Home Lingkungan El Nino Diprediksi hingga Februari 2024, BMKG Imbau Pemerintah Segera Lakukan Mitigasi Dampak Kemarau Kering

El Nino Diprediksi hingga Februari 2024, BMKG Imbau Pemerintah Segera Lakukan Mitigasi Dampak Kemarau Kering

Jakarta, Gatra.com - Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati mengingatkan bahwa kombinasi El Nino dan Indian Ocean Dipole (IOD) positif menjadi penyebab terjadinya kekeringan di Indonesia.

Dwikorita menjelaskan bahwa dampak dua fenomena alam tersebut mempengaruhi sejumlah sektor seperti pertanian, sumber daya air, kehutanan, perdagangan, energi, dan kesehatan. Pemerintah di seluruh level diharapkan segera mengambil langkah mitigasi dan antisipasi terhadap dampak negatif yang terjadi.

“Hingga Oktober dasarian II , El Nino berada di level moderate dan IOD positif pun masih tetap bertahan. BMKG dan beberapa lembaga pusat iklim dunia memprediksi kemarau kering akan berlanjut sampai akhir tahun," tutur Dwikorita dalam rapat bersama Dewan Ketahanan Nasional (Wantannas) Republik Indonesia secara daring pada Kamis (02/11).

El Nino dengan skor (+1.719) akan bertahan paling cepat Desember 2023 atau paling lambat Februari 2024. Sementara IOD positif dengan skor (+2.014) akan terus bertahan hingga akhir tahun 2023. Sehingga diprediksi kemarau kering akan terus berlanjut hingga akhir tahun.

"Kemarau kering akan berdampak pada berbagai sektor yaitu di sektor pertanian dimana prooduksi tanaman pangan terancam mengalami penurunan akibat terganggunya siklus masa tanam, gagal panen, kurangnya ketahanan jenis tanaman atau penyebaran hama yang aktif pada kondisi kering," jelasnya.

Di sektor sumber daya air, kata Dwikorita, situasi tersebut berakibat pada berkurangnya sumber daya air. Sementara di sektor perdagangan memicu lonjakan harga bahan pangan.

"Di sektor kehutanan mengakibatkan kebakaran hutan dan lahan. Di sektor energi, situasi tersebut menekan jumlah produksi energi yang bersumber dari PLTA. Di sektor ketahanan meningkatkan risiko kesehatan berkaitan dengan sanitasi dan ketersediaan air bersih untuk di konsumsi dan kebersihan," papar Dwikorita.

"Bagi daerah yang mengalami karhutla, kondisi ini juga dapat berakibat pada polusi udara dan memicu terjadinya Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA)," lanjutnya.

Berdasarkan pantauan BMKG, hingga pertengahan Oktober 2023, sebagian wilayah di Pulau Sumatera bagian Selatan, Jawa, Bali - Nusa Tenggara, Kalimantan bagian selatan, Sulawesi Utara dan Sulawesi bagian selatan, Maluku serta Papua bagian selatan telah mengalami Hari Tanpa Hujan (HTH) berturut-turut antara 21 - 60 hari.

Sedangkan, Hari Tanpa Hujan kategori Ekstrem Panjang yaitu lebih dari 60 hari terpantau terjadi di wilayah Lampung, Jawa Barat, Banten, DKI Jakarta, Jawa Tengah, Di Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, NTT, NTB, Kalteng, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Maluku, dan Papua.

Adapun HTH terpanjang tercatat selama 176 hari terjadi di Sumba Timur & Rote Ndao - Nusa Tenggara Timur.

Menurut Dwikorita, situasi ini, harus menjadi perhatian karena sebaran titik panas di Indonesia menunjukkan peningkatan terutama di daerah rawan karhutla.

Pulau Kalimantan memiliki titik panas terbanyak dengan tingkat kepercayaan tinggi, diikuti oleh Sumatera bagian selatan, kepulauan Nusa Tenggara, dan Papua Selatan. Namun demikian sebagian besar wilayah Indonesia telah mengalami kondisi curah hujan sangat rendah pada Juli, Agustus September dan Oktober 2023.

Daerah itu meliputi sebagian besar Sumatera, Jawa, Bali, NTB, NTT, sebagian besar Kalimantan, sebagian besar Sulawesi, sebagian Maluku, sebagian Maluku Utara dan sebagian Papua.

197