Home Hukum Masyarakat Adat Dayak Hibun Minta RSPO Cabut Putusan dan Meminta Maaf

Masyarakat Adat Dayak Hibun Minta RSPO Cabut Putusan dan Meminta Maaf

Jakarta, Gatra.com – Masyarakat Adat Dayak Hibun meminta Panel Banding untuk membatalkan putusan Panel Pengaduan Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) tentang Pengaduan terhadap PT MAS yang sebelumnya anak perusahaan SDPB. Putusan itu diketok pada 10 Agustus 2023.

Masyarakat Adat Dayak Hibun juga meminta Panel Banding menyatakan SDPB sebagai induk perusahaan PT MAS sebelumnya tidak patuh terhadap prinsip dan kriteria RSPO dan mencabut keanggotaan SDPB dari RSPO.

Anggota Masyarakat Adat Dayak Hibun, Redatus Musa, dalam konferensi pers hybrid dari bilangan Cikini, Jakarta, Rabu (27/9), menyampaikan, jika tidak memenuhi poin pertama dan kedua, pihaknya menilai RSPO bukan lagi sebagai wadah relevan dalam menghadirkan ruang pengaduan dalam penyelesaian konflik yang melibatkan anggotanya dengan masyarakat yang dirugikan.

Ia menjelaskan, Masyarakat Adat Dayak Hibun awalnya mengajukan aduan kepada RSPO mengenai pencaplokan lahan pertanian dan merampas sumber-sumber penghidupan mereka. Pencaplokan diduga dilakukan PT MAS yang kala itu merupakan anak usaha SDG. Diduga terdapat proses ilegal dalam proses perolehan lahan untuk penerbitan Hak Guna Usaha (HGU) PT MAS.

Setelah 11 tahun, RSPO kemudian memutuskan tidak menerima aduan tersebut. Redatus Musa menyampaikan, pihaknya menilai putusan tersebut sangat menyudutkan posisi Masyarakat Adat Dayak Hibun di Dusun Entapang dan Kerunang, Kecamatan Bonti, Kabupaten Sanggau, Provinsi Kalimantan Barat (Kalbar).

Redatus Musa mengungkapkan, berdasarkan Surat Keputusan Komplain Panel (Complain Panel/CP) RSPO pada tanggal 10 Agustus 2023, pada intinya menyampaikan, tidak menerima pengaduan yang disampaikan oleh warga Entapang dan Krunang karena kurang bukti dan PT MAS bukan lagi anak usaha SDG.

Ia mengungkapkan, pihaknya menilai RSPO tidak menerima aduan tersebut karena salah atau tidak tepat dalam menerjemahkan “Derasa”, yakni sebagai proses peralihan kepemilikan lahan atau jual-beli lahan dari petani kepada perusahaan.

Masyarakat Adat Dayak Hibun menilai RSPO telah gagal mematuhi berbagai peraturan dan prosedurnya dan memenuhi harapan masyarakat terhadap RSPO.

“RSPO telah mengabaikan HAM fundamental kami. Saat ini, kelapa sawit yang berasal dari kebun masyarakat atau skema kemitraan (plasma) tidak lagi dibeli oleh perusahaan,” ujarnya.

Ia mengungkapkan, hal itu sungguh sangat merugikan warga dan tidak memenuhi rasa keadilan yang diharapkan dapat diberikan lewat jalur RSPO.

“Kami kecewa kepada RSPO dan marah besar karena RSPO menerjemahkan 'derasa' dengan serampangan. 'Derasa' bukan bukti ganti rugi, bukan dokumen jual-beli, bukan pengalihan hak,” ujarnya.

Ia menjelaskan, Masyarakat Adat Dayak Hibun memiliki mekanisme adat yang disebut “derasa”. Derasa memiliki arti sebagai hak sewa, bukan pelepasan hak atas tanah. Ini diperkuat penafsiran yang dikeluarkan oleh Dewan Adat Dayak.

“Dewan Adat Dayak merupakan lembaga yang berwenang dan paling berhak untuk dapat menafsirkan istilah-istilah adat yang berkenaan dengan adat Dayak,” ujarnya.

Atas dasar itu, kata Redatus Musa, komunitas Dayak Hibun meminta RSPO mencabut putusan tersebut dan meminta maaf kepada komunitas Dayak Hibun karena telah dengan sengaja menerjemahkan “derasa” secara tidak tepat.

“Kami memberi waktu kepada RSPO untuk meminta maaf 7x24 jam. Jika tidak, kami akan memberikan sanksi adat yang berlaku di komunitas adat kami. Kami akan menempuh jalur adat dengan menerapkan sanksi adat kepada perusahaan,” ujarnya.

Lebih lanjut RedatusMusa menyampaikan, dalam konteks penguasaan lahan, HGU PT MAS overlap dengan lahan masyarakat, termasuk di dalamnya adalah fasilitas umum seperti kantor desa, sekolah, tempat beribadah, dan permukiman warga.

Ia melanjutkan, terkait persoalan ini pihaknya juga meminta pendapat dari ahli, yakni pakar Hukum Adat dari Universitas Tanjungpura, Salfius Seko. Dia menjelaskan bahwa hak warga tidak hilang dengan terbitnya HGU.

Salfius Seko menjelaskan bahwa dengan dikeluarkannya HGU, hak keperdataan masyarakat tersebut telah hapus sesuai dengan Pasal 28 UUPA. Namun, hak keperdataan masyarakat tidak serta merta dihapus seiring dengan hapusnya hak atas tanahnya.

Menurut dia, inilah pentingnya sebuah perjanjian antara perusahaan dan masyarakat dalam proses pembebasan tanah untuk HGU. Jika dalam perjanjian disepakati bahwa warga masyarakat masih mempunyai hak keperdataan atas tanah walaupun tanahnya sudah menjadi HGU, maka perjanjian inilah yang menjadi dasar bahwa hak masyarakat masih ada.

“CP telah keliru mendefinisikan 'derasa' sebagai bukti peralihan tanah dari masyarakat kepada perusahaan,” kata Safilus Seko.

Ia mengungkapkan, berdasarkan konsep dan hasil penelitian yang pernah dilakukan, “dersa” bukanlah merupakan proses peralihan hak atas tanah yang dilakukan oleh masyarakat adat (petani plasma) kepada perusahaan. Oleh karenanya, berdasarkan konsep derasa rumpun suku Dayak Hibun, penafsiran yang dilakukan oleh perusahaan terhadap konsep “derasa” adalah keliru.

Peralihan hak atas tanah pada rumpun Suku Dayak Hibun terjadi karena beberapa hal, antara lain jual-beli, warisan, buka lahan, tukar guling, pemberian (poyo waris).

“Derasa ini adalah satu aktivitas adat yang biasa disebut dengan pradat. Dengan demikian, maka tidak ada peralihan hak atas tanah dari masyarakat kepada perusahaan,” ujar Safilus Seko.

Sementara itu, pengkampanye TuK Indonesia, Abdul Haris, menyampaikan, RSPO sebagai sebuah lembaga tidak mengedepankan proses yang transparan dan akuntabel dalam memutuskan kasus PT MAS.

“Keputusan CP menolak pengaduan pemohon setelah 11 tahun diproses adalah bentuk nyata buruknya sistem pengambilan keputusan pada RSPO,” ujarnya.

Hal yang paling krusial dengan sengaja dilanggar oleh RSPO, lanjut dia, yaitu prosedur pengaduan dan banding RSPO tahun 2018 yang merupakan pedoman dalam pengambilan keputusan.

Berdasarkan poin nomor 3 Keputusan CP bahwa Laporan Ahli Independen telah diterima pada tanggal 10 Februari 2020. Sesuai Bagian 12.3 disebutkan, CP akan mempertimbangkan dan menyampaikan keputusan dalam enam puluh (60) hari kerja sejak penutupan tahap investigasi. Faktanya, baru memutuskan pengaduan oleh pemohon pada tanggal 10 Agustus 2023.

Tidak hanya itu, merujuk bagian 12.3.1 analisis semua bukti (termasuk laporan dari investigator independen dan ahli) dan masukan dari para pihak dalam pengaduan, CP tidak melakukan analisis semua bukti dan masukan dari para pihak berdasarkan bukti dan pendapat ahli yang diajukan pemohon.

Namun sayangnya, CP tidak menjadikan pendapat ahli tersebut sebagai pertimbangan dalam pengambilan keputusan. “Kami menduga RSPO sengaja mengulur waktu untuk mengambil keputusan sampai akhirnya PT MAS tidak lagi menjadi bagian dari SDG,” katanya. Gatra.com masih berupaya mengonfirmasi pihak terkait.

217