Home Hukum Denny Indrayana: Rusaknya Independensi MK Dimulai dengan Pernikahan Anwar Usman & Adik Jokowi

Denny Indrayana: Rusaknya Independensi MK Dimulai dengan Pernikahan Anwar Usman & Adik Jokowi

Jakarta, Gatra.com - Mantan Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) RI Denny Indrayana menyebut pernikahan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) RI Anwar Usman dengan adik Presiden RI Joko Widodo, Idayati, menjadi awal dari rusaknya independensi MK.

Hal itu disampaikan Denny dalam laporan dugaan pelanggaran kode etik dan perilaku hakim yang pihaknya ajukan sebagai buntut putusan MK atas perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 yang mengabulkan perubahan syarat batas usia calon presiden dan calon wakil presiden (capres-cawapres), menjadi minimal 40 tahun atau pernah menjabat sebagai kepala daerah di tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota.

"Rusaknya independensi Mahkamah Konstitusi tersebut paling tidak dimulai dengan pernikahan hakim terlapor dengan Idayati, adik Presiden Jokowi," kata Denny Indrayana saat menghadiri sidang MKMK terkait laporan dugaan pelanggaran kode etik dan perilaku hakim konstitusi yang pihaknya ajukan, di Gedung MK RI, Jakarta, pada Selasa (31/10).

Denny menilai, pernikahan itu telah mengikat hubungan keluarga antara Anwar dengan Jokowi. Hal itu secara bersamaan juga membuat potensi intervensi Jokowi terhadap MK menjadi lebih terbuka.

"Pelapor tidak melihat putusan 90 sebagai bagian peristiwa atau segmen yang berdiri sendiri, tetapi lebih dalam adalah bagian dari hancurnya kemerdekaan kekuasaan kehakiman, khususnya di Mahkamah Konstitusi, sehingga rentan atau mudah diintervensi oleh kekuasaan istana," ujar Denny.

Oleh karenanya, Denny sebagai salah satu dari 16 guru besar serta pengajar Hukum Tata Negara (HTN) dan Hukum Administrasi Negara (HAN) pelapor yang tergabung dalam Constitutional and Administrative Law Society (CALS) pun, menyebut peristiwa itu sebagai "Mega Skandal Mahkamah Keluarga".

Dalam hemat Denny dan pihaknya, mega skandal itu berkenaan dengan kejahatan politik yang sangat merusak dan meruntuhkan kewibawaan MK, sekaligus berkaitan dengan tiga elemen tertinggi di Tanah Air. Ketiganya yakni Ketua MK (The First Chief Justice), dilakukan untuk kepentingan langsung keluarga Presiden RI (The First Family), serta untuk menduduki sebuah posisi di lembaga kepresidenan (The First Office).

Sebagaimana diketahui, gugatan yang diajukan dalam perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 meminta agar batas usia minimal capres-cawapres tetap pada usia 40 tahun, kecuali apabila seorang figur yang hendak mencalonkan diri pernah menjabat sebagai Kepala Daerah di tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota.

Sejumlah pihak kemudian menilai putusan itu lekat dengan konflik kepentingan, karena dianggap memuluskan langkah Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka, yang sekaligus putra dari Jokowi dan keponakan dari Anwar Usman, untuk ikut berkompetisi dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024, meski usianya belum mencapai 40 tahun sebagaimana ketentuan awal.

Putusan MK itu mengundang sejumlah gelombang protes dari sejumlah pihak, tak terkecuali dari Hakim Konstitusi Saldi Isra yang secara langsung menyatakan perbedaan pendapatnya di muka sidang. Saldi bahkan mengaku bingung dengan perubahan keputusan MK yang terjadi pada hari yang sama, sebab perubahan secepat itu disebut tak pernah terjadi sebelumnya.

Seperti diketahui, sebelum mengabulkan perkara nomor 90/PUU-XXI/2023, MK telah lebih dulu menolak tiga perkara dengan gugatan serupa dalam rangkaian sidang yang sama. MK menilai, gugatan yang diajukan dalam tiga perkara itu tidak beralasan menurut hukum.

Salah satunya ialah gugatan yang diajukan oleh Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang meminta batas usia capres-cawapres diturunkan menjadi 35 tahun. Sementara itu, dua gugatan lainnya ialah gugatan yang dilakukan Partai Garuda dan sejumlah pimpinan daerah dengan mengajukan syarat alternatif "pernah menjadi pejabat negara" di samping batas usia minimal.

97