Home Hukum Kuasa Hukum: Saksi Perkara Indosurya Sebut UU Koperasi Tak Atur Pidana

Kuasa Hukum: Saksi Perkara Indosurya Sebut UU Koperasi Tak Atur Pidana

Jakarta, Gatra.com – Kuasa hukum terdakwa Hendry Surya, Waldus Situmorang, mengatakan, Kepala Bidang Kepatuhan Koperasi Kementerian Koperasi dan UKM, Tri Aditya Putra, menyampaikan, Undang-Undang (UU) Perkoperasian Nomor 25 Tahun 1992 tidak mengatur soal pelanggaran pidana.

Waldus dikonfirmasi pada Sabtu (3/12), menjelaskan, saksi menyampaikan keterangan tersebut dalam persidangan perkara Koperasi Simpan Pinjam (KSP) Indosurya di Pengadilan Negeri Jakarta Barat (PN Jakbar).

Dalam persidangan yang berlangsung pada Jumat pekan ini, lanjut Waldus, tim kuasa hukum menanyakan kepada saksi yang dihadirkan oleh jaksa penuntut umum (JPU), apakah dalam UU Perkoperasian terdapat ketentuan pidana.

“Dijawab bahwa tidak ada sanksi pidana di dalam UU [Perkoperasian] itu. Tetapi yang ada adalah sanksi, mulai dari teguran, pencabutan, penutupan, hingga pembubaran, kira-kira seperti itu,” katanya.

Tim kuasa hukum mengonfirmasi Berita Acara Pemeriksaan (BAP) Nomor 14 Tahun 2021 poin 12, soal sanksi yang diberikan terhadap koperasi jika terjadi persoalan.

Waldus menyampaikan, saksi mengatakan bahwa sesuai UU Perkoperasian, yang ada adalah bersifat administratif, mulai dari teguran, pencabutan izin hingga penutupan atau pembubaran.

“Dengan kata lain, tidak memuat tentang sanksi pidana. Jadi lebih bersifat sanksi administratif. Itu yang muncul di persidangan seperti itu,” katanya.

Selain itu, kata Waldus, pihaknya juga menanyakan apakah saksi pernah melaporkan koperasi atas dugan melakukan tindak pidana terhadap kopersi yang bermasalah, termasuk Indosurya. Saksi menyampaikan, tidak pernah. “Yang pasti sanksi administratif,” ujarnya.

Waldus mengatakan bahwa perkara Indosurya ini telah memasuki penyelesaian melalui ranah perdata dengan adanya putusan PKPU dari pengadilan dan putusan tersebut tengah berjalan.

“Dilakukan pencicilan terhadap mereka-mereka kreditur sebagai pemegang piutang tetap. Kemudian ada opsi lain untuk mempercepat, dilakukan juga penyelesaian lewat settlement,” katanya.

Menurutnya, kalau memilih aset, maka aset tersebut akan diperhitungkan berapa nilainya dan berapa jumlah piutangnya. Jika belum sebanding, maka ditambah atau sebaliknya.

“Proses melalui settlement itu sudah mencapai Rp2 triliun. Artinya, bahwa proses perdata sesungguhnya sedang berjalan,” ujarnya.

Sedangkan saat ditanya apakah keterangan saksi tersebut merontokkan dakwaan JPU, Waldus menyampaikan, tentunya saksi menyampaikan keterangan sesuai dengan norma UU Perkoperasian.

“Bahwa normanya tidak ada [ketentuan pidana], yang ada sanksi administrasi sampai puncaknya adalah penutupan atau pembubaran,” katanya.

126