Home Hukum Maki Laporkan Dugaan Penambangan Nikel Rugikan Negara Rp3,7 Triliun ke KLHK dan Kejagung

Maki Laporkan Dugaan Penambangan Nikel Rugikan Negara Rp3,7 Triliun ke KLHK dan Kejagung

Jakarta, Gatra.com – Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (Maki) melaporkan dugaan penambangan nikel ilegal di Konawe Utara, Sulawesi Tenggara (Sultra) kepada Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup (KLHK) dan Kejaksaan Agung (Kejagung).

Koordinator Maki, Boyamin Saiman, pada Selasa (26/9), menyampaikan, pihaknya telah melaporkan PT PKS atas dugaan tindak pidana kehutanan, menggunakan Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi (IUP OP) palsu, yakni memakai IUP OP perusahaan lain yang tidak bisa dialihkan.

Boyamin mengungkapkan, perusahaan tersebut diduga telah melakukan penambangan nikel ilegal sejak tahun 2020 hingga sekarang dan menghasilkan sekitar 5.500.000 (5,5 juta) metric ton.

Ia menyampaikan, pihaknya juga mensinyalir bahwa perusahaan tersebut melakukan Penjualan Dokumen RKAB (dokumen terbang) dan atau Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) yang diduga merugikan negara sekitar Rp3,7 triliun.

“Dugaan Kerugian negara dalam kasus ini diperkirakan melebihi nilai korupsi penambangan nikel ilegal konsesi milik PT Antam di Blok Mandiodo oleh Windu Aji Sutanto dan kawan-kawan,” ujarnya.

Ia menyebut demikian karena pelaku diduga memiliki puluhan IUP OP lainnya di perusahaan tambang nikel yang disinyalir tanpa melalui lelang dan prosedur yang benar.

“Dugaan mencaplok tambang milik orang lain, termasuk diduga memalsukan IUP, ironisnya dugaan seluruh IUP 'tikus' ini termasuk yang diduga palsu tersebut, teregristasi di Modi Ditjen ESDM, dan mendapatkan RKAB,” ujarnya.

Menurutnya, perusahaan tersebut dari tahun 2020 sampai dengan saat ini, diduga melakukan penambangan nikel tersebut di Kawasan Hutan Produksi tanpa memiliki Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH).

Ia mengklaim bahwa itu terkonfirmasi Direktur Planologi Dirjen Planologi Kehutanan dan Tata Ruang KLHK, RT, tertanggal 29 Agustus 2023 kepada Direktur Utama (Dirut) perusahaan di atas yang pada intinya menolak permohonan IPPKH.

Boyamin dalam keterangan pers lebih lanjut menyampaikan, selain melakukan dugaan pidana kehutanan, pemilik perusahaan tersebut, yakni AT dan JY diduga menjual dokumen RKAB tahun 2022 sebanyak 385.692.183 metric ton atau 47 tongkang untuk kepentingan pemasaran nikel PT DDG senilai Rp270 miliar.

Menurutnya, itu berdasarkan bukti jetty/pelabuhan yang digunakan DDG yang jaraknya sekitar 60 kilometer dari konsesi PKSK yang tidak memiliki akses jalan hauling. Berdasarkan data penjualan di Ditjen Minerba, dengan dugaan memakai IUP OP PT MBS, AT diduga menjual dokumen RKAB tahun 2022 untuk kepentingan pemasaran nikel PT TT dan CV UBB sebanyak 349.130.58 metric ton atau 43 tongkang senilai Rp248 miliar.

Boyamin menyampaikan, perbuatan tersebut diduga melanggar Peraturan Menteri (Permen) ESDM RI No. 07 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara dan Pasal 66 huruf b.

“Pemegang IUP dilarang menjual hasil penambangan yang bukan dari hasil penambangan sendiri,” katanya.

Menurut dia, aksi penambangan nikel ilegal yang dilakukan perusahaan tersebut bersama PT MBS, itu diduga diperparah dengan sikap Ditjen Minerba yang menyetujui RKAB melanggar aturan.

Ia menyampaikan, berdasarkan temuan MAKI, AT, JY dkk dikualifisir diduga telah melanggar Pasal 78 Ayat (2) juncto Pasal 50 Ayat (3) huruf a Undang-Undang RI Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sebagaimana telah diubah dalam paragraph 4 Pasal 36 Angka 19 Pasal 78 Ayat (2) dan Ayat (11) juncto Pasal 36 Angka 17 Pasal 50 Ayat (2) huruf a UU RI Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja juncto Paragraf 4 Pasal 36 Angka 19 Pasal 78 Ayat (3) dan Ayat (11) juncto Pasal 36 Angka 17 Pasal 50 Ayat (2) huruf a UU RI Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi UU juncto UU Korupsi juncto TPPU yang merugikan negara sedikitnya Rp3,7 triliun.

Boyamin lebih spesifik menjelaskan mengenai IUP OP palsu yang digunakan dalam penambangan nikel tersebut. Menurutnya, IUP OP dengan Kode Wilayah: KW 07. STP 082 ini terletak di Desa Waturambaha, Lasolo Kepulauan, Konawe Utara, Sultra, seluas 218 hektare.

IUP OP yang berlaku hingga tahun 2031 itu, lanjut Boyamin, sejatinya milik PT SJM berdasarkan Keputusan Bupati Konawe Utara, Nomor: 291/Tahun 2011 tanggal 27 Juli 2011.

Pada tanggal 12 Oktober 2011, melalui surat No: 108/SJM/X/2011, MER selaku Direktur PT SJM yang diduga palsu, menyampaikan permohonan kepada Bupati Konawe. Dia mengajukan perubahan nama perusahaan, direksi, dan komisaris PT SJM menjadi PT PKS.

Boyamin mengungkapkan, PT PKS sendiri baru didirikan pada tahun 2017, berdasarkan Akte Nomor 86 yang diterbitkan Notaris RR di Kota Kendari tertanggal 26 November 2017, dan mendapat Pengesahan dari Dirjen AHU tanggal 23 Januari 2018, sesuai Nomor SK: AHU-0003074.AH.01.01. Tahun 2018.

Pada tanggal 18 Oktober 2011, melalui surat yang diduga palsu, yakni Nomor : 540/484/2011, Bupati Konawe Utara diduga menyalahgunakan wewenang dengan menyetujui perubahan nama perusahaan yang semula PT SJM menjadi PT PKS, dengan susunan direksi yang semula Dirutnya MER menjadi AT.

Berdasarkan surat-surat yang diduga palsu tersebut, AT selaku Dirut PT PKS, mengurus penerbitan Pertimbangan Teknis oleh Dinas Pertambangan Provinsi Sultra yang selanjutnya dipakai sebagai syarat administratif perubahan IUP OP PT SJM kepada PT PKS oleh Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Sultra.

Menurutnya, mantan Bupati Konawe Utara, ASN sudah ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atas sangkaan melanggar Pasal 2 Ayat (1) atau Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.

Boyamin menyampaikan, peralihan IUP OP tersebut selain diduga palsu, juga diduga melanggar Pasal 93 UU No. 04 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. “Pemegang IUP dan IUPK tidak boleh memindahkan IUP dan IUPK-nya kepada pihak lain,” ujarnya.

Selain itu, melanggar Permen ESDM RI No. 42 Tahun 2017 Pasal 23 juncto Permen No. 48 Tahun 2017 Pasal 14–16 juncto Kepmen ESDM No. 1798K/30/MEM/2018 juncto UU No. 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara Pasal 93A juncto Peraturan Pemerintah No. 96 Tahun 2021 Pasal 13 juncto Kepmen ESDM RI No. 78.K/NB.01/MEM.B/2022.

201