Home Hukum Sidang Jual-Beli Narkoba Teddy Minahasa, Dua Ahli Hukum Sampaikan Ini

Sidang Jual-Beli Narkoba Teddy Minahasa, Dua Ahli Hukum Sampaikan Ini

Jakarta, Gatra.Com – Tim Kuasa Hukum mantan Kapolda Sumatera Barat, Teddy Minahasa, menghadirkan dua saksi ahli hukum pidana dari Universitas Andalas (Unand) Padang dan Universitas Pelita Harapan (UPH). Dua saksi tersebut, yakni Elwi Danil selaku Guru Besar Hukum Pidana Unand dan Jamin Ginting selaku dosen Fakultas Hukum UPH.

Ketua Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Barat, Jon Sarman, bertanya soal pendapat Elwi Danil mengenai perintah atasan kepada bawahan dengan ilustrasi mengganti barang bukti sabu-sabu yang akan dimusnahkan dengan tawas.

Baca Juga: Kuasa Hukum Dody: Keterangan Ahli BNN Perkuat Dugaan Teddy Minahasa Bandar Sabu

"Ada perintah dari atasan ke bawahan, semisal kapolda ke kapolres, pembicaraannya ganti sebagian dengan tawas [sebagai contoh kasus], terus juga bonus bagi anggota. Itu perintahnya dalam rangka mengganti barang bukti, apa itu memenuhi unsur Pasal 55 KUHP?" kata Jon Sarman di Pengadilan Negeri Jakarta Barat, Senin (13/3).

Menanggapi pertanyaan tersebut, Elwi menyatakan bahwa perintah atasan kepada bawahan termasuk tindak pidana sebagaimana Pasal 114 atau 112 Undang-Undang Narkotika.

Lebih lanjut, berdasarkan ilustrasi tersebut, ada kemungkinan orang yang menyuruh membuat orang yang disuruh melakukannya karena adanya perintah berdasarkan jabatan. Baginya, pelaksanaan itu berasal dari perintah jabatan yang sah, tetapi tidak semua perintah dapat dilaksanakan oleh bawahan.

"Bawahan itu terikat pada ketentuan-ketentuan peraturan internal yang disebutkan sebagaimana diatur dalam Perkab Nomor 14 Tahun 2011, kemudian diperbarui dengan Perpol No. 7/2022 bahwa seorang bawahan wajib menolak perintah atasannya apabila perintah tersebut melanggar norma hukum, kesusilaan, dan agama," ujar Elwi.

Ia pun menjelaskan bahwa ketika bawahan menolak perintah atasananya, harus ada laporan kepada atasan yang lebih tinggi dari atasan yang memberikan perintah agar dapat perlindungan secara hukum. Jika tetap diperintahkan dan dilaksanakan, maka atasan tersebut melakukan tindak pidana, dalam arti melanggar kewenangannya.

"Izin saya lihat Pasal 55 Ayat (1) ke-2 itu, dipidana sebagai pelaku tindak pidana mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu kemudian dengan menyalahgunakan kekuasaan dan martabat. Nah, dalam kasus Yang Mulia kemukakan tadi, menurut saya, di situ ada menyalahgunakan kekuasaan. Disalahgunakan untuk memerintakan anak buahnya untuk melakukan sesuatu seperti yang dia kehendaki," imbuhnya.

Hakim Jon Sarma kembali menanyakan soal pelaku yang menyuruh tersebut apakah melakukan penyalahgunaan wewenang seperti yang tertuang dalam Pasal 114 atau 112 UU Narkotika.

"Apakah bisa digolongkan dia sebagai pelaku yang menyuruh, menggerakan sebagaimana maksud Pasal 114 atau 112 itu tadi?" ucapnya.

Elwi menerangkan, jika melihat konstruksi dari Pasal 55 Ayat (1) ke-2, kedua orangnya merupakan pelaku. Oleh karena itu, dia menyatakan penyuruh dan tersuruh masuk ke dalam Pasal 114 atau 112 UU Narkotika.

Sementara itu, saksi ahli hukum pidana Jamin Ginting mengatakan bahwa dakwaan Teddy Minahasa batal demi hukum lantaran dua alat bukti, yakni baik percakapan WhatsApp atau keterangan saksi tidak sah.

Mulanya, kuasa hukum Teddy Minahasa, Hotman Paris Hutapea, menampilkan satu contoh terkait tangkapan layar percakapan WhatsApp yang difoto menggunakan gawai lain.

"Kalau dua handphone disatukan, hanya difoto begini. Di-screenshoot, itupun hanya satu chat, dipenggal-penggal chat lain untuk yang ditanyakan dalam BAP, 'Apakah Anda pernah melihat chat ini?' itu tok, dan itupun bukan hasil digital forensik. Artinya, [bukti chat tersebut] tidak sesuai dengan Undang-Undang. Apakah bukti seperti ini yang hanya screenshoot, sesuai enggak dengan UU ITE dan oleh karenanya, sah atau tidak?" kata Hotman Paris kepada Jamin.

Jamin Ginting kemudian menjawab sesuai dengan ketentuan dan Undang-Undang ITE. "Ya, kami kembali lagi mengenai kualitas alat bukti yang tidak pernah diatur dalam KUHAP, di mana diatur tata cara alat bukti tadi menjadi suatu alat bukti yang sah, diaturnya perluasan alat bukti di ITE," ujar Jamin.

"Kalau ITE menginginkan tata cara itu dilakukan supaya menjadi perluasan alat bukti yang sah, maka harus mengikuti ketentuan ITE tersebut,"  Jamin melanjutkan.

"Dengan demikian, keterangan saksi yang di-BAP, saksi fakta, yang berasal dari bukti screenshoot tidak sesuai undang-undang ITE, apa akibatnya terhadap keterangan saksi tersebut?" ucap Hotman kepada Jamin.

"Ya, semuanya itu tidak bisa menjadi alat bukti yang sah di persidangan," ujar Jamin. Hotman pun kemudian menanyakan kembali apakah keterangan saksi bisa dipakai atau tidak.

Baca Juga: Sidang Etik Teddy Minahasa Dilaksanakan Setelah Perkara Pidananya Usai

Menurut Jamin, tidak bisa karena alat bukti itu banyak, di antaranya alat bukti surat dan saksi. Kalau saksinya diterangkan dengan alat bukti yang tidak sah, maka kualitas saksi tadi menjadi kualitas saksi yang tidak sah juga karena dihadirkan berdasarkan alat bukti yang tidak sah. 

Hotman pun kemudian mempertanyaan apakah ada akibatnya terhadap surat dakwaan apabila bukti chat dan keterangan saksi tidak sah.

"Ya, kembali tadi Pasal 143 Ayat (2) huruf b, dalam dakwaannya tidak jelas, tidak cermat, dan tidak lengkap, itulah dasar batal demi hukum," kata Jamin.

179