Home Hukum Marzuki Darusman: “Mengurai Benang Kusut Keadilan Perkara Barnabas Suebu” Tonggak Pendidikan Hukum

Marzuki Darusman: “Mengurai Benang Kusut Keadilan Perkara Barnabas Suebu” Tonggak Pendidikan Hukum

Jakarta, Gatra.com – Mantan Jaksa Agung Marzuki Darusman mengatakan, buku “Mengurai Benang Kusut Keadilan Perkara Barnabas Suebu” karya Laksanto Utomo merupakan suatu tonggak untuk proses pendidikan hukum ke depan.

“Buku ini perlu disebarkan secara luas kepada masyarakat dan pemerintah,” kata Marzuki dalam acara peluncuran buku tersebut yang dihelat secara hybrid dari Kampus Magister Hukum Universitas Pancasila (UP), Jakarta, Selasa (3/10).

Menurutnya, buku ini harus disampaikan kepada pemerintah agar pemerintah merehabilitasi harkat dan martabat Barnabas Suebu, mengingat hasil dari eksaminasi terhadap putusan perkara yang bersangkutan.

“Masih ada satu lagi, yakni mengadukan ini kepada pemerintah untuk mendapatkan rehabilitasi, dimungkinkan rehabilitasi bagi yang bersangkutan,” katanya selaku salah satu pembicara kunci dalam acara ini.

Ia menyampaikan, harus melihat hasil eksaminasi perkara Barnabas Suebu ini sebagai satu kesatuan dengan realitas, atau tidak bisa dipisah-pisahkan.

“Gambaran betapa pentingnya aturan-aturan menjadi kesatuan sehingga publik menyadari bahwa masalah eksaminasi, kekeliruan mengadili, harus dilihat satu napas dengan realitas,” ujarnya.

Chairman & Founder at Fundation For International Human Rights Reporting Standards (FIHRRST) ini lebih lanjut menyampaikan, bisa jadi putusan pengadilan terhadap Barnabas Suebu ini seperti puncak gunung es.

“Apa yang dialami Pak Bas [Barnabas Suebu] sebagai satu contoh dan berkumandang bahwa kasus Pak Bas ini simbolik,” katanya.

Mantan Hakim Agung Gayus Lumbuun yang menjadi pembicara kunci selanjutnya, menyarankan agar buku ini juga memuat bab khusus atau tersendiri mengenai rehabilitasi.

Ia menyampaikan, konstitusi negeri ini mengaturnya, yakni dalam Pasal 14. Selain itu, KUHAP juga terang mengatur masalah rehabilitasi. Berdasarkan Pasal 14 Ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, pemberian rehabilitasi oleh Presiden dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung (MA). “Pak Bas, ini hak rehabilitasi nama seseorang, mantan gubernur, dubes,” ujarnya.

Adapun alasan pemberian rehabilitasi, lanjut Gayus, yakni ada di beberapa Keputusan Presiden (Kepres), yakni Nomor 124 dan 203 Tahun 1998, serta Nomor 142. Sedangkan pertimbangan pemberian rehabilitasi ini atas empat dasar kepentingan negara, di antaranya ketahanan dan keamanan serta tumpuan wilayah negara yang mencakup kemanusian.

Laksanto menyampaikan, buku “Mengurai Benang Kusut Keadilan Perkara Barnabas Suebu“ ini memuat hasil eksaminasi terhadap Putusan Perkara Nomor 01/PID/TPK/2016/PT.DKI juncto Putusan Perkara Nomor 67/Pid.Sus/TPK/2015/PN.JKT.PST atas perkara Barnabas Suebu.

Ia mengungkapkan, pihaknya menginisiasi eksaminasi putusan perkara di atas. Salah satu poin penting dari hasil eksaminasi putusan perkara Barnabas Suebu, yakni terdakwa Barnabas Suebu divonis bersalah tanpa dibuktikan secara benar unsur kesalahannya.

Oleh sebab itu, sejatinya majelis hakim yang memeriksa, mengadili, dan memutus Perkara Nomor 67/Pid.Sus/TPK/2015/PN.JKT.PST dan Perkara Nomor 01/PID/TPK/2016/PT.DKI perlu diminta pertanggungjawaban, baik secara hukum maupun etik karena tidak profesional dan tidak cermat dalam menjalankan tugasnya.

Barnabas Suebu memang telah bebas setelah menjalankan pidana penjara selama 8 tahun sesuai vonis hakim. Namun demikian, dengan mengacu pada hasil eksaminasi seperti yang telah dikemukakan, maka sangatlah logis dan manusiawi jika Barnabas Suebu diberikan rehabilitasi oleh Negara untuk memulihkan nama baik, harkat, dan martabatnya, baik sebagai pribadi maupun sebagai warga negara.

Menurut Laksanto, Presiden sebagai Kepala Negara sejatinya peduli terhadap ketidakadilan yang nyata dan luar biasa yang dialami oleh Barnabas Suebu. Sebuah ketidakadilan yang disebabkan tidak profesional dan tidak cermatnya majelis hakim dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara.

Menurutnya, buku ini menarik sebagai literatur atau bahan bacaan bagi para akademisi hukum, praktisi hukum, mahasiswa fakultas hukum, dan masyarakat umum yang ingin lebih memahami penegakan hukum dalam teori dan praktik.

Sedangkan dalam ilmu hukum, lanjut dia, dapat juga digunakan istilah das sollen dan das sein. Das sollen disebut kaidah hukum yang menerangkan kondisi yang diharapkan, sedangkan das sein dianggap sebagai keadaan yang nyata.

“Tidak selamanya antara das sollen dan das sein ini seiring sejalan, tetapi adakalanya terjadi kesenjangan seperti yang terjadi pada Perkara Barnabas Suebu,” ujarnya.

Ia menjelaskan, kegiatan peluncuran buku ini diselenggarakan oleh Program Magister Ilmu Hukum Universitas Pancasila (UP) bekerja sama dengan Lembaga Eksaminasi Hukum Indonesia, Asosiasi Pimpinan Perguruan Tinggi Hukum Indonesia, dan Lembaga Studi Hukum Indonesia.

Sementara itu, Dekan Fakultas Hukum Universitas Pancasila (FH UP), Prof. Dr. Eddy Pratomo, S.H., M.A., menyampaikan, eksaminasi merupakan satu topik untuk menganalisis suatu putusan perkara dan telah diterapkan sejumlah lembaga, termasuk FH UP.

Ia mengungkapkan, FH UP beberapa kali melakukan public examination putusan-putusan pengadilan yang sudah inkracht. Ini bagaimana mahasiswa memberikan legal analisis agar legal logic-nya muncul sebagai mahasiswa fakultas hukum.

“Kegiatan peluncuran buku hasil eksaminasi ini sangat kami hargai. Acara seperti ini, format eksaminasi yang dilakukan masyarakat terdiri akademisi dan profesional di bidang masing-masing,” ujarnya.

178