Home Info Sawit Mengorek Rasa di Seribu Rasa

Mengorek Rasa di Seribu Rasa

Jakarta, Gatra.com - Restoran Seribu Rasa di kawasan Menteng Jakarta Pusat itu menjadi tempat dua kelompok beda negara itu mengorek perasaan masing-masing tentang kelapa sawit kemarin siang.

Kelompok pertama; Head of Swiss Economic Cooperation and Development (SECO), Philipp Orga dan Program Manager Trade Promotion Unit, SECO Bern, Martina Locher.

Keduanya adalah orang-orang dari Kedutaan Besar Swiss di Indonesia yang sedang mengamati dampak Undang-Undang Uji Tuntas Uni Eropa (European Union Due Diligence Regulation) yang lahir pada awal Desember tahun lalu, terhadap petani sawit Indonesia

Swiss SECO sendiri adalah salah satu lembaga pemerintah Swiss untuk kebijakan ekonomi dan kerja sama pembangunan ekonomi.

Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (DPP-Apkasindo), Dr. Gulat ME Manurung, MP.,C.IMA, Bidang Hubungan Internasional DPP Apkasindo, Djono A Burhan, S.Kom.,M.Mgt (IntBus), CC,CL, Dr. Fadhil Hasan dan Sumarjono Saragih (GAPKI) menjadi kelompok kedua.

"Jadi, apa yang bisa kami (Pemerintah Swiss) lakukan untuk petani kelapa sawit Indonesia?," Martina menatap lekat wajah Gulat yang kebetulan duduk di sebelah kanannya.

Sedari tadi perempuan ini sudah penasaran dengan apa yang diceritakan Gulat dan Jono kepada dia dan koleganya Philipp. Sekalipun dia belum pernah menengok pohon kelapa sawit.

"Pertama, Swiss bantu pembiayaan lahan petani sawit yang tidak diklaim dalam kawasan hutan untuk disertifikatkan. Kedua, bikin pertemuan perusahaan pemakai minyak sawit di Swiss dengan petani sawit Indonesia. Biar bisa terjalin kesepakatan B2B (Business-to-Business). Kalau sudah kayak begini, akan semakin jelas konsep ketertelusuran minyak sawit itu," gamblang Gulat menjawab pertanyaan Martina itu dan perempuan itu pun mengangguk.

Panjang sudah obrolan dua kelompok ini yang diselingi makan siang itu. Mula-mula Martina menanyakan persepsi petani sawit Indonesia tentang keberlanjutan aturan main terbaru yang dibikin Uni Eropa.

Baca juga: Sudah B35, PTPN Pemilik Pertama Pabrik Biodiesel itu Kemana?

Sebetulnya kata Gulat, petani sawit kaget bercampur heran dengan regulasi itu. Soalnya dari tahun ke tahun Uni Eropa justru semakin banyak mengimpor minyak sawit dari Indonesia.

Apa yang dibilang Gulat itu sama dengan hasil penelitian Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute (PASPI) yang menyebut bahwa sejak tahun 2000 Uni Eropa makin gencar mengimpor minyak sawit.

Peningkatan itu nampak pada rentang waktu 2010-2021. Impor yang tadinya masih di angka 4,7 juta ton melejit menjadi 6,7 juta ton.

Itu terjadi lantaran masyarakat Uni Eropa sudah lebih tertarik mengkonsumsi minyak sawit ketimbang minyak nabati asal Uni Eropa sendiri; rapeseed

"Walau kaget, tapi itu tadi, Pemerintah Indonesia sudah lebih dahulu melakukan antisipasi. Ekspor diperketat dan serapan domestik digenjot melalui program B35," tenang Gulat menjawab.

Cara-cara yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia itu kata Gulat untuk melindungi petani sawit juga dari ancaman resesi global.

Sebagai produsen minyak sawit terbesar dunia, Indonesia butuh pasar Uni Eropa. Tapi bukan berarti lantaran butuh, Indonesia gampang diatur-atur.

"Dan bagi kami, kebijakan Uni Eropa itu dominan politik dagang. Kami petani sawit menjadi salah satu incaran kebijakan itu," omongan Gulat terdengar tegas.

Entah lantaran tak enak hati mendengar omongan Gulat, Martina sontak bilang begini; "Kami enggak ikut bersepakat dalam perencanaan peraturan itu dan kami (Swiss) tidak menjadi bagian dari itu,” Menengok reaksi Martina itu, Gulat hanya tersenyum.

Di sisi lain, Martina nampak penasaran dengan informasi yang bilang kalau petani kebagian insentif untuk mendapatkan sertifikasi ISPO.

"Dari mulai lahir tahun 2020 lalu, kepada petani, ISPO itu dijadikan mandatory. Padahal sejak Perpres ISPO itu dibahas, saya sudah bilang kalau posisi petani sebaiknya tetap voluntary (sukarela). Soalnya masih banyak kendala petani yang musti diberesi pemerintah," sesal Gulat.

Apa yang disesalkan Gulat itu rupanya terbukti. Sampai April tahun lalu, kebun petani sawit yang sudah mengantongi sertifikasi ISPO masih hanya 22.036,1 hektar. Angka ini sama dengan 0,32 % dari total 6,87 juta hektar luas kebun kelapa sawit rakyat. Sementara mandatory itu mulai berlaku 2025.

Terkait ISPO ini, ada tiga kendala utama petani sawit menurut Gulat. Pertama; sedikitnya, ada 2,176 juta hektar lahan petani sawit berada pada klaim Kawasan hutan. Sementara untuk mendapatkan ISPO, lahan tidak boleh pada kawasan hutan.

Kedua; dari total luas lahan kebun sawit rakyat tadi, paling banyak baru 10% yang sudah bersertifikat hak milik. Sementara syarat mendapatkan ISPO lahan harus bersertifikat.

Ketiga; petani baru boleh dapat sertifikat ISPO kalau mereka masuk dalam kelembagaan petani. Sementara luas kebun petani yang sudah berkelompok paling banyak hanya 15 %. "Jujur, kami sangat ingin mengikuti arahan pemerintah. Tapi, itulah kendala kami," ujar Gulat.

"Yakin nggak petani bisa dapat ISPO itu?" giliran Philipp yang menyela.

"Kalau masalah yang diurai oleh Ketua Umum saya ini tuntas, petani sawit pasti segera mendapatkan sertifikasi ISPO itu," Djono menjawab.

"Terus, gimana persepsi petani soal pemakaian pupuk organik?" Martina kembali bertanya.

"Petani sawit sangat familiar dengan pupuk organik lantaran petani sawit sangat berkomitmen terhadap keberlanjutan lingkungan. Ini sudah dibuktikan melalui ragam hasil riset,” ujar Gulat.

"Gini saja. Saya minta SECO ikut jugalah membantu menjelaskan kepada masyarakat Swiss tentang betapa pentingnya usaha perkebunan sawit bagi ekonomi petani dan petani sawit adalah bagian penting dalam pelestarian lingkungan melalui kearifan lokal yang ada," pinta Djono

Sebab menurut Djono, selama ini petani sawit tidak sekadar menanam sawit, tapi juga menjalankan aneka ragam usaha lain; beternak sapi, kambing dan memelihara tanaman lain di sekitar kebunnya.

"Perlakuan ini sangat sesuai dengan keinginan untuk menjaga keseimbangan lingkungan itu. Itulah makanya saya bilang, petani sawit telah menjadi bagian dari reforestasi itu," tambahnya.

Diam-diam Martina nampak tersenyum menengok Djono yang ngomongnya bersemangat itu. "Jadi sangat tertarik saya segera berkunjung ke kebun petani. Soalnya saya juga belum pernah melihat pohon sawit," Martina tersipu.

Mendengar omongan Martina itu, Djono makin bersemangat. "Ayo, kami akan antar ke kebun sawit milik anggota Apkasindo. Kebetulan petani kami tersebar di 164 kabupaten kota dari 22 provinsi perwakilan Apkasindo," katanya.

Terakhir, ada satu pertanyaan Philipp yang cukup serius, tentang persepsi petani terhadap UUCK yang dikenal juga bernama Omnibus Law itu.

"Sebenarnya Omnibus Law itu sangat luar biasa. Tapi teramat rumit syarat yang dibikin Omnibus Law itu kepada petani. Belum lagi belakangan sekelompok NGO memunculkan istilah Jangka Benah. Apa yang mau dibenahkan? Tahu nggak mereka kalau lahan terdegredasi itu sesungguhnya sudah dihijaukan oleh petani sawit?" ujar Djono

"Mestinya Omnibus Law itu otomatis memperjelas lahan petani yang diklaim dalam kawasan hutan. Tapi faktanya masih saja harus berbelit-belit. Kelihatan sekali enggak ikhlas kami petani ini melanjutkan usaha kami dengan kepastian kepemilikan lahan," tambahnya.

Menengok Djono yang masih tetap bersemangat itu, Gulat tersenyum," Gini, saya mewakili petani Apkasindo dari Sabang sampai Merauke mengucapkan terimakasih atas undangan ini. Tolong sampaikan rasa terimakasih kami kepada masyarakat Swiss yang telah tetap memilih impor sawit pada referendum dua tahun lalu. Ini sangat berarti bagi kai. Dan kami akan mencatat itu sebagai sejarah meski masyarakat Swiss pada umumnya belum pernah menengok pohon sawit, tapi mereka sudah mengedepankan logika," ujar Gulat sambil menjabat tangan Martina dan juga Philipp.


Abdul Aziz

124