Home Hukum Jimly Singgung Kualitas Demokrasi dan Hukum Indonesia di Sidang Etik Hakim MK

Jimly Singgung Kualitas Demokrasi dan Hukum Indonesia di Sidang Etik Hakim MK

Jakarta, Gatra.com - Ketua Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) Jimly Asshiddiqie menyinggung kondisi kualitas demokrasi dan hukum Indonesia di mata dunia. Hal itu disebutkannya dalam sidang lanjutan atas laporan dugaan pelanggaran kode etik dan perilaku hakim konstitusi buntut putusan MK yang mengabulkan gugatan batas usia minimal calon presiden dan calon wakil presiden.

Jimly pun mengungkapkan, saat ini kualitas hukum dan demokrasi di Indonesia cenderung berada pada peringkat yang rendah. Hal itu tidak sejalan dengan peringkat kuantitas masyarakat Indonesia yang terbilang tinggi untuk negara dengan sistem hukum dan demokrasi di dunia.

"Kita ini negara demokrasi ketiga kuantitas terbesar dunia, negara keempat kuantitas terbesar dunia. Tapi kualitasnya, demokrasi [di angka] 54. Kualitas negara hukum, [di angka] 64, lebih kacau lagi," kata Jimly dalam persidangan yang berlangsung di Gedung MK RI, Jakarta, pada Jumat (3/11).

Jimly mengatakan, buruknya kualitas hukum dan demokrasi di Indonesia sudah selaiknya menjadi tanggung jawab bagi para ahli hukum di Tanah Air untuk memperbaikinya. Ia pun mengimbau masyarakat Indonesia untuk tidak pesimis dengan kondisi tersebut, karena meyakini tak semua perangkat hukum di Indonesia memiliki perilaku yang tercela.

"Jadi, saya kita juga harus jangan terlalu pesimis juga. Hakim ada oknum yang tercela, jaksa ada yang oknum tercela, advokat banyak yang tercela, tetapi jauh lebih banyak yang baik-baik," ucap Jimly.

Ketua MK pertama di Indonesia itu menyebut, salah satu kepercayaan itu timbul dari banyaknya laporan yang diajukan oleh para advokat muda untuk menggugat kesembilan hakim konstitusi buntut putusan MK nomor 90/PUU-XXI/2023 yang diajukan oleh seorang mahasiswa bernama Almas Tsaqibbirru itu.

"Nah, sekarang tercermin di munculnya tokoh-tokoh pengacara muda seperti saudara-saudara ini. Saya kira ini saya apresiasi, kita optimis ke depan memperbaiki kualitas negara hukum kita, mulai dari hakim dan advokat," tandasnya.

Seperti diketahui, sejumlah pihak menilai putusan itu kental akan konflik kepentingan. Sebab, putusan itu dianggap telah memuluskan langkah Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka, yang merupakan putra dari Presiden RI Joko Widodo dan keponakan Ketua MK Anwar Usman, untuk maju sebagai cawapres dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024.

Pasalnya, pengabulan gugatan itu berimbas pada perubahan syarat batas usia minimal capres-cawapres, yang mulanya disyaratkan minimal 40 tahun menjadi minimal 40 tahun atau pernah menjabat sebagai kepala daerah di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. Dengan demikian, Gibran yang tengah menjabat sebagai Wali Kota Solo pun dapat mencalonkan diri meski belum genap berusia 40 tahun.

Di samping itu, MK juga banyak disorot karena telah terjadi perubahan putusan dalam waktu yang singkat. Sebab, sebelum mengabulkan perkara nomor 90/PUU-XXI/2023, MK telah lebih dulu menolak tiga perkara dengan gugatan serupa dalam rangkaian sidang yang sama. MK menilai, gugatan yang diajukan dalam tiga perkara itu tidak beralasan menurut hukum.

Salah satunya ialah gugatan yang diajukan oleh Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang meminta batas usia capres-cawapres diturunkan menjadi 35 tahun. Sementara itu, dua gugatan lainnya ialah gugatan yang dilakukan Partai Garuda dan sejumlah pimpinan daerah dengan mengajukan syarat alternatif "pernah menjadi pejabat negara" di samping batas usia minimal.

31