Home Hukum APHA Uji UU ke MK untuk Dorong Lahirnya Kementerian Masyarakat Hukum Adat

APHA Uji UU ke MK untuk Dorong Lahirnya Kementerian Masyarakat Hukum Adat

Jakarta, Gatra.com – Asosiasi Pengajar Hukum Adat (APHA) Indonesia mengajukan permohonan uji materi Pasal 5 Ayat (2) Undang-Undang (UU) Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara terhadap UUD 1945 ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Ketua Umum (Ketum) APHA Indonesia, Prof. Dr. Laksanto Umoto, S.H., M.Hum., dalam konferensi pers di Jakarta, Senin (27/5), menyampaikan, berbagai pihak, khususnya pengajar hukum adat dan masyarakat hukum adat dapat bergabung menjadi pemohon bersama APHA.

“Supaya legal standing APHA [sebagai pemohon] ini bisa semakin kuat dan mengumpulkan bukti-bukti yang ada di lapangan, supaya masyarakat adat tidak terus termajinalkan,” ujarnya.

Ketua Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum (LKBH) APHA, Yamin Samsudin, mengatakan, APHA telah memberikan kuasa kepada advokat Victor Santoso Tandiasa dkk untuk mewakili APHA dalam persidangan perkara ini di MK.

Ia menjelaskan, APHA menguji Pasal 5 Ayat 2 terhadap Pasal 1 Ayat (2), Pasal 1 Ayat (3), Pasal 18B Ayat (2), dan Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945. Permohonan ini diajukan karena negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.

Menurut Yamin, konstitusi tegas menyatakan mengakui dan menghormati, namun hingga saat ini tidak dilaksanakan oleh pemerintah karena ego sektoral. Pasalnya, Masyarakat Hukum Adat ini berada di lintas kementerian.

“Karena ego sektoral, masyarakat hukum adat ini tidak diurus. Diakui tapi tidak diurus dan hanya malah diberatkan dengan berbagai proses administratif,” ujarnya.

Terlebih lagi, RUU Masyarakat Hukum Adat sudah belasan bahkan puluhan tahun ngendon di DPR dan tidak pernah dibahas, apalagi disahkan menjadi UU untuk melindungi masyarakat hukum adat di Indonesia.

Atas dasar itu, pihaknya memberi kuasa kepada advokat Victor Santoso Tandiasa dkk untuk mengajukan uji materi UU tersebut ke MK. Ini merupakan upaya dan gagasan untuk menyatukan berbagai kewenangan tentang masyarakat hukum adat dari lintas kementerian ke dalam satu kemeterian, yakni Kementerian Masyarakat Hukum Adat.

Victor menjelaskan, pihaknya telah mendaftarkan permohonan uji materi UU Kementerian Negara ini di MK atas nama APHA. Namun demikian, pihaknya membuka kesempatan dan mengajak berbagai pihak, khususnya masyarakat hukum adat di seluruh Indonesia untuk menjadi pemohon dalam perkara ini.

“Seluruh elemen masyarakat adat bisa ikut sama-sama maju ke MK, baik itu sebagai pihak terkait atau pemohon. Nanti di perbaikan kita masih bisa melakukan penambahan pemohon maupun tim kuasa,” ujarnya.

Ia menjelaskan, dengan banyaknya masyarakat hukum adat di Indonesia yang ambil bagian dalam uji materi ini maka legal standing pemohon akan sangat kuat sehingga MK dapat melanjutkan ke pemeriksaan pokok perkara.

“Ketika masuk pokok perkara, kami sudah cukup yakin MK akan mengabulkan permohonan itu,” ucapnya.

Pihaknya optimistis bahwa MK akan mengabulkan karena masyarakat hukum adat ini sudah ada jauh sebelum Negara Kesatuan Republik Indonesia ini berdiri. Bahkan pada Sumpah Pemuda 1928 juga sudah memuat hukum dan eksistensi masyarakat adat.

“Jadi saya pikir negara tidak puya alasan lagi untuk kemudian tidak membentuk kemeterian ini [Kemeterian Masyarakat Hukum Adat],” ujarnya.

Victor lebih lanjut menyampaikan, ini momentumnya juga sangat pas di saat jelang pergantian rezim kekuasaan. Terlebih, pemerintah mendatang berniat untuk menambah jumlah kementerian.

“Saya berharap dalam penambahan kementerian itu yang harus diutamakan adalah kepentingan masyarakat hukum adat,” ujarnya.

Ia menjelaskan, masyarakat hukum adat di Indonesia masih termarjinalkan, di antaranya karena belum disahkannya RUU Masyarakat Hukum Adat meski UUD 1945 tegas menyatakan mengakui dan menjamin keberadaan serta hak-haknya.

Upaya mengajukan uji materi ini merupakan salah satu strategi agar MK memerintahkan supaya dibentuk Kementerian Masyarakat Hukum Adat. Jika MK menyatakan demikian, maka secara otomatis harus ada UU Masyarakat Hukum Adat.

“Jadi sudah enggak bisa tawar menawar lagi DPR dan Presiden. Itu strategi kita,” ujarnya.

Sedangkan kalau ada dalil bahwa pembentukan kementerian ini merupakan kebijakan hukum terbuka (open legal policy), Victor mengatakan, pihaknya telah menyiapkan dalil untuk mematahkanya.

Selain itu, pihaknya telah melakukan riset bagaimana sejumlah negara mengakui dan menjamin keberadaan masyarakat hukum adat sehingga mereka membentuk kementerian tersendiri yang mengurusi masyarakat hukum adat.

Berasarkan hasil riset sementara, ada 8 negara yang mempunyai kementerian khusus untuk mengurusi masyarakat hukum adatnya, yakni Australia, India, Brasil, Kolombia, Kanada, Bolivia, Guyana, dan Philipina.

“Yang menarik di Australia, masyarkat Aborigin itu kan enggak sampai 10%, tapi diakui keberadaannya, dan dibentuk Kementerian Masyarakat Hukum Adat untuk mengurusi masyarakat Aborigin,” ujarnya.

Direktur Eksekutif APHA Indonesia, Hermansyah, mengatakan, sangat sepakat untuk mendorong pembentukan Kementerian Masyarakat Hukum Adat karena sejak Indonesia merdeka, masyarakat hukum adat masih termarjinalkan meski sudah ada jauh sebelum Indonesia merdeka.

“Perlu goodwill pemerintah karena dari dulu tidak ada perhatian kepada masyarakat hukum adat. Kita harus gedor political will, supaya kementerian ini bisa direaliasikan sehingga masyarakat hukum adat bukan hanya dilundungi tapi juga dijamin hak-haknya,” kata dia.

211