Home Lingkungan Segudang Masalah Aturan Ekspor Sedimentasi Pasir Laut

Segudang Masalah Aturan Ekspor Sedimentasi Pasir Laut

Jakarta, Gatra.com-Berdalih hanya mengekspor sedimentasi pasir laut, pemerintah bersikukuh kebijakan tersebut ramah lingkungan. Kini, pemerintah sedang tancap gas menyiapkan sejumlah rancangan peraturan menteri sebagai turunan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut.

Keinginan pemerintah mengekspor sedimentasi laut menurut data Kementerian Kelautan dan Perikanan didasarkan pada kebutuhan pasir laut untuk reklamasi di Indonesia yang mencapai 700,36 juta meter kubik dan tersebar di 21 provinsi. Sementara total potensi pasir laut mencapai 23,38 miliar meter kubik. Nah, pemanfaatan pasir laut untuk reklamasi itu ditaksir mampu mendatangkan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) Senilai Rp131,66 triliun.

Meski begitu, Menteri Kelautan dan Perikanan Wahyu Trenggono menegaskan izin ekspor hanya diperbolehkan jika pemenuhan di dalam negeri sudah mencukupi, seperti tercantum dalam PP Nomor 26 Tahun 2023. Menurut dia, kebutuhan pasir laut di dalam negeri paling banyak untuk reklamasi, termasuk di kawasan Ibu Kota Negara (IKN).

“Di Surabaya ada, Batam ada, IKN ada. Nah ini ngambil pasir dari mana? mindahin dari pulau pun enggak boleh. Maka boleh kalau sedimentasi, makanya dibuat PP itu,” ungkapnya dalam konferensi pers di kantor KKP, Jakarta Pusat, Rabu (31/5).

Perlu Kajian Mendalam

Akademisi sekaligus Dosen Program Studi Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Lautan Institut Pertanian Bogor (IPB), Zulhamsyah Imran menilai adanya aturan ini bisa membawa dampak bagi ekosistem laut. Maka, perlu kajian lebih dalam.

“Penelitian di Korea pada 2007, penambangan pasir berdampak signifikan pada ekonomi perikanan, berisiko pada lingkungan perikanan,” katanya dalam sebuah diskusi yang digelar daring pada Minggu (11/6).

Baginya, aturan ini terlalu prematur, terburu-buru dan tidak terbuka. Padahal, urgensi dan kebutuhan praktik penambangan pasir belum melalui penelitian mendalam. Ia tidak tahu apakah dibalik semua ini ada kepentingan lain. Maka, untuk membantah itu pembuat aturan perlu mendengar aspirasi rakyat.

Ia menilai, pasir dan lumpur memiliki fungsi masing-masing dalam ekosistem yang membuat keberlangsungannya harus terus dijaga. Lumpur dan pasir yang bercampur di pesisir justru meningkatkan kekeruhan air yang mampu memengaruhi ekosistem laut karena sinar matahari tidak masuk.

“Tidak terjadi fotosintesis, berdampak pada penurunan produktivitas primer dan sekunder plankton yang dibutuhkan ikan.” jelasnya.

Terbayang jika populasi ikan berkurang, produktivitas nelayan juga turun. Nantinya juga bisa mengganggu rantai pasok makanan yang selama ini berjalan. Plankton bisa hilang karena tidak mendapat nutrisi dari pasir laut. Risiko lainnya, berbuntut panjang pada keberlangsungan makhluk hidup lainnya.

Di sisi lain, ketika aktivitas penyedotan pasir dan lumpur dilakukan, akan ada bagian yang hilang dan membentuk lubang tidak permanen di pasir pantai. Jelas, jika ini terjadi akan membahayakan terutama potensi timbulnya abrasi. Memang, bagi pulau kecil potensi abrasi terbilang minim. Namun, tetap harus menjadi perhatian bagi seluruh pihak terkait.

Belum lagi menyoal pentingnya keberadaan mangrove sebagai salah satu blue carbon yang terancam. Peran mangrove dan ekosistem pesisir lainnya mampu berperan sebagai penyerap karbon harus terus berjalan demi mengurangi dampak perubahan iklim. Untuk itu, ia berharap pemerintah berpikir masak-masak karena dampanya nyata bagi kerusakan lingkungan. Terlebih, kaitannya langsung dengan kehidupan manusia.

“Eksploitasi penambangan pasir laut seolah memberi kontribusi pada ekonomi rakyat, tapi setelah itu biaya yang ditimbulkan bisa lebih besar,” pungkasnya.

Regulasi Tidak Demokratis

Manajer Kampanye Pesisir dan Laut WALHI Parid Ridwanuddin menilai, alasan pihaknya menolak aturan itu karena sifat regulasi yang dianggap tidak demokratis, tanpa kajian, dan bermasalah dari segi isi.

Pembentukan PP itu menurutnya hanya memiliki dua konsideran, yakni pasal 5 Undang-Undang Dasar 1945 yang intinya mengatur tentang wewenang presiden dalam mengeluarkan PP, serta undang-undang kelautan. Baginya, jelas sekali tidak sesuai dengan klaim pemerintah yang menyebut pembentukan PP memiliki kepentingan kesehatan laut dan ekologi.

“Sangat terlihat pemerintah memilih aturan yang menguntungkan mereka, tetapi kita enggak melihat undang-undang lingkungan, undang-undang pesisir pulau kecil, undang-undang keanekaragaman hayati jadi dasar,” jelasnya kepada Gatra, Sabtu (10/6).

Kedua, tujuan PP ini juga menurutnya sarat kepentingan bisnis, namun dikemas seolah-olah sesuai sains dan kepentingan ekologi. Jika bercermin pada Instruksi Presiden (Inpres) No 2 Tahun 2022 tentang Pengendalian Penambangan Pasir Laut dan Keputusan Presiden (Keppres) No 33 Tahun 2002 tentang Pengendalian dan Pengawasan Pengusahaan Pasir Laut yang terbit semasa pemerintahan Presiden ke-5 RI Megawati Soekarnoputri, keputusan penghentian penambangan dan ekspor pasir laut menggunakan 6 dasar hukum Inpres dan 12 dasar hukum Keppres.

“Jadi sudah dikendalikan waktu itu, dimoratorium. Harusnya sekarang dihentikan permanen,” tambah Parid.

Atas dasar itulah Walhi menolak tawaran bergabung dalam tim kajian KKP. Walhi, tambahnya, tidak menemukan upaya atau agenda pemulihan kondisi laut yang didorong pemerintah melalui PP tersebut. Baginya, pemerintah harus menyusun kebijakan yang berorientasi pada pemulihan lingkungan hidup, pemuluhan laut, pesisir dan pulai kecil, serta pemulihan jak masyarakat atas lingkungan hidup yang bersih dan sehat.

Berdasar catatan WALHI, setidaknya ada 3,5-4 juta hectare area yang akan dibangun pemerintah hingga 2040 mendatang. Pembangunan itu butuh banyak sekali pasir laut. Maka jangan heran, jika reklamasi mendapat respon negative, karena dianggap tidak berpihak pada rakyat.

“Kenapa reklamasi di Indonesia selalu ada perlawanan? karena reklamasi menghancurkan lingkungan, menggusur nelayan,” katanya.

Maka ia meminta kepada Menteri KKP Wahyu Trenggono untuk segera menghentikan pembahasan aturan turunan yang saat ini tengah digodok. Di sisi lain, PP juga tidak memberi penjelasan cukup untuk mendefinisikan berbagai unsur terkait sedimentasi laut. Diantaranya, apa yang dimaksud dengan sedimentasi, sedimentasi dapat dikeruk atau dibiarkan. Justru, PP itu terlihat memukul rata, seolah sedimentasi yang ada dapat diambil dan dikeruk. Padahal menurutnya pembahasan sedimentasi tidak terbatas pada upaya pembersihan di laut, namun juga pembersihan di darat.

“Daratnya itu ada perusahaan tambang, seperti Freeport, dia aktivitasnya di tengah gunung. Limbahnya ke sungai, berakhir di laut. Nah yang dilaut, itulah sedimentasi. Persoalannya, kalau hanya di laut yang diberesin, Freeport enak di Papua, limbahnya diberesin sementara penghancuran di darat tidak dihentikan,” jelasnya.

Menolak Lupa Pada Masa Lalu

Senada, Greenpeace yang juga menolak aturan itu menilai, ada cerminan masa lalu yang menunjukkan penambangan tidak pernah berdampak baik bagi lingkungan. Potensi merusaknya sangat besar, bahkan mengancam seluruh wilayah laut di Indonesia.

“Tambang ini hampir semua merusak lingkungan.,” ungkap Juru Kampanye Laut Greenpeace Indonesia Afdillah kepada Gatra, Senin (12/6).

Regulasi dalam PP, lanjutnya, cenderung mudah dijadikan alasan melegalkan penambangan pasir laut. Belum lagi soal peluang ekspor guna memenuhi permintaan dari luar negeri.

Di sisi lain, PP juga dibuat tanpa merujuk aspek-aspek demokratis. Greenpeace, menurutnya sama sekali tidak dilibatkan sejak awal pembentukan PP. Termasuk tidak melibatkan masyarakat pesisir dan wilayah yang berpotensi terkena dampak paling awal dari aktivitas eksploitasi sedimentasi pasir laut.

“Pemerintah membungkus regulasi ini dengan dalih pemulihan, mencegah kerusakan. Tapi kami tidak menemukan upaya konkret untuk pemulihan didalamnya,” katanya.

Maka pihaknya beranggapan, tujuan melindungi dan menjaga kondisi laut hanyalah ;bungkus’ bagi meloloskan upaya eksploitasi pasir laut untuk pembangunan dan penjualan ke luar negeri. Argumentasi ini mengacu pada gencarnya pembangunan di Indonesia beberapa tahun terakhir, serta kondisi jual beli yang berkaitan erat dengan dinamika pasar.

Meski menolaj bergabung dalam tim kajian seperti yang dilakukan Walhi, Afdillah memastikan Greenpeace tetap memberi masukan pada pemerintah, kritis dalam memantau isu tersebut. Greenpeace berharap pemerintah mencabut PP, dan tidak lagi berpikir mengeksploitasi sumber daya. Pasalnya saat ini menurutnya kita harus bertarung bersama melawan krisis iklim dan polusi.

Reporter

Jihan Astriningtrias

Ridhayanti Nur Shadrina

223