
Jakarta,Gatra.com-Pro dan kontra terkait keberadaan program lumbung pangan atau biasa disebut ‘food estate’ masih tetap berlanjut. Disaat sejumlah proyek diketahui tidak berjalan, narasi-narasi terkait food estate masih tetap digaungkan pemerintah.
Misalnya, ketika Menteri Pertahanan Prabowo Subianto mengatakan singkong sebagai salah satu komoditas unggulan program food estate di Forum Pangan G20 lalu. Disebutkan, singkong merupakan komoditas pangan yang bisa menjadi solusi kerawanan pangan dunia imbas perang Ukraina dan Rusia. Singkong memang menjadi salah satu komoditas utama yang ditanam di berbagai proyek food estate.
Prabowo saat itu bahkan mengklaim food estate berhasil memproduksi singkong sebanyak 23 ton per hektar. beragam produk olahan singkong pun dipamerkan. Mulai dari tepung, pasta, mi instan, hingga minuman boba.
“Narasi-narasi terkait food estate ini terus berkembang. Ketika pandemi, program ini dikaitkan dengan ketahanan pangan akibat pandemi COVID-19. Sekarang, narasi ini didorong lagi dengan alasan prediksi krisis iklim. Padahal, program ini harus dikaji ulang karena banyak temuan di lapangan yang menunjukkan kegagalan,” tutur Iola Abas, Koordinator Nasional Pantau Gambut.
Padahal sebelumnya, sejumlah indikasi kegagalan program ini mulai muncul. Pada Juli lalu Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) mengkritik proyek ketahanan lumbung pangan nasional food estate. Di Kalimantan memang proyek food estate diterapkan pada sejumlah lahan gambut.
Deputi Bidang Perencanaan dan Evaluasi BRGM Satyawan Pubdyatmoko menilai biaya produksi untuk program food estate di lahan gambut terbilang mahal, tapi keuntungan sedikit.
“Ya, sebenarnya marginnya kecil,” katanya di Kantor BRGM, Jakarta Pusat, Selasa (19/7).
Hal itu diketahui dari kegiatan proyek percontohan BRGM di Desa Talio Hulu, Kalimantan Tengah. Hasil panen proyek food estate di lahan gambut lebih sedikit dibanding di lahan mineral. Pada proyek percontohan itu BRGM melibatkan para ilmuwan, serta melakukan pembinaan pada warga setempat.
Padahal sejumlah pihak, utamanya para pakar bidang pangan menilai food estate tidak hanya sebagai kebijakan yang gagal, namun juga merusak ekosistem karena pembukaan lahan. Di tingkat masyarakat, aktivitas pembukaan lahan untuk food estate bahkan memantik persoalan sosial budaya. Mulai dari hilangnya hak atas tanah milik masyarakat, hingga hilangnya sumber mata pencaharian masyarakat. Lalu dengan fakta-fakta tersebut, Lola mengaku ragu. Sebenarnya siapa yang diuntungkan dan untuk siapa upaya ketahanan pangan itu diperjuangkan?
Serupa Program Orde Baru
Direktur Eksekutif Nasional WALHI, Zenzi Suhadi mengingatkan kembali program food estate serupa dengan program pada masa Orde Baru yang sempat diperkirakan dapat menjadi penyangga ketahanan pangan nasional, juga berujung pada kegagalan.
Food estate justru membuat ketahanan pangan menjadi rentan. Jika hanya ada satu wilayah yang memproduksi satu jenis komoditas dengan jumlah yang besar, maka akan mempengaruhi suplai dan harga produk pangan petani di banyak tempat lainnya.
Belum lagi dalam pelaksanaannya, food estate sangat bergantung terhadap pengendalian hama dan pupuk yang bersifat kimia yang juga mencemari lingkungan. Zenzi berargumen, negara kepulauan seperti Indonesia seharusnya menerapkan sistem desentralisasi untuk pangan dengan memperkuat penyediaan pangan di setiap daerah, bukan dengan strategi lumbung pangan yang terpusat.
Dengan demikian, apabila terdapat satu daerah yang mengalami kerentanan pangan, maka daerah lainnya bisa mendukung penyediaan pangan dengan menerapkan suplai silang.
“Pemerintah harus berhenti menerapkan program food estate. Kita seharusnya belajar dengan kesalahan dari Presiden Soeharto dengan pengadaan program pencetakan sawah seluas satu juta hektare. Jika Indonesia ingin berdaulat pangan, maka kenali setiap keunikan pangan rakyat dan keanekaragaman alamnya,” lanjut Zenzi.
Fokus Pada Akses, Bukan Produksi
Sementara menurut dosen dan peneliti di Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati, Institut Teknologi Bandung (ITB), Angga Dwiartama menilai, masalah ketahanan pangan di Indonesia sering kali berkaitan dengan akses terhadap pangan, bukan produksinya.
Produksi secara masif di satu lokasi tidak bisa menjadi solusi. Perlu ada peninjauan kembali bagaimana masyarakat mampu memiliki kedaulatan untuk bisa memproduksi dan mengatur sistem pangannya mereka sendiri, tanpa diintervensi oleh ekonomi pasar yang lebih luas.
“Program food estate justru akan melokalisir produksi pangan di satu tempat, yang kemudian akan membawa masalah pada proses distribusinya ke tempat lain. Jika akses terhadap pangan terbatas, maka harga akan melambung tinggi,” jelasnya.
Dampaknya, daya beli masyarakat pun menurun. Imbasnya masyarakat terjebak dalam kondisi kerawanan pangan. Kehadiran food Estate, bagi Angga justru berpotensi memperbesar terjadinya krisis pangan. Penanaman singkong pada megaproyek food estate atau lumbung pangan yang sudah sejak 2021 dilaksakan diatas 300 hektare di Desa Tewai Baru, Kalimantan Tengah justru gagal.
Karakteristik tanahnya berpasir sehingga kurang memadai untuk mendukung upaya bercocok tanam. Panen juga tidak sesuai harapan warga, karena ukurannya lebih kecil. Umbi Sngkong juga berasa pahit, karena ada indikasi tercemar sianida yang tinggi dan berbahaya bagi manusia.
“Penanaman singkong butuh melihat kesesuaian dengan ekosistem lokalnya. Di beberapa tempat, singkong dapat tumbuh subur. Tetapi jika tidak bisa tumbuh dengan baik, maka seharusnya tidak dipaksakan untuk tetap ditanam,” katanya.
Untuk itu, ia merasa kita tidak bisa menyelesaikan masalah ketahanan pangan dengan produksi menyeluruh untuk kebutuhan global. karena baginya setiap ekosistem dan masyarakat lokal memiliki kompatibilitas dengan jenis pangan tertentu.
Keterbukaan Data
Di samping lahan yang tidak sesuai, Iola kemudian juga menyoroti keterbukaan data mengenai lokasi dan luasan area food estate yang tidak transparan ke public. Baik dari Kementerian Pertahanan, Kementerian Pertanian, maupun Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Food estate kali ini diperkirakan masih akan berdiri di atas satu juta hektare lahan eks Pengembangan Lahan Gambut (PLG) 1995 di Kalimantan Tengah.
“Dari keseluruhan wilayah tersebut, 64% atau sekitar 883.000 hektare merupakan area Fungsi Ekosistem Gambut (FEG) yang berstatus lindung. Apabila wilayah ini dibuka dengan mengabaikan karakteristik dan tata Kelola lahan yang berkelanjutan, maka akan mengakibatkan kebakaran hutan, banjir, membuat tanah dan air di sekitarnya tercemar, serta melepaskan emisi karbon yang sangat besar,” kata Iola.
Iola menyoroti kemerosotan angka tutupan hutan di lokasi food estate. Tutupan pohon seluas lebih dari 3.700 hektare dilaporkan hilang di Kabupaten Pisau, Kabupaten Kapuas, dan Kabupaten Gunung Mas di Provinsi Kalimantan Tengah selama periode Januari 2020 hingga Maret Tiga kabupaten di Provinsi Kalimantan Tengah 20224 .
“Pemerintah berusaha mengatasi krisis pangan dengan pembukaan lahan demi program food estate, yang notabene akan menyebabkan krisis iklim seiring dengan peningkatan angka deforestasi. Konsekuensinya, krisis iklim justru akan membuat krisis pangan semakin menjadijadi,” tutupnya.