Home Hukum Ahli Pidana: Perhitungan Kerugian Kasus BTS Peluang Terdakwa Divonis di Bawah Tuntutan

Ahli Pidana: Perhitungan Kerugian Kasus BTS Peluang Terdakwa Divonis di Bawah Tuntutan

Jakarta, Gatra.com – Ahli Hukum Pidana, Mudzakkir, menilai bahwa total loss atau kerugian total keuangan keuangan negara dalam perkara dugaan korupsi BTS 4G bisa menjadi peluang para terdakwa divonis di bawah tuntutan jaksa penuntut umum (JPU).

Ia menjelaskan, tidak menutup kemungkinan tersebut karena total kerugian keuangan negara sebesar Rp8,03 triliun hasil perhitungan dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dinilai kurang tepat oleh sejumlah ahli sebagaimana disampaikan di persidangan.

“Seharusnya kemarin itu kalau misalnya ada kelalaian itu, kalau ahli yang turun ke lapangan itu tahu bahwa ada kesalahan dalam proses audit, mestinya cepat saja dilakukan yang disebut audit ulang,” ujarnya.

Mudzakkir dalam keterangan tertulis pada Rabu (1/11), lebih lanjut menyampaikan, audit ulang untuk menentukan esensi pokok. “Kalau terjadi kekeliruan langsung dihitung di situ bahwa itu salah, ini salah, supaya ini menjadi bahan hakim untuk menetapkan kerugiannya seperti apa,” ujarnya.

Untuk meluruskan perhitungan tersebut, kata Mudzakkir, para terdakwa mestinya segera mengambil langkah demi meluruskan dugaan kesalahan perhitungan kerugian keuangan negara yang dilakukan oleh BPKP dalam kasus korupsi BTS 4G BAKTI Kominfo.

“Yang paling penting ya para terdakwa pada saat itu cepat-cepat dong meluruskan bahwa berdasarkan auditor itu segera menghitung ulang,” katanya.

Menurut dia, penghitungan ulang ini untu meluruskan hitungan BPKP bahwa ada sejumlah elemen yang seharusnya tidak masuk dalam perhitungan untuk menentukan total kerugian keuangan negara.

“Bahwa ini tidak masuk, ini tidak masuk, yang ini tidak masuk. Alasan satu, dua, tiga, lalu menilai bahwa kalau ada kerugian sejumlah ini,” katanya.

Nantinya, lanjut dia, kalau itu dilakukan, hakim akan menjadikan sebagai acuan perhitungan dalam menentukan besaran kerugian keuangan negara yang menjadi salah satu instrumen untuk menjatuhkan vonis atau hukuman.

“Itu harus dilakukan [apalagi persidangan masih berlangsung], jadi produknya itu kritik tanpa audit, kemudian auditnya itu harus direvisi. Mestinya dilakukan seperti itu,” katanya.

Menurut Mudzakkir, pendapat sejumlah ahli soal perhitungan kerugian tersebut tidak benar dalam persidangan perkara tersebut, ?itu bisa saja benar. Terlebih lagi, BPKP tidak mempertimbangkan masih ada pekerjaan yang masih berjalan serta terdapat pengembalian sejumlah uang dari konsorsium pelaksana proyek sebesar Rp1,7 triliun kepada BAKTI.

“Kalau BPKP itu, kalau di dalam proses penilaiannya itu mungkin benar bisa lalai, karena mungkin juga tidak mempertimbangkan tingkat kesulitan pekerjaan yang ada pemasangan BTS di tempat daerah tertinggal, terdepan dan terluar itu. Istilahnya 3T itu karena jauh dan di perbatasan juga, mestinya itu kan dipertimbangkan juga,” ujarnya.

Selain itu, kata dia, proyek BTS 4G merupakan perintah Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang kemudian terbentur pandemi Covid-19. Proses pelaksanaannya pun pada akhirnya mengikuti kebijakan pemerintah selama pandemi.

“Mungkin BPKP tidak melihat itu, dia melihatnya waktunya saja, bahwa waktunya adalah lampau ya, waktunya lampau, tidak pernah diperhitungkan disebabkan karena situasi kondisi yang oleh pemerintah dulu kan menjadi lockdown. Itu yang menyebabkan proses-proses itu terhambat,” ujarnya.

Berdasarkan pengamatan Mudzakkir, hingga proses persidangan kasus terbaru pun proyek BTS 4G sudah dalam tahap 97 persen penyelesaian. Tidak dipungkiri waktunya memang mundur, namun hal itu disebabkan pula oleh situasi kondisi.

Terlebih lagi, kata dia, ada saksi ahli yang dihadirkan JPU menerangkan bahwa memeriksa proyek BTS menggunakan google earth yang diklaimnya live seperti CCTV dan itu ditentang ahli lainnya sehingga dapat dilihat bahwa penentuan status proyek mangkrak sangat dipaksakan.

Dengan demikian, kalau misalnya itu dipertimbangkan dan sampai waktu terakhir saat perkara ini masuk bahwa penggarapannya sudah 97%, maka perhitungan BPKP bisa menjadi tidak tepat.

“Kalau itu tidak dipertimbangkan, terus kemudian kerugiannya menjadi tinggi, ya saya sependapat dengan pendapat ahli yang bersangkutan itu. Standar auditnya itu,” katanya.

90