Home Hukum Polemik OTT Basarnas Dinilai Tanggung Jawab Pimpinan KPK

Polemik OTT Basarnas Dinilai Tanggung Jawab Pimpinan KPK

Jakarta, Gatra.com – Mantan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menilai bahwa pimpinan KPK merupakan pihak yang bertanggung jawab atas kesalahan penetapan tersangka Kabasarnas Marsdya TNI Henri Alfiandi dan Koorsmin Kabasarnas Letkol Afri Budi.

“Pimpinan KPK yang paling bertanggung jawab dalam proses OTT karena mereka yang memberikan perintah dalam bentuk surat perintah penyelidikan dan menetapkan seseorang sebagai tersangka,” kata Yudi pada Minggu (30/7).

Yudi menjelaskan, tentunya mulai KPK dari menerima informasi atau dari laporan masyarakat tentang adanya suap, kemudian penyelidikan dan penyidikan itu pasti dikoordinasikan ke pimpinan.

“Setiap proses kegiatan itu pasti lapor pada atasan, mau menyadap dan merekam pembicaraan dan membuntuti orang, itu pasti dilaporkan kepad atasan, enggak mungkin tidak dilaporkan. Atasan tahu,” ujarnya.

Selain itu, pihak KPK hingga pimpinan sudah mengatahui profiling yang menjadi target operasi (TO) atas dugaan terlibat dalam kasus suap tersebut di Basarnas tersebut.

Sebelum melakukan penangkapan, tentunya bawahan akan meminta kepada atasan hingga pimpinan, misalnya apa yang harus dilakukan ketika uang sudah diterima.

“Akan meminta saran ke atasan, kemudian akan berjenjang lagi karena penyelidik tidak bisa langsung loncat kepimpinan, atasanya kemudian ke atasannya lagi hingga pimpinan,” ujarnya.

Setelah ditangkap, barang bukti dan pelakunya ada yakni yang memberi dan menerimanya, kemudian merekadibawa ke KPK. Atas dasar itu, KPK melakukan ekspos atau gelar perkara yang dihadiri berbagai pihak terkait, yakni penyelidik dan penyidik serta direkturnya masing-masing, deputi penindakan, jaksanya, hingga pimpinan KPK.

“Di situ mungkin ada perdebatan, akhirnya diputuskan oleh pimpinan untuk naik ke penyidikan, tentu ada tersangkanya. Jadi yang menetapkan siapa tersangka, pimpinan KPK, bukan penyelidik, itu paham hukum siapa [yang ditetapkan]. Pimpinan harus bertanggung jawab kalau melihat proses itu,” ujarnya.

Yudi mengatakan sikap pimpinan KPK menyalahkan penyelidik di kasus korupsi Basarnas akan berdampak buruk pada upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan KPK. Para penyelidik dan penyidik, kata Yudi, akan takut dalam menuntaskan tugasnya.

“Menyalahkan anak buah bisa jadi akan menyebabkan moral pegawai runtuh karena merasa pimpinan tidak mau bertanggung jawab dan ini bisa berbahaya bagi kegiatan pemberantasan korupsi ke depannya. Pegawai akan takut melakukan sesuatu hal atau tindakan walaupun itu benar karena kalau ada apa-apa mereka akan disalahkan,” ujarnya.

Pernyataan menyalahkan penyelidik dalam kisruh OTT di Basarnas disampaikan oleh Wakil Ketua KPK, Johanis Tanak, pada Jumat (28/7). Tanak mengatakan, adanya kekhilafan dari penyelidik saat melakukan OTT hingga menetapkan Kabasarnas Marsdya TNI Henri Alfiandi sebagai salah satu tersangka.

“Jadi pimpinan haruslah menyalahkan diri sendiri, jangan anak buah,” katanya.

Atas dasar itu, Yudi mengatakan pimpinan KPK wajib mencabut pernyataan yang menyalahkan penyelidik dalam kisruh penanganan kasus korupsi di Basarnas.

“Pimpinan KPK mencabut pernyataannya yang menyalahkan penyelidiknya untuk menaikkan moralitas pegawai KPK kembali,” tutur Yudi.

Senada dengan Yudi, peneliti dari Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalan (Unand), Feri Amsari, mengatakan, kesalahan prosedur dari hasil Operasi Tangkap Tangan (OTT) terhadap dua anggota TNI aktif itu merupakan tanggung jawab pimpinan KPK.

Feri menilai demikian karena sesuai ketentuan Pasal 39 Ayat (2) Undang-Undang (UU) KPK bahwa seluruh proses penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan di lembaga antirasuah itu di bawah pimpinan KPK.

Karena itu, lanjut dia, kepada wartawan pada pekan ini, pimpinan KPK tidak bisa menyalahkan anak buahnya dalam polemik penetapan kedua tersangka anggota TNI aktif tersebut. “Penentuan tersangka dan segala macam, tentu dikoordinasi oleh pimpinan KPK,” ujarnya.

Lebih jauh Feri menyampaikan, kesalahan tersebut merupakan bukti bahwa pimpinan KPK kurang memahami UU KPK. Artinya, para pimpinan KPK tidak memahami batas-batas kewenangan lembaganya dalam memberantas korupsi.

“Sehingga kemudian penetapan tersangka melampaui batas kewenangan, padahal mestinya dikoordinasikan dengan baik,” ujarnya.

Menurut dia, jika pimpinan KPK memahaminya, maka tentu langsung berkoordinasi dengan pihak TNI, yakni memimpin agar oditur militer dapat melaksanakan tugasnya dengan baik sesuai aturan yang berlaku.

Ia menjelaskan, meskipun semangat Reformasi dalam perjuangan memberantas korupsi menginginkan agar kasus extraordinary crime tindak pidana korupsi itu melalui peradilan biasa, tapi secara praktik dan ketentuan Pasal 42 UU KPK itu ada aturan mainnya.

“Mestinya KPK sadar memang berwewenang untuk melakukan OTT, tapi tahapan-tahapan berikutnya harus dikoordinasikan dengan Mabes TNI,” katanya.

Kesalahan tersebut juga menunjukkan kualitas pimpinan KPK sehingga terjadi melampaui kewenangan atau menyalahgunakan kewenangan dalam penanganan kasus dugaan korupsi di Basarnas.

Sebelumnya, KPK menetakan lima orang tersangka hasil dari OTT terkait kasus dugaan korupsi, yakni suap pengadaan barang dan jasa di Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan (Basarna) tahun 2021–2023.

Adapun kelima tersangkanya yakni Kabasarnas, Hendri Alfiandi; Koorsmin Kabasarnas, Afri Budi Cahyanto; Direktur ?PT Kindah Abadi Utama, Roni Aidil; Komisaris Utama PT Multi Grafika Cipta Sejati, Mulsunadi Gunawan, dan Direktur Utama (Dirut) PT Intertkno Grafika Sejati, Marilya.

Penetapan tersangka tersebut merupakan hasil OTT di Basarnas di Bekasi dan Jakarta Timur, pada Selasa (25/7/2023). Setidaknya, ada sepuluh orang ditangkap, termasuk Koordinator Staf Administrasi Kabasarnas Letkol Afri Budi Cahyanto. Penetapan tersangka tersebut disampaikan Wakil Ketua KPK, Alexander Marwata.

39