Home Hukum Begini Analisis Todung, Soal Tantangan Kendala dan Penerapan Hukuman Pidana Mati

Begini Analisis Todung, Soal Tantangan Kendala dan Penerapan Hukuman Pidana Mati

Jakarta, Gatra.com - Praktisi hukum senior Todung Mulya Lubis yang juga Founder and Senior Partner, Lubis Santosa & Maramis, menilai ada kekosongan hukum dalam implementasi pidana mati.

Adanya kekosongan hukum mengenai pengaturan pidana mati berpotensi menimbulkan polemik pada saat UU No.1 Tahun 2023 berlaku.

Sebagai catatan, pasca diundangkannya UU No. 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menimbulkan banyak diskursus baru. Salah satu terobosan yang dibawa UU tersebut adalah pengaturan baru mengenai pidana mati yang juga dihiasi oleh beragam pendapat pro dan kontra.

Todung menegaskan, ia konsisten menolak hukuman mati dalam kasus apa saja dan kepada siapa saja. Menurutnya, perubahan pidana mati dalam KUHP baru yang tertuang dalam Pasal 100 merupakan langkah positif dari sejarah Panjang Indonesia yang menolak penghapusan pidana mati.

Perjuangan Todung dalam menghapuskan hukuman mati saat ini bermuara pada KUHP baru yang memuat mengenai hukuman mati. Meski masih berlaku tiga tahun lagi dan belum efektif berlaku sekarang, namun terdapat tantangan dalam implementasi pasal pidana mati yang belum berlaku tersebut yang hukuman pidana mati terus dijatuhkan oleh hakim.

“Sejak 1979 kami menuntut penghapusan hukuman mati karena hukuman mati dari segala sisi tidak memberikan dampak dan juga tidak mengurangi angka kejahatan,” ujar Todung, seperti dikutip, Kamis (6/7).

Todung mengingatkan, ketika hukuman mati dijatuhkan terpidana tidak bisa dihidupkan kembali padahal ada banyak bukti di banyak negara bahwa terpidana yang dijatuhi pidana mati belum tentu pelaku tindak pidana yang sebenarnya.

Ia menegaskan, perlu paling tidak kebijakan yang bisa dijadikan rujukan bagi semua aparat penegak hukum dalam menghadapi kasus pidana mati yang kita punya sekarang ini di Indonesia.

Dalam KUHP baru, pidana mati diatur sebagai pidana yang bersifat khusus dan diancam secara alternatif dengan pidana penjara seumur hidup atau selama 20 tahun.

Selain itu, pidana mati kini dijatuhkan dengan masa percobaan 10 tahun bergantung pada sikap dan perbuatan terpidana selama percobaan terpidana mati memperoleh kesempatan agar pidana mati yang sudah dijatuhkan dapat diubah menjadi pidana penjara seumur hidup.

Tidak hanya itu, adanya kekosongan hukum mengenai pengaturan pidana mati berpotensi menimbulkan polemik, khususnya mengenai keberlakuan KUHP baru bagi terpidana mati yang divonis berdasarkan Wetboek van Strafrecht.

Disampaikan Todung, melihat urgensi kebijakan perantara untuk mengakomodasi kekosongan dalam implementasi pelaksanaan hukuman mati, tidak harus mengorbankan apa yang tidak perlu dikorbankan, sehingga bisa menerapkan hukum itu secara lebih adil dan lebih manusiawi.

Namun, Todung hanya ingin realistis dan fokus pada apa yang dapat dilakukan dalam menghadapi KUHP baru yang telah diundangkan saat ini dan bisa saling membantu untuk mengakomodasi kekosongan kebijakan perantara dalam implementasi pelaksanaan pidana mati.

Leonard Arpan Aritonang selaku Partner di LSM Law Firm juga menilai kekosongan hukum aturan pidana mati bagi terpidana mati saat ini sebagai urgensi kebijakan perantara.

Kekosongan pengaturan perlu dilengkapi dengan memberi kesempatan yang sama kepada terpidana mati yang tidak mengajukan grasi untuk tetap memperoleh komutasi jika ia tidak dieksekusi bukan karena melarikan diri.

Sebagai tambahan, komutasi alternatif dalam Pasal 101 KUHP baru hanya berlaku terbatas bagi terpidana mati yang memutuskan untuk menggunakan haknya untuk mengajukan grasi yang kemudian ditolak.

Leonard mengingatkan, pro kontra terkait pidana hukuman mati pada akhirnya jangan sampai menghukum orang yang tidak pantas dihukum apalagi menghukum orang tersebut dengan hukuman mati.

Namun Hakim Agung Ketua Kamar Pidana, Yohanes Priyana, berpendapat tidak ada kekosongan hukum. Jika suatu perbuatan itu pada saat tidak berkekuatan hukum tetap dan ternyata perbuatan itu bukan lagi perbuatan pidana maka terdakwa harus dikeluarkan.

Kata Yohanes, ketika KUHP baru itu berlaku, sudah tidak ada kekosongan hukum karena ketika KUHP berlaku yang telah berkekuatan hukum tetap dan sudah dieksekusi berlaku ketentuan yang telah berlaku itu.

Yohanes menyimpulkan, hukuman mati berlaku sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang baru karena hal itulah yang menguntungkan bagi terpidana, sehingga tidak ada kekosongan dan kevakuman hukum.

81