Home Ekonomi Pengamat Nilai Biaya Distribusi Gas untuk Pembangkit Masih Mahal

Pengamat Nilai Biaya Distribusi Gas untuk Pembangkit Masih Mahal

Jakarta, Gatra.com – Pengamat Kebijakan Publik, Uchok Sky Khadafi, menilai, biaya distribusi dan regasifikasi untuk pembangkit listrik yang melibatkan perusahaan pelat merah masih terlalu mahal karena total berbagai biaya yang muncul angka US$10 Millions British Thermal Units (MBTU) lebih.

“Biaya tersebut terlalu mahal, karena begitu banyak komponen yang dimasukan, harusnya kalau sesama BUMN bersinergi bukan malah saling 'merampok',” kata Uchok dalam keterangan pada Selasa (17/10).

Ia mengungkapkan, masih mahalnya biaya distribusi dan regasifikasi pembangkit tersebut seperti yang terjadi di Tanjung Benoa, Bali, yang menyuplai PLTG Pesanggaran dan PLTG Belawan, Sumatera Utara (Sumut).

Adapun sejumlah komponen biaya yang dibebankan sehingga harga gas menjadi mahal ketika sampai ke pemakai, lanjut Uchok, di antaranya adalah biaya angkut LNG dengan kapal, regasifikasi, sewa lahan dan jasa serta pajak.

Ia mengungkapkan, total biaya untuk pengapalan LNG dari Bontang, Kalimantan Timur (Kaltim) dan biaya regasifikasi di Terminal Penerimaa dan Regsifikasi LNG Tanjung Benoa, Bali, mencapai US$ 4 per MMBTU.

Menurutya, mahalnya harga gas yang ditetapkan Pelindo 3 di Tanjung Benoa tersebut disinyalir berdampak kepada beban PT PLN. Akibatnya IP (Indonesia Power) yang mengelola PLTG Pesanggaran tidak bisa beroperasi secara efisien, yakni biaya produksi listrik menjadi mahal sehingga tarif listrik untuk masyarakat pun menjadi susah diturunkan.

“Kondisi ini diperparah pemain di sektor bisnis ini, cenderung dikuasai oleh pihak tertentu, sehingga tidak ada iklim kompetisi yang sehat,” ujarnya.

Uchok mensinyalir tidak adanya kompetisi menjadi salah satu faktor yang menyebabkan harga gas untuk pembangkit listrik menjadi sangat mahal. Bisnis distribusi dan terminal dikuasai oleh perusahaan pelat merah dan swasta tidak banyak yang terlibat.

“Akan berbeda halnya jika pemain di sektor distribusi ini banyak, maka harga gas pun bisa dibuat lebih kompetitif,” katanya.

Menurutnya, jika terdapat kompetitor, pemain bersar seperti Pelindo tidak? bisa seenaknya menetapkan biaya-biaya. Karena itu, ia berpandangan harus melibatkan sektor swasta. Namun, ini tidak mudah karena perusahaan pelat merah tersebut berusaha untuk mempertahankan penguasaan terhadap bisnis distribusi dan regasifikasi LNG.

Ia lantas mencontohkan yang terjadi di Tanjung Benoa, Bali, hingga saat ini pemain yang menyediakan regasifikasi LNG hanya Pelindo, ketika ada pihak lain yang ingin masuk dipersulit dengan berbagai cara. Akibatnya, PLN tidak memiliki pilihan kecuali dengan sesama perusahaan pelat merah tersebut.

Padahal sebenarnya, Perumda Bali melalui PT Dewata Energi Bersih (DEB) bersiap untuk menjadi penyedia terminal khusus LNG di Bali. Dengan memberikan fasilitas harga yang lebih murah ketimbang perusahaan pelat merah itu. Namun hingga saat ini, masih terkendala perizinan. Akhirnya, PLN tidak memiliki pilihan terkecuali dengan perusahaan pelat merah tersebut. 

“Praktik bisnis yang seperti ini sangat disayangkan, PLN berhak untuk mencari pembanding harga yang lebih murah, sehingga bisnis PLN bisa lebih sustainable, tidak terbebani dengan harga yang mahal,” ujarnya.

Senada dengan Uchok, Pengamat Energi dari Universitas Gajah Mada (UGM), Fahmi Radhi, kepada wartawan menyampaikan, harga yang dipatok Pelindo III bisa mencapai lebih US$10 per MMBTU jauh di atas tarif harga negara-negara lain, misalnya Malaysia yang hanya USD6 per MMBTU.

Menurutnya, tarif yang ditetapkan Pelindo III untuk distribusi gas cair ini terlalu banyak memasukkan komponen-komponen yang tidak relevan, misalnya biaya sewa tanah, pajak dan lain sebagainya.

“Itu dimasukkan juga. Ini enggak relevan. Harganya bisa di atas US$ 10 per MMBTU. Padahal di luar, misalnya di Malaysia itu hanya USD6 dolar per MMBTU. Ini cukup jauh,” ujarnya.

Salah satu yang menjadi faktor kenapa harga gas menjadi mahal, karen pemain distributor hanya dikuasai pihak tertentu sehingga seenaknya menentukan besaran biaya-biaya yang telah disampaikan.

Hampir tidak adanya keterlibatan swasta ini menjadikan tidak adanya kompetisi. Menurutnya, ini berbeda dengan di sektor hulu yang terbilang kompetitif dengan lumayan banyak hadirnya swasta dan asing.

Ia menjelaskan, minim bahkan tidak adanya pemain swasta dalam distribusi dari sumber gas ke konsumen akhir itu lebih banyak itu pemainnya BUMN dan tidak banyak pemainnya. Itu semacam oligopoli sehingga bisa bebas menetapkan berapapun biayanya.

“Harga keekonomiannya menjadi mahal. Tapi PLN kan gak bisa seenaknya menetapkan harga atau tarif listrik karena itu domain pemerintah,” katanya.

30