Home Hukum Komisioner Komjak Jelaskan 9 Tindak Pidana Kekerasan Seksual UU TPKS

Komisioner Komjak Jelaskan 9 Tindak Pidana Kekerasan Seksual UU TPKS

Jakarta, Gatra.com – Komisioner Komisi Kejaksaan (Komjak), Apong Herlina, mengatakan, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) secara spesifik hanya mengatur 9 jenis kekerasan seksual dan unsur-unsurnya.

“Secara keseluruhan yang ada di UU TPKS itu ada 9 [jenis TPKS], tapi yang lainnya ada di berbagai peraturan perundang-undangan di KUHP, UU Pornografi, UU TPPO, dan lain-lain. Ini definisinya dijadikan kesatuan di UU TPKS,” katanya dalam seminar nasionar bertajuk “Proteksi Diri dari Predator Seksual“ gelaran Peradi dan Universitas Kristen Indonesia (UKI) Jakarta secara hybrid pada Kamis (26/1).

Baca Juga: Ini Ketentuan Pidana yang Diatur UU TPKS

Ia menjelaskan, kesembilan jenis tindak pidana kekerasan seksual tersebut diatur dalam Pasal 4 Ayat (1) UU TPKS, yakni:

1. Pelecehan seksual nonfisik
2. Pelecehan seksual fisik
3. Pemaksaan kontrasepsi
4. Pemaksaan sterilisasi
5. Pemaksaan perkawinan
6. Penyiksaan seksual
7. Eksploitasi seksual
8. Perbudakan seksual
9. Kekerasan seksual berbasis elektronik.

Ia menjelaskan, pelecehan seksual nonfisik merupakan delik aduan. Artinya, hanya korban yang bisa melaporkan dugaan tindak pidana yang dialaminya dan bisa mencabut laporannya.

Sedangkan pelecehan seksual fisik, pelaporannya ada delik aduan dan delik umum. Perbuatan yang masuk delik aduan, misalnya pegang-pegang. Korbannya bisa melaporkan dan tidak melaporkan.

“Pelecehan fisik dan nonfisik, kalau korbannya anak atau disabilitas, maka ini bukan delik aduan, tetapi delik umum,” katanya dalam acara yang dipandu oleh Elly Wati Suzanna Saragih, Sekretaris Bidang Perlindungan Perempuan Anak, dan Disabilitas DPN Peradi ini.

Ia mencontohkan, jika ada anak atau disabilitas mengalami pelecehan seksual baik secara fisik dan nonfisik, ini bisa langsung dilaporkan. “Kalau korbannya orang dewasa, ya tergantung korbannya kalau itu kasus pelecehan seksual nonfisik,” katanya.

Sedangkan untuk pemaksaan perkawinan, Apong mencontohkan ada satu kasus perkosaan. Pelakunya ingin berdamai dan menyatakan siap dinikahkan dengan korban. Sementara korbannya tidak mau.

“Ini tidak bisa dilakukan, ini termasuk dalam pemaksaan perkawinan. Apalagi itu kalau korbannya anak, ini tidak bisa,” ujarnya.

Ketua Umum (Ketum) DPN Peradi, Otto Hasibuan, mengatakan, dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) banyak hal yang harus disosialisasikan.

Menurutnya, berbagai persoalan kekerasan sesksual bukan hanya terjadi pada akhir-akhir ini, tetapi juga sudah terjadi sejak zaman dahulu sehingga sangat penting dibahas, terutama pasca-lahirnya UU TPKS.

“Saya hanya ingin menyampaikan bahwa memang persoalan ini sangat penting untuk kita bicarakan, termasuk ekses berlakunya UU itu,” katanya.

Baca Juga: DPR Sahkan UU TPKS, Diharapkan Selesaikan Kasus Kekerasan Seksual

Dalam menangani kekerasan seksual, lanjut Otto, harus memperhatikan korban. Menurutnya, anggapan bahwa negara tidak perlu mencampuri penyelesaian persoalan kekerasan seksual karena harus diselesaikan antarindiviru adalah keliru karena UUD menyatakan melindungi hak asasi manusia.

“Hak asasi manusia harus diprotesksi oleh negara dan negara harus hadir, sehingga seminar ini sangat penting sekali,” katanya ketika membuka seminar. Ia menyampaikan terima kasih kepada UKI dan seluruh pihak yang terlibat.

352