Home Kesehatan Keluarga Korban Sebut Pemerintah Lambat Tangani Kasus Gagal Ginjal Pada Anak

Keluarga Korban Sebut Pemerintah Lambat Tangani Kasus Gagal Ginjal Pada Anak

Jakarta, Gatra.com - Kasus gagal ginjal akut telah mengakibatkan 195 anak meninggal dunia hingga awal November 2022. Cemaran zat beracun etilen glikol (EG) dan dietilen Glikol (DEG) dalam obat sirup diduga kuat menjadi penyebab kasus ini. Salah seorang ibu korban, Safitri, mengungkapkan kronologis dan perawatan yang diterima anaknya sebelum anaknya dinyatakan meninggal dunia pada Sabtu (15/10) lalu.

"Penyakit ini digambarkan oleh tenaga kesehatan (nakes) seperti orang sehat yang ditabrak mobil. Analoginya seperti itu. Secepat itu waktunya, sesedikit waktu untuk cari tahu dan berusaha menyembuhkan anak kami," katanya dalam acara Media Briefing Korban Gagal Ginjal Akut Menggugat (Class Action) di Jakarta, Jumat (18/11).

Safitri mengungkapkan bahwa anaknya yang berusia 8 tahun mengalami sakit dengan diawali demam tanpa batuk. Pada 23 September, demam pertama dirasakan namun dilakukan penanganan di rumah karena demam belum terlalu tinggi. Pada 24 September, kondisi anak demam tinggi mencapai 40,5 derajat celcius, sehingga dibawa ke dokter dan sudah harus konsumsi obat.

"Anak saya masih demam tapi tidak ada batuk. Obat penurun demam semua sediaan tablet. Setelah konsultasi dan diresepkan obat, akhirnya pulang. Sebelum pulang diinfokan dokter kalau masih demam harus cek lab," jelasnya.

Pada 25 September, demam turun. Namun keesokan harinya, demam kembali dan akhirnya dibawa ke dokter. Akhirnya diputuskan untuk cek lab dan hasilnya trombosit anak turun, tapi selain itu semuanya normal. Karena tidak ada gejala kegawatan, Safitri memutuskan untuk kembali pulang dengan membawa resep obat baru.

"Saya minta diresepkan multivitamin untuk menaikkan trombosit. Tanggal 26 September obat diganti. Biasa pakai sediaan tablet, diganti sediaan sirop paracetamol (yang akhir-akhir ini baru diketahui) dari salah satu produsen yang sedang bermasalah," katanya

Menurut Safitri, saat itu adalah satu-satunya waktu anaknya mengonsumsi obat sediaan sirop. Ketika kembali ke dokter tanggal 27 September, obat yang diresepkan kembali diganti sediaan tablet. Ketika kondisi anak sudah stabil keesokan harinya, pada lusa, demam tinggi kembali dan Safitri memutuskan untuk membawa anaknya ke UGD untuk melakukan cek lab.

Tidak ada gejala khas selama demam berulang yang terjadi. Safitri mengaku bahwa perawatan yang diterima anaknya sebelum diarahkan ke RSCM adalah perawatan seperti pasien demam berdarah sebab trombosit yang terus turun. Namun saat itu, jumlah buang air kecil sudah sedikit dan saat itu merupakan saat terakhir anak buang air kecil.

Selama hampir seminggu dirawat di rumah sakit, anak didiagnosa berbeda-beda. Safitri mencurigai bahwa pada saat itu, kondisi anak sebenarnya sudah terserang semua organnya.

"Seminggu di rumah sakit, kondisi anak memburuk. Penurunan kesadaran dan dari hari kedua sudah tidak pipis sama sekali, sampai dikatakan penurunan fungsi ginjal. Ketika konfirmasi ke RSCM, di situ sudah banyak pasien ginjal dengan kategori unknown origin," ucapnya.

Saat itu, ketika anak dirujuk ke RSCM, dijelaskan bahwa belum ada protokol penanganan penyakit ini. Perawatan yang diberikan sifatnya adalah supporting treatment untuk mengobati kegawatan yang saat itu terjadi di semua organ.

"Tanggal 5 Oktober dijadwalkan cuci darah. Walaupun penurunan kesadaran, tapi anak masih responsif pain, bisa bilang mual, muntah. Hari berikutnya respons kaki masih ada, tiap interval 5 menit masih gerak tapi sudah tidak ada omongan atau apa. Setelah itu, tidak sadar sampai waktu berpulang," ujarnya.

Saat di pertengahan anaknya diirawat di PICU baru ada heboh kabar mulai ada penarikan obat. Menurut Safitri, penanganan lambat pemerintah merupakan hal yang sangat disayangkan.

"Itu sangat lambat. Harusnya jadi pelajaran ketika kasus Gambia bisa langsung menelusuri. Patut diketahui keluarga pasien dari pertama kali masuk IGD sudah menyerahkan semua obat dari rumah sakit sebelumnya, tracing obat. Ketika anak berpulang tanggal 15 Oktober, tanggal 18 Oktober baru ada kabar bahwa ada antidote," katanya.

Menurutnya, pemerintah terlalu lama menangani kasus ini. Lambatnya penanganan terutama dalam menemukan sebab dan mendatangkan pengobatan pada akhirnya membuat ratusan korban anak berjatuhan.

Safitri menerangkan bahwa kasus ini turut menyadarkannya bahwa masih sangat sedikit fasilitas kesehatan yang mampu menangani penyakit ini. Selain itu, kurangnya ahli dalam penyakit ini turut menjadi persoalan dalam penanganan kasus gagal ginjal akut.

94