang ke Politik Economische Bond (PEB).

Baca Juga: Bingkisan Bagi Para Pejuang di Hari Pahlawan

Pada Mei, kas CSI benar-benar kosong. Sekitar September, tanpa dihadiri Tjokro karena tuduhan yang menyebabkan beliau ditahan selama 8 bulan, rapat pengurus pusat yang dimotori oleh Soerjopranoto dan Agoes Salim memutuskan memangkas kekuasaan Tjokro.

Tahun 1921, CSI menyelenggarakan kongres di Yogyakarta yang memutuskan bahwa kepercayaan terhadap HOS Tjokroaminoto akhirnya dipulihkan. Di tahun 1921 ini juga, tepatnya bulan Agustus, HOS Tjokroaminoto masuk penjara, lantaran dituduh terlibat kasus “Afdeling B”. Pada tahun ini juga Tjokroaminoto diberikan cobaan bahwa istri tercintanya Soeharsikin akhirnya meninggal dunia.

Setelah berhasil membersihkan SI dari unsur-unsur komunis, nama CSI diubah menjadi Partai Sarekat Islam yang sudah jelas berhaluan politik dalam kongres di Madiun pada 1923. Di sana, Tjokro memusatkan tentang peningkatan pendidikan kader dan penguatan organisasi.

Gelar Haji ia dapatkan setelah pulang dari Makkah sebagai utusan menghadiri Kongres Islam Sedunia Cabang India Timur (Mu’tamar Al-alamul Islami Far’ul Hindish Sharkiyyah, MAIHS). Ia bersama K.H.M. Mansyur bertolak dari Tanjung Priok pada 1926. Dalam kongres itu, Raja Ibnu Sa’ud berpesan pada para delegasi yang tanah airnya belum merdeka agar berupaya dengan gigih memperjuangkan kemerdekaannya. Sejak itulah nama ia menyandang nama Hadji Oemar Said (H.O.S) Tjokroaminoto.

Di masa popularitasnya, Tjokro kerap dipangil sebagai Heru Tjokro, sebuah sebutan yang berasal dari ramalan Jayabaya, Ratu Adil bergelar Prabu Heru Tjokro. Namun, Tjokro menolak disebut sebagai Ratu Adil. “Walaupun hati kita penuh dengan harapan dan hasrat yang agung, kita tidak boleh bermimpi akan datangnya seorang ratu adil atau keadaan-keadaan lain yang mustahil,” ucap Tjokro dalam pidatonya.

Sejak akhir 1933, Tjokro mulai menderita sakit susai mengikuti Kongres di Banjarnegara. Kerabatnya meminta agar Tjokro lebih banyak istirahat dan mengurangi aktivitas. Ide itu tidak digubrisnya hingga pada Desember 1934, akibat kesehatannya yang terus memburuk ia pun menderita lumpuh.

Tjokro wafat pada Senin Kliwon, 10 Ramadan 1353 H yang bertepatan dengan 17 Desember 1934 pada usia 52 tahun. Jenazahnya dimakamkan di Yogyakarta, jauh dari tempat ia menghabiskan hari-harinya bersama Sarekat Islam dan rumahnya di Surabaya. Kita mengenalnya dengan gelar Guru Bangsa. Pada masa lalu, para Belanda menyematkan gelar Raja Jawa Tanpa Mahkota kepada tauladan dan tokoh besar sejarah ini.

756