Home Gaya Hidup “Pressure and Pleasure”, Prespektif 6 Penulis Beken dari Karya Perupa Agus Suwage

“Pressure and Pleasure”, Prespektif 6 Penulis Beken dari Karya Perupa Agus Suwage

Jakarta, Gatra.com – Seniman Agus Suwage meluncurkan buku Pressure and Pleasure. Ini merupakan interpretasi dari 6 penulis ternama lintas generasi di Tanah Air terhadap karya-karya Agus yang dipamerkan dalam Agus Suwage: The Theater of Me.

“Saya sering merasa bosan kalau hanya dari sudut pandang seni rupa saja, saya pengin seni lebih luas dari itu. Saya senang karena satu kesegaran, cara penambahan yang baru, saya suka pendekatan yang tidak konvensional,” ucapnya dalam Book Talk di Jakarta, akhir pekan ini.

Perupa kelahiran 14 April 1959 tersebut menjelaskan, biasanya kerap terinspiransi membuat karya seni rupa dari karya orang lain. Kini, ia ingin menginspirasi seniman di luar perupa untuk menghasilkan karya.

Baca Juga: Pressure and Pleasure, Enam Penulis Merespons Karya Agus Suwage

Biasanya, Agus Suwage kerap mendapatkan inspirasi dari lagu. Kemudian, ia menerjemahkan dan mengekspresikannya dalam seni rupa yang merupakan bidang spesialisasinya. “Saya pengin ada semacam timbal balik,” ungkapnya.

Suwage menjelaskan, tidak terlibat dalam pemilihan para penulis yang akan mengadaptasi karya-karya yang dipamerkan ke dalam bentuk sastra. Adapun penulis yang terpilih untuk menggarapnya sebanyak 6 orang, yakni Erni Aladjai, Eka Kurniawan, Goenawan Muhamad, Laksmi Pamuntjak, Mahfud Ikhwan, dan Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie.

Begitupun untuk penentuan karya-karya seni pada pameran Agus Suwage: The Teather of Me yang akan dibahas dan disajikan ke dalam karya sastra oleh para penulis tersebut. Ada sekitar 82 karya seni yang dipamerkan dalam pameran tersebut.

“Ini kuratornya Museum Macan. Mereka yang mengontak penulis, saya tidak ikut campur,” ungkapnya.

Suwage menyampaikan, para penulis tersebut mayoritas terlebih dahulu dipicu oleh judul karya seninya yang dipamerkan tesebut. Kemudian, mereka mengolahnya sesuai misi yang akan dicapai.

“Itu persis kaya praktik saya sebelumnya, kalau saya melukis, dari judul saya merambah ke mana-mana,” ucapnya.

Ia mencontohkan, dari satu judul lagu, kemudian mendengarkan lagunya atau lagu itu menyertai waktu poses pembuatan seni lukis. Hasilnya bisa berbeda dengan pesan yang ingin disampaikan oleh lagu tersebut. Demikian juga dari karya seninya yang diinterpretasi oleh para penulis.

“Saya justru seneng ada pengembangan dan tidak hanya penafsiran tunggal. Itu justru saya bersyukur dan gembira karena tujuan atau concern saya melukis, saya tidak perlu semacam satu atau keniscayaan yang absolut, saya tidak pernah mau ke situ,” ujarnya.

Menurut Suwage, tujuannya membuat karya seni bukan untuk mendapatkan interpretasi yang sama dari orang lain atau penafsiran absolut tunggal, tetapi orang lain bisa membuat prospektif baru. “Tafsir tunggal buat saya sangat mustahil. Tidak menjadi soal [melahirkan prospektif lain], bahkan menjadi sangat gembira,” tandasnya.

Seniman seni rupa Agus Suwage bersama para narasumber diskusi buku Pressure and Pleasure di Jakarta pada akhir pekan ini. (GATRA/Iwan Sutiawan)

Ia menjelaskan, buku Pressure and Pleasure ini merupakan prospektif atau pendekatan baru yang diinspirasi dari karya-karya seni rupanya. “Seni rupa itu satu bagian dari kesenian yang lain dan berhungan satu sama lain,” ucapnya.

Head of Exibition Museum Macan, Dian Ina, menjelaskan, pihaknya menggandeng Agus Wage untuk bekerja sama karena merupakan salah satu seniman ternama dan sempat mewarnai sastra Indonesia. Sebagian karyanya dijadikan sampul untuk buku-buku penting, misalnya novel Saman.

“Mas, gimana kalau misalnya kita bikin bukunya, itu bukan seperti katalog yang biasa, tapi kita mengundang penulis-penulis Indonesia untuk merespons karyanya dari Mas Wage,” Ina menuturkan proses awal proyek buku tersebut.

Sedangkan untuk pemilihan penulis, Ina menjelaskan, awalnya mempunyai sekitar 15–16 kandidat. Wage menginginkan agar para penulisnya berasal dari lintas generasi, mulai dari yang termuda hingga yang paling senior. “Mereka yang bersedia itu adalah 6 ini,” ucapnya.

Pihaknya memberikan kebebasan kepada penulis untuk menuangkan karyanya dalam berbagai bentuk tulisan, baik fiksi, esai, dan lainnya. Ini cukup menarik karena para penulis memilih bentuk tulisan di luar pakemnya.

“Goenawan Muhamad yang biasanya menulis esai, kali ini menulis fiksi. Mas Eka yang kita kenal dengan fiksinya, justru menulis esai. Mba Laksmi memutuskan membuat wawancara imajiner antara Carpotera, anaknya Mas Wage dengan Mas Wage sendiri,” katanya.

Ina menjelaskan, Pressure and Pleasure merupakan sebuah buku antologi kontemporer yang terinspirasi dari pameran Agus Suwage: The Theater of Me. Keenam penulis mendapatkan inspirasi untuk membuat sebuah karya literatur dari karya-karya seni tersebut.

“Antologi ini mengeksplorasi pengaruh generasi perupa dan pemikir kritis pada masanya terhadap karya dan ide sang perupa,” katanya.

Adapun Eka dan Ziggy mengaku belum pernah membuat karya sastra yang terinspirasi atau adaptasi dari karya seni rupa, sehinga ini merupakan karya perdana mereka.

“Seingat saya belum pernah nulis base on dari tulisan atau seni rupa meskipun saya suka lihat lukisan suka ke pameran,” kata Eka.

Baca Juga: Museum MACAN akan Gelar Pameran Tunggal Chiharu Shiota

Ziggy menambahkan, ini tawaran yang sangat menantang. Pasalnya, ia hanya diberikan tenggat waktu selama sebulan untuk menulis cerpen yang bukan merupakan keahliannya.

“Memberikan waktu satu bulan untuk menulis cerpen itu tidak realistis. Realistinya meminta aku satu bulan menulis novel karena itu mediumku. Cerpen ini sangat susah untuk dibuat. Jadi harus lebih lama,” ucapnya.

Ziggy mengaku harus bekerja ekstra keras untuk merampungkan tulisan sesuai tenggat waktu. “Saya ngitung hari, jadi pas 30 hari saya kirim ke Mba Ina. Saya juga ngitung jumlah kata, jadi kayaknya pas 3000 ribu. Saya anaknya rajin, jadi patuh,” seloroh dia.

130